SAAT MURID SMP TIDAK BISA MEMBACA, GURU SD LAYAK DISALAHKAN?

SAAT MURID SMP TIDAK BISA MEMBACA, GURU SD LAYAK DISALAHKAN?

Pojok Literasi SMP Negeri 1 Cimalaka | photo by Diva

Beberapa waktu yang lalu viral di media sosial berita tentang puluhan murid SMP sebuah sekolah di Pangandaran Jawa Barat tidak bisa membaca. Bagi orang awam, tanggapan setelah menonton video tersebut, mungkin akan berkomentar, “what? Anak SMP gak bisa baca? guru SD-nya ngapain aja? masa belajar selama 6 tahun di SD, muridnya gak bisa baca? Kok bisa anak SD tidak bisa membaca diluluskan dari sekolah?” Tanggapan tersebut diakui atau tidak seolah menyalahkan sekaligus menyudutkan guru SD yang dianggap tidak mampu mengajari murid membaca.

Penurunan mutu pembelajaran (learning loss) selama Covid-19 yang terjadi tahun 2020-2021 disinyalir menjadi salah satu penyebab menurunnya kemampuan murid dalam membaca. Walau demikian, menurut saya, ada beberapa hal yang bisa menjadi menyebabkan seorang murid tidak bisa atau kesulitan membaca. 1) murid tersebut adalah anak berkebutuhan khusus (ABK) yang dipaksakan belajar di SD umum, sedangkan gurunya kurang memiliki kemampuan dalam menangani ABK.

Sesuai dengan semangat pendidikan inklusif, pihak SD memang tidak bisa menolak jika ada ABK yang mendaftar menjadi peserta didik baru. Kadang hal ini menjadi dilema. Di satu sisi hak anak untuk belajar harus dipenuhi, sedangkan di sisi lain, kompetensi guru dalam menangani ABK terbatas. Akhirnya guru memperlakukan ABK seperti anak pada umumnya. Kadang orang tua pun tidak memberikan informasi bahwa anaknya ABK. Mungkin karena orang tuanya juga tidak tahu bahwa anaknya ABK atau tahu anaknya ABK tapi malu memberi tahu sekolah bahwa anaknya ABK. Bisa juga orang tua tahu anaknya ABK, tapi tidak diperiksa ke psikolog karena terbatasnya biaya.

2) murid mengalami disleksia, yaitu gejala lambat bicara, lambat belajar kata-kata baru, dan lambat membaca. 3) metode yang digunakan guru mengajarkan membaca kepada muridnya tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik murid. 4) terbatasnya sumber bacaan yang sesuai dengan minat, kebutuhan, dan usia murid. 5) rendahnya dukungan orang tua dalam mendampingi anaknya belajar membaca, dan 6) dampak dari penggunaan gawai dan game online. Anak lebih tertarik atau berminat menggunakan gawai untuk berselancar di media sosial dan bermain game daripada membaca.

Dengan demikian, adalah tidak bijak saat ada kasus murid SMP tidak bisa membaca, guru SD-nya yang sekonyong-konyong disudutkan atau disalahkan. Masalah ini perlu dilihat secara komprehensif. Di lapangan, pada saat kenaikan kelas, guru SD sering dihadapkan dilema saat mengambil keputusan menaikkan kelas atau memutuskan murid tinggal kelas. Secara normatif, panduan pembelajaran asesmen yang diterbitkan oleh Kemendikbudristek memang membolehkan guru memutuskan seorang murid tidak naik kelas. Tapi hal tersebut merupakan keputusan terakhir setelah mempertimbangkan berbagai hal. Jika ada murid yang tidak naik kelas, maka harus disertai dengan intervensi agar yang bersangkutan bisa mengejar ketertinggalannya dalam belajar, khususnya dalam kemampuan membaca, menulis, atau berhitung.

Walau demikian, ada semacam “kebijakan” bahwa murid tidak boleh naik kelas dengan alasan khawatir anak kena mental, mendapatkan stigma negatif, dibully oleh teman-temannya, orang tuanya tidak mau menerima kenyataan bahwa anaknya tidak naik kelas, bersangkutan berisiko drop out (DO) dari sekolah, dan khawatir berdampak terhadap menurunnya citra sekolah di mata masyarakat. Oleh karena itu, pada akhirnya, murid yang seharusnya tidak layak naik kelas pun, keputusannya dinaikkan. Ditambah harapan “siapa tahu?” atau “mudah-mudahan”, yaitu, siapa tahu atau mudah-mudahan di kelas yang lebih tinggi, murid yang tidak bisa membaca, menulis, atau berhitung, bisa ditangani atau ditingkatkan oleh guru pada kelas berikutnya.

Walau demikian, pada kenyataannya, ada murid yang sampai dengan kelas 6 belum bisa atau belum lancar membaca, menulis, dan berhitung sehingga ini jadi buah simalakama bagi sekolah. Pemaksaan kenaikan kelas atau meluluskan anak yang kemampuannya masih di bawah kemampuan minimal. Tujuannya mungkin baik, agar murid tidak kena mental atau tidak DO, padahal akan semakin menyulitkan yang bersangkutan karena materi yang dipelajari pada jenjang yang lebih tinggi lebih sulit, sehingga mengakibatkan anak tersebut semakin sulit mengikuti proses pembelajaran.

Pada buku Solusi Kontekstual untuk Mengurangi Mengulang Kelas dan Putus Sekolah di Sekolah Dasar yang diterbitkan oleh Puslitjak Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud (2020) dinyatakan bahwa mengulang kelas diketahui memberi dampak jangka panjang yang negatif terhadap kehidupan anak. Kebijakan dan tindakan untuk tidak menaikan kelas ataupun menaikan kelas sebenarnya bagai memakan buah simalakama bagi kepala sekolah maupun guru.

Di satu sisi, tindakan untuk tidak menaikan kelas berpeluang dapat menurunkan semangat/ motivasi belajar siswa dan bahkan mengakibatkan putus sekolah. Di lain sisi, tindakan untuk menaikan kelas bagi siswa yang kemampuannya belum mencukupi untuk belajar di tingkat berikutnya, juga akan berakibat membebani guru untuk membimbing siswa di tingkat berikutnya.

Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menetapkan, setiap warga negara yang berusia 7 s.d 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (SD/sederajat dan SMP/sederajat). Ketetapan dalam UU tersebut sering dikaitkan dengan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun yang merupakan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun sebagai salah satu upaya pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan bagi generasi penerus bangsa. Dengan demikian, maka diartikan bahwa kebijakan mengulang kelas atau tinggal kelas dianggap bertentangan dengan aturan tersebut.

Wicaksono (2018) dalam hasil penelitiannya menyimpulkan diantaranya, bahwa anak yang pernah tinggal kelas memiliki kecenderungan tidak melanjutkan pendidikannya. Alih-alih kebijakan tinggal kelas bertujuan mempersiapkan siswa supaya lebih baik dan lebih siap saat mengenyam pembelajaran di kelas selanjutnya, faktanya tidak ada data yang dapat menunjukan hal tersebut. Efek tinggal kelas justru memiliki dampak jangka panjang yang negatif terhadap peluang melanjutkan sekolah. Dalam konteks pembiayaan pendidikan, kebijakan mengulang atau tinggal kelas dinilai sebagai sebuah pemborosan anggaran.

Kondisi keluarga berpengaruh terhadap mengulang kelas dan putus sekolah. Musfiron (2007) dalam hasil penelitiannya menyampaikan bahwa kondisi ekonomi keluarga yang tidak memadai membuat anak putus sekolah. Nurhidayat (2017) mengungkapkan beberapa hal yang memengaruhi mengulang kelas dan putus sekolah adalah (i) lemahnya motivasi orangtua, (ii) rendahnya pendidikan orangtua, iii) tingkat kemiskinan, (iv) rendahnya pelayanan keadilan bagi siswa, dan (v) lingkungan sekolah dan kelas yang tidak menyenangkan.

Berkaitan dengan masalah murid yang belum bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung), beberapa solusi bisa menjadi alternatif. Antara lain; 1) lakukan tes awal (formatif) / diagnostik terhadap murid kelas 1 (bukan jadi test syarat masuk SD). Tujuannya untuk mengetahui dan memetakan kemampuan awal calistung murid yang akan menjadi dasar bagi guru untuk menentukan strategi yang harus dilakukan dalam mengajarkan calistung kepada murid.

2) orang tua murid, khususnya yang anaknya ABK harus terbuka dan menyampaikan penjelasan kepada guru terkait kondisi anaknya. Orang tua tidak perlu merasa malu atau risih dengan kondisi tersebut. Informasi dari orang tua akan sangat berharga bagi guru dalam memberikan perlakuan yang tepat terhadap anak.
3) sekolah perlu bekerja sama dengan konselor, psikologi, atau ahli pendidikan untuk mengetahui kemampuan dan perkembangan setiap anak. 4) guru-guru perlu dibekali dengan kemampuan mengelola pembelajaran inklusif (untuk mengantisipasi ada ABK di kelas yang diampunya).

5) tingkatkan kemampuan guru dalam mengimplementasikan pembelajaran berdiferensiasi yang menguatkan literasi dan numerasi murid. 6) lengkapi sekolah dengan bahan bacaan yang bermutu dan mendukung penguatan literasi dan numerasi. 7) tingkatkan peran orang tua dalam membimbing anak belajar membaca di rumah, dan 8) perketat dan batasi penggunaan gawai terhadap anak.

Mengacu kepada kasus di atas, pendidikan di SD merupakan fondasi bagi peserta didik untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung. Peran guru tentunya sangat penting dan substansial, tetapi harus didukung dengan sistem dan infrastruktur pembelajaran yang baik agar guru SD tidak menjadi pihak tersangka yang dituding gagal dan berkinerja rendah saat ada murid SMP yang tidak bisa membaca, menulis, atau berhitung.

Walau demikian, sesuai dengan semangat pembelajaran yang berpusat pada murid, budaya reflektif juga perlu dikembangkan oleh guru. Pertanyaan yang bisa diajukan oleh guru SD, misalnya, apakah keberadaan saya di kelas diterima oleh murid? Apakah cara mengajar saya sesuai dengan karakteristik murid? Apakah metode yang digunakan dalam pembelajaran dapat dipahami oleh murid? Apakah saya telah melaksanakan pembelajaran yang menarik, menantang, dan menyenangkan bagi murid? Apakah asesmen pembelajaran sudah tepat dan efektif dalam mengukur kemampuan murid? Apakah cara saya dalam menangani anak yang lambat belajar sudah tepat? dll.

Alih-alih saling menyalahkan terkait penyebab murid tidak bisa membaca, sebaiknya masalah ini dibenahi secara holistik, empirik, dan sistemik dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan melalui pendekatan kolaboratif pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat.

Penulis: Idris Apandi

Skip to content