SDN Citalaksana Ajak Orang Tua Aktif dalam Implementasi Kurikulum Merdeka

SDN Citalaksana Ajak Orang Tua Aktif dalam Implementasi Kurikulum Merdeka

Sosialisasi Kurikulum Merdeka Kepada Orang Tua Siswa SDN Citalaksana

Kabupaten Bandung- Sekolah Dasar Negeri (SDN) Citalaksana, yang terletak di kawasan pegunungan Kabupaten Bandung, tengah bertransformasi dengan mengadopsi Kurikulum Merdeka. Pada tanggal 10 Agustus 2024, sekolah ini mengadakan sosialisasi kepada Komite Kelas sebagai perwakilan orang tua siswa. Acara sosialisasi yang berlangsung antusias ini bertujuan memperkenalkan lebih dekat proyek-proyek pembelajaran inovatif, terutama Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Para orang tua tampak antusias mendengarkan pemaparan mengenai Kurikulum Merdeka dan bagaimana proyek-proyek ini akan membentuk karakter serta kompetensi siswa

Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5)

Salah satu fokus utama SDN Citalaksana dalam implementasi Kurikulum Merdeka adalah Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Pada tahun pelajaran 2024/2025, sekolah ini telah memilih dua tema besar untuk proyek P5, yaitu:

  • Semester Ganjil: Gaya Hidup Berkelanjutan Dengan tema ini, siswa diajak untuk memahami dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan dan mengembangkan kesadaran untuk hidup berkelanjutan. Salah satu proyek yang akan dilaksanakan adalah “Pemanfaatan Sampah Organik dan Anorganik Sekitar SDN Citalaksana”.
  • Semester Genap: Kearifan Lokal Melalui tema ini, siswa akan mengeksplorasi kekayaan budaya dan kearifan lokal Kampung Leuweung Datar. Proyek yang akan dilaksanakan adalah “Eksplorasi Seni Budaya Kampung Leuweung Datar”, di mana siswa akan mempelajari berbagai kesenian tradisional seperti Bajidoran, kerajinan gerabah, dan tari-tarian rakyat.

Harapan ke Depan

Melalui implementasi Kurikulum Merdeka, SDN Citalaksana berharap siswa dapat tumbuh menjadi generasi yang unggul. Untuk mencapai tujuan ini, peran aktif orang tua sangatlah penting. Di rumah, orang tua dapat mendukung pembelajaran anak dengan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, memberikan motivasi, serta menanamkan nilai-nilai karakter yang sesuai dengan tujuan Kurikulum Merdeka (RYO).

Penulis: Riyan Rosal Yosma
Editor: Agus Ramdani

SAAT MURID SMP TIDAK BISA MEMBACA, GURU SD LAYAK DISALAHKAN?

SAAT MURID SMP TIDAK BISA MEMBACA, GURU SD LAYAK DISALAHKAN?

Pojok Literasi SMP Negeri 1 Cimalaka | photo by Diva

Beberapa waktu yang lalu viral di media sosial berita tentang puluhan murid SMP sebuah sekolah di Pangandaran Jawa Barat tidak bisa membaca. Bagi orang awam, tanggapan setelah menonton video tersebut, mungkin akan berkomentar, “what? Anak SMP gak bisa baca? guru SD-nya ngapain aja? masa belajar selama 6 tahun di SD, muridnya gak bisa baca? Kok bisa anak SD tidak bisa membaca diluluskan dari sekolah?” Tanggapan tersebut diakui atau tidak seolah menyalahkan sekaligus menyudutkan guru SD yang dianggap tidak mampu mengajari murid membaca.

Penurunan mutu pembelajaran (learning loss) selama Covid-19 yang terjadi tahun 2020-2021 disinyalir menjadi salah satu penyebab menurunnya kemampuan murid dalam membaca. Walau demikian, menurut saya, ada beberapa hal yang bisa menjadi menyebabkan seorang murid tidak bisa atau kesulitan membaca. 1) murid tersebut adalah anak berkebutuhan khusus (ABK) yang dipaksakan belajar di SD umum, sedangkan gurunya kurang memiliki kemampuan dalam menangani ABK.

Sesuai dengan semangat pendidikan inklusif, pihak SD memang tidak bisa menolak jika ada ABK yang mendaftar menjadi peserta didik baru. Kadang hal ini menjadi dilema. Di satu sisi hak anak untuk belajar harus dipenuhi, sedangkan di sisi lain, kompetensi guru dalam menangani ABK terbatas. Akhirnya guru memperlakukan ABK seperti anak pada umumnya. Kadang orang tua pun tidak memberikan informasi bahwa anaknya ABK. Mungkin karena orang tuanya juga tidak tahu bahwa anaknya ABK atau tahu anaknya ABK tapi malu memberi tahu sekolah bahwa anaknya ABK. Bisa juga orang tua tahu anaknya ABK, tapi tidak diperiksa ke psikolog karena terbatasnya biaya.

2) murid mengalami disleksia, yaitu gejala lambat bicara, lambat belajar kata-kata baru, dan lambat membaca. 3) metode yang digunakan guru mengajarkan membaca kepada muridnya tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik murid. 4) terbatasnya sumber bacaan yang sesuai dengan minat, kebutuhan, dan usia murid. 5) rendahnya dukungan orang tua dalam mendampingi anaknya belajar membaca, dan 6) dampak dari penggunaan gawai dan game online. Anak lebih tertarik atau berminat menggunakan gawai untuk berselancar di media sosial dan bermain game daripada membaca.

Dengan demikian, adalah tidak bijak saat ada kasus murid SMP tidak bisa membaca, guru SD-nya yang sekonyong-konyong disudutkan atau disalahkan. Masalah ini perlu dilihat secara komprehensif. Di lapangan, pada saat kenaikan kelas, guru SD sering dihadapkan dilema saat mengambil keputusan menaikkan kelas atau memutuskan murid tinggal kelas. Secara normatif, panduan pembelajaran asesmen yang diterbitkan oleh Kemendikbudristek memang membolehkan guru memutuskan seorang murid tidak naik kelas. Tapi hal tersebut merupakan keputusan terakhir setelah mempertimbangkan berbagai hal. Jika ada murid yang tidak naik kelas, maka harus disertai dengan intervensi agar yang bersangkutan bisa mengejar ketertinggalannya dalam belajar, khususnya dalam kemampuan membaca, menulis, atau berhitung.

Walau demikian, ada semacam “kebijakan” bahwa murid tidak boleh naik kelas dengan alasan khawatir anak kena mental, mendapatkan stigma negatif, dibully oleh teman-temannya, orang tuanya tidak mau menerima kenyataan bahwa anaknya tidak naik kelas, bersangkutan berisiko drop out (DO) dari sekolah, dan khawatir berdampak terhadap menurunnya citra sekolah di mata masyarakat. Oleh karena itu, pada akhirnya, murid yang seharusnya tidak layak naik kelas pun, keputusannya dinaikkan. Ditambah harapan “siapa tahu?” atau “mudah-mudahan”, yaitu, siapa tahu atau mudah-mudahan di kelas yang lebih tinggi, murid yang tidak bisa membaca, menulis, atau berhitung, bisa ditangani atau ditingkatkan oleh guru pada kelas berikutnya.

Walau demikian, pada kenyataannya, ada murid yang sampai dengan kelas 6 belum bisa atau belum lancar membaca, menulis, dan berhitung sehingga ini jadi buah simalakama bagi sekolah. Pemaksaan kenaikan kelas atau meluluskan anak yang kemampuannya masih di bawah kemampuan minimal. Tujuannya mungkin baik, agar murid tidak kena mental atau tidak DO, padahal akan semakin menyulitkan yang bersangkutan karena materi yang dipelajari pada jenjang yang lebih tinggi lebih sulit, sehingga mengakibatkan anak tersebut semakin sulit mengikuti proses pembelajaran.

Pada buku Solusi Kontekstual untuk Mengurangi Mengulang Kelas dan Putus Sekolah di Sekolah Dasar yang diterbitkan oleh Puslitjak Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud (2020) dinyatakan bahwa mengulang kelas diketahui memberi dampak jangka panjang yang negatif terhadap kehidupan anak. Kebijakan dan tindakan untuk tidak menaikan kelas ataupun menaikan kelas sebenarnya bagai memakan buah simalakama bagi kepala sekolah maupun guru.

Di satu sisi, tindakan untuk tidak menaikan kelas berpeluang dapat menurunkan semangat/ motivasi belajar siswa dan bahkan mengakibatkan putus sekolah. Di lain sisi, tindakan untuk menaikan kelas bagi siswa yang kemampuannya belum mencukupi untuk belajar di tingkat berikutnya, juga akan berakibat membebani guru untuk membimbing siswa di tingkat berikutnya.

Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menetapkan, setiap warga negara yang berusia 7 s.d 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (SD/sederajat dan SMP/sederajat). Ketetapan dalam UU tersebut sering dikaitkan dengan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun yang merupakan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun sebagai salah satu upaya pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan bagi generasi penerus bangsa. Dengan demikian, maka diartikan bahwa kebijakan mengulang kelas atau tinggal kelas dianggap bertentangan dengan aturan tersebut.

Wicaksono (2018) dalam hasil penelitiannya menyimpulkan diantaranya, bahwa anak yang pernah tinggal kelas memiliki kecenderungan tidak melanjutkan pendidikannya. Alih-alih kebijakan tinggal kelas bertujuan mempersiapkan siswa supaya lebih baik dan lebih siap saat mengenyam pembelajaran di kelas selanjutnya, faktanya tidak ada data yang dapat menunjukan hal tersebut. Efek tinggal kelas justru memiliki dampak jangka panjang yang negatif terhadap peluang melanjutkan sekolah. Dalam konteks pembiayaan pendidikan, kebijakan mengulang atau tinggal kelas dinilai sebagai sebuah pemborosan anggaran.

Kondisi keluarga berpengaruh terhadap mengulang kelas dan putus sekolah. Musfiron (2007) dalam hasil penelitiannya menyampaikan bahwa kondisi ekonomi keluarga yang tidak memadai membuat anak putus sekolah. Nurhidayat (2017) mengungkapkan beberapa hal yang memengaruhi mengulang kelas dan putus sekolah adalah (i) lemahnya motivasi orangtua, (ii) rendahnya pendidikan orangtua, iii) tingkat kemiskinan, (iv) rendahnya pelayanan keadilan bagi siswa, dan (v) lingkungan sekolah dan kelas yang tidak menyenangkan.

Berkaitan dengan masalah murid yang belum bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung), beberapa solusi bisa menjadi alternatif. Antara lain; 1) lakukan tes awal (formatif) / diagnostik terhadap murid kelas 1 (bukan jadi test syarat masuk SD). Tujuannya untuk mengetahui dan memetakan kemampuan awal calistung murid yang akan menjadi dasar bagi guru untuk menentukan strategi yang harus dilakukan dalam mengajarkan calistung kepada murid.

2) orang tua murid, khususnya yang anaknya ABK harus terbuka dan menyampaikan penjelasan kepada guru terkait kondisi anaknya. Orang tua tidak perlu merasa malu atau risih dengan kondisi tersebut. Informasi dari orang tua akan sangat berharga bagi guru dalam memberikan perlakuan yang tepat terhadap anak.
3) sekolah perlu bekerja sama dengan konselor, psikologi, atau ahli pendidikan untuk mengetahui kemampuan dan perkembangan setiap anak. 4) guru-guru perlu dibekali dengan kemampuan mengelola pembelajaran inklusif (untuk mengantisipasi ada ABK di kelas yang diampunya).

5) tingkatkan kemampuan guru dalam mengimplementasikan pembelajaran berdiferensiasi yang menguatkan literasi dan numerasi murid. 6) lengkapi sekolah dengan bahan bacaan yang bermutu dan mendukung penguatan literasi dan numerasi. 7) tingkatkan peran orang tua dalam membimbing anak belajar membaca di rumah, dan 8) perketat dan batasi penggunaan gawai terhadap anak.

Mengacu kepada kasus di atas, pendidikan di SD merupakan fondasi bagi peserta didik untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung. Peran guru tentunya sangat penting dan substansial, tetapi harus didukung dengan sistem dan infrastruktur pembelajaran yang baik agar guru SD tidak menjadi pihak tersangka yang dituding gagal dan berkinerja rendah saat ada murid SMP yang tidak bisa membaca, menulis, atau berhitung.

Walau demikian, sesuai dengan semangat pembelajaran yang berpusat pada murid, budaya reflektif juga perlu dikembangkan oleh guru. Pertanyaan yang bisa diajukan oleh guru SD, misalnya, apakah keberadaan saya di kelas diterima oleh murid? Apakah cara mengajar saya sesuai dengan karakteristik murid? Apakah metode yang digunakan dalam pembelajaran dapat dipahami oleh murid? Apakah saya telah melaksanakan pembelajaran yang menarik, menantang, dan menyenangkan bagi murid? Apakah asesmen pembelajaran sudah tepat dan efektif dalam mengukur kemampuan murid? Apakah cara saya dalam menangani anak yang lambat belajar sudah tepat? dll.

Alih-alih saling menyalahkan terkait penyebab murid tidak bisa membaca, sebaiknya masalah ini dibenahi secara holistik, empirik, dan sistemik dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan melalui pendekatan kolaboratif pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat.

Penulis: Idris Apandi

AKREDITASI BERMAKNA UNTUK MEWUJUDKAN SEKOLAH YANG DICITA-CITAKAN

AKREDITASI BERMAKNA UNTUK MEWUJUDKAN SEKOLAH YANG DICITA-CITAKAN

sumber: https://www.auca.kg/

Pasal 1 ayat 1 Permendikbudristek Nomor 38 Tahun 2023 menyebutkan bahwa “Akreditasi adalah kegiatan penilaian untuk menentukan kelayakan satuan dan/atau program pendidikan kesetaraan berdasarkan penilaian mutu layanan pendidikan.” Kemudian pada pasal 2 disebutkan bahwa “Akreditasi diiakukan untuk menentukan kelayakan satuan dan/ atau program pendidikan.”

Akreditasi adalah bentuk penjaminan mutu yang dilakukan oleh pihak eksternal dan bersifat independen. Penjaminan mutu dilakukan untuk memastikan masyarakat mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas dari satuan pendidikan. Berdasarkan hasil akreditasi, satuan pendidikan mendapatkan umpan balik dalam bentuk saran atau rekomendasi dari asesor yang berkunjung ke satuan pendidikan.

Dulu, akreditasi dikaitkan dengan gengsi dan “kasta” sekolah. Akreditasi identik dengan pemeriksaan tumpukan-tumpukan dokumen Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang sudah disiapkan oleh sekolah jauh-jauh hari. Kini, paradigmanya diubah. Orientasi akreditasi bukan kepada pemeriksaan dokumen (evident based), tetapi kepada kinerja (performance based).  

Saat visitasi ke satuan pendidikan, asesor tidak lagi mengutamakan memeriksa tumpukan dokumen, tetapi mengumpulkan data dan informasi melalui wawancara, observasi, dan studi dokumentasi, serta “memotret” kejadian yang terjadi dalam proses pembelajaran atau di lingkungan satuan pendidikan. Dengan kata lain, asesor tak ubahnya seperti seorang peneliti dalam mencari data dan informasi berdasarkan indikator-indikator pada instrumen akreditasi. Asesor pun perlu mengonfimasi, cek kros data dan informasi yang ditemukan melalui triangulasi kepada narasumber atau pihak yang relevan.

Instrumen akreditasi saat ini mengacu kepada Kepmendikbudristek Nomor 246/O/2024 tentang Instrumen Akreditasi Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah). Instrumen disusun untuk memotret kinerja satuan pendidikan (performance-based). Instrumen akreditasi mencerminkan kepada 3 prinsip, yaitu; 1) bermakna, 2) inklusif, dan 3) kontekstual.

Merujuk pada Buku Panduan Akreditasi untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA, prinsip bermakna meliputi; 1) Iklim Lingkungan Belajar, 2) Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Pengelolaan Satuan Pendidikan, 3) Kinerja Pendidik dalam Proses Pembelajaran, dan 4) Hasil Pembelajaran Lulusan dan/atau Peserta Didik.

Penentuan keempat komponen ini merujuk pada konsep universal “what is a good school”. Artinya, area kinerja yang diukur di dalam akreditasi, merupakan area kinerja yang berdampak pada kualitas layanan yang diterima oleh anak. Proses ini dirasa penting dilakukan untuk memastikan instrumen akreditasi tidak sekadar terpaku pada pemenuhan kerangka kebijakan penjaminan mutu yang berlaku, melainkan berpijak pada

kerangka kualitas lingkungan belajar yang dipercaya dapat menghadirkan layanan pendidikan yang diperlukan oleh peserta didik.

Prinsip inklusif, maksudnya adalah Instrumen akreditasi untuk ragam jenis dan jenjang disusun dengan merujuk pada satu konstruk yang sama sehingga dapat ditemukan benang merah antar instrumen, serta tidak ada jenjang, jenis, atau kondisi lingkungan belajar yang merasa tidak terwakili dalam instrumen akreditasi ini. Tiap instrumen kemudian menyesuaikan konstruk tersebut dengan konteks dan kebutuhan belajar ragam jenis jenjang.

Kontekstual artinya merujuk pada proses akreditasi yang merekognisi keragaman cara/strategi yang dilakukan penyelenggara layanan pendidikan, sesuai konteks sosio-kultural dan kebutuhan belajar peserta didik, serta sumber daya penyelenggara layanan yang berbeda-beda.

Penentuan keterpenuhan dari area kinerja tidak terkunci oleh rumusan prasyarat tertentu yang preskriptif untuk melakukan kinerja, misalnya memaksakan adanya suatu dokumen/kegiatan spesifik atau tertentu. Pembuktian bisa diperoleh dari dokumen, dokumentasi, hasil wawancara dan hasil observasi. Asesor diberikan keleluasaan untuk menggunakan “lensanya” dalam menilai apakah satuan pendidikan telah menyediakan layanan berkualitas bagi peserta didiknya sesuai dengan area kinerja yang diukur. Instrumen ini juga menyediakan ruang bagi satuan pendidikan untuk menjelaskan cara dan strateginya dalam menyelenggarakan layanan.

Dengan adanya prinsip ini, maka pada proses akreditasi bisa terdapat ragam cara untuk menyusun kurikulum yang berbeda karena konteks satuan pendidikan berbeda-beda, ada ragam cara untuk menyusun Rencana Kerja Tahunan (RKT), ada ragam cara dalam menerapkan kemitraan, dan ada ragam cara bagi satuan pendidikan dalam upayanya meningkatkan kualitas layanan.

Proses akreditasi tidak lagi fokus melihat tampilan lingkungan sekolah dan sarana dan prasarana sekolah. Sarana penting tetapi bukan menjadi faktor utama efektivitas proses pembelajaran dan peningkatan hasil belajar peserta didik. Lingkungan sekolah yang tampak indah, rapi, dan bersih apakah menjamin sekolah itu bebas dari tindakan perundungan (bullying) dan mencerminkan iklim kerja yang baik? Apakah lingkungan kelas dan peralatan laboratorium yang lengkap menjamin guru dapat menciptakan proses pembelajaran yang menarik, menantang, menyenangkan, dan bermakna?

Apakah Kepala sekolah mampu memimpin dan mengelola sekolah secara efektif, bisa menjadi pemimpin yang transformatif, bisa membangun iklim kerja yang kondusif, dan menjadi inspirasi bagi guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik? Apakah guru mampu menjadi guru yang inspiratif dan berdampak terhadap transformasi pembelajaran?

Terkait hasil belajar dan prestasi lulusan, bukan hanya kaitannya dengan prestasi akademik, juara lomba, juara olimpiade, dan jumlah lulusan yang diterima di PTN, tetapi juga nonakademik seperti karakter, internalisasi nilai-nilai Pancasila, dan menghormati keberagaman, tetapi perlu ditelusuri dan dianalisis juga apakah prestasi yang dicapai adalah sepenuhnya merupakan hasil dari intervensi atau proses pembelajaran di sekolah? atau didukung oleh faktor lain seperti bakat murid, dukungan keluarga, atau pelatihan di tempat lain?

Pertanyaan-pertanyaan ini yang harus didapatkan jawabannya oleh asesor melalui beragam cara pengumpulan data dan informasi. Asesor harus ada pada posisi “ragu” dan skeptis hingga dia benar-benar mendapatkan data dan informasi yang valid sehingga mendapatkan temuan yang bermakna dan bernilai sehingga dapat memberikan umpan balik yang tepat.

Akreditasi yang bermakna lebih memokuskan kepada substansi daripada seremoni sehingga hasilnya mencerminkan sekolah yang dicita-citakan, yaitu; 1) pembelajaran yang berpusat pada murid, 2) iklim sekolah yang aman, inklusif, dan merayakan kebinekaan, 3) kepemimpinan untuk perbaikan layanan berkelanjutan, dan 4) pendidik reflektif gemar belajar, berbagi, dan berkolaborasi,

Acara-acara seremonial dan sambutan yang kadang menghabiskan waktu perlu semakin dikurangi. Bahkan saat tidak ada acara-acara tersebut pun, tidak akan berdampak terhadap nilai akreditasi sebuah satuan pendidikan.  Hal ini perlu ditunjang oleh pola pikir dan kompetensi asesor yang profesional dan berintegritas.

Penulis: Idris Apandi

Sumedang, Inspirasi Pendidikan: Dirjen PAUD Dikdasmen Bertemu Guru Penggerak

Sumedang, Inspirasi Pendidikan: Dirjen PAUD Dikdasmen Bertemu Guru Penggerak

Iwan Syahril berdialog santai bersama Guru Penggerak Kab. Sumedang
Fotografer: Taufik Rahman

Sumedang, 8 Agustus 2024 – Dalam upaya membangun ekosistem pendidikan yang unggul dan pembelajaran berkualitas, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Dirjen PAUD, Dikdasmen), Dr. Iwan Syahril, Ph.D., melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Sumedang pada Kamis, 8 Agustus 2024.

Kunjungan ini menjadi momentum istimewa bagi para Guru Penggerak di Sumedang, yang berkesempatan bertemu langsung dengan Dirjen PAUD Dikdasmen di Aula Tampomas, Pusat Pemerintahan Sumedang.

Asisten Administrasi Umum Setda, Budi Rahman, S.Sos, M.Si., menjelaskan bahwa kehadiran Dirjen PAUD Dikdasmen bertujuan untuk “menggerakkan dan memberikan suntikan semangat baru bagi para Guru Penggerak di Kabupaten Sumedang.”

Selama kunjungannya, Dirjen PAUD Dikdasmen tak hanya berdialog dengan para Guru Penggerak, tetapi juga menyempatkan diri mengunjungi salah satu sekolah, yaitu SMPN 1 Cimalaka.

“Kehadiran beliau tentu menjadi motivasi luar biasa bagi tenaga pendidik di Sumedang,” ungkap Budi.

Pemerintah Kabupaten Sumedang juga menerima apresiasi khusus dari Dirjen PAUD Dikdasmen atas prestasinya sebagai kabupaten dengan jumlah Guru Penggerak, Sekolah Penggerak, dan Pengajar Praktik terbanyak di Jawa Barat.

“Penghargaan ini menjadi pemacu bagi kami untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan,” tegas Budi.

Dirjen PAUD Dikdasmen, Dr. Iwan Syahril, Ph.D., mengakui komitmen tinggi Sumedang dalam bidang pendidikan. Capaian Sumedang sebagai kabupaten terdepan dalam jumlah Guru Penggerak, Sekolah Penggerak, dan Pengajar Praktik di Jawa Barat merupakan bukti nyata kerja keras pemerintah daerah dalam memajukan pendidikan.

Iwan juga menyampaikan apresiasinya atas keberhasilan Sumedang meraih dua penghargaan sekaligus dalam Anugerah Merdeka Belajar bagi Pemerintah Daerah Tahun 2024, yaitu kategori Transformasi Pembelajaran dan kategori Program Indonesia Pintar (PIP).

Dengan berbagai prestasi yang telah diraih, Iwan berharap Sumedang tidak berpuas diri, melainkan terus meningkatkan kualitas pendidikannya.

“Sebagai penggerak di lapangan, kolaborasi adalah kunci untuk terus mengembangkan diri. Penghargaan ini harus menjadi penyemangat bagi Sumedang untuk terus berprestasi dan mengimplementasikan Merdeka Belajar,” pungkasnya.

Kunjungan Dirjen PAUD Dikdasmen ke Sumedang ini menjadi inspirasi bagi daerah lain untuk terus berinovasi dan meningkatkan kualitas pendidikan.

Sumedang telah membuktikan bahwa dengan komitmen dan kerja keras, prestasi gemilang dalam dunia pendidikan dapat diraih.

(Berita ini telah ditayangkan Sumedang, Inspirasi Pendidikan: Dirjen PAUD Dikdasmen Bertemu Guru Penggerak – korsum.id)

Penulis: Mako

Sumedang, Inspirasi Pendidikan: Dirjen PAUD Dikdasmen Bertemu Guru Penggerak

Dirjen Paudikdasmen Semangati Guru Penggerak Sumedang, Dorong Transformasi Pembelajaran

Iwan Syahril berdialog santai bersama Guru Penggerak Kab. Sumedang
Fotografer: Enang Komala

Sumedang, 09/08/2024, WK- Kunjungan kerja Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Paudikdasmen) Kemendikbudristek, Iwan Syahril, ke Kabupaten Sumedang pada Kamis 8 Agustus 2024, berhasil membangkitkan semangat para Kepala Sekolah dan Guru Penggerak. Dalam suasana dialog yang akrab, mereka berbagi pengalaman, tantangan, dan keberhasilan dalam mengimplementasikan program Merdeka Belajar.

Dialog ini berlangsung dalam suasana santai, dimana para peserta berbagi pengalaman mereka dalam menjalankan peran sebagai Guru Penggerak. Kegiatan ini bertujuan untuk mendengarkan langsung cerita, tantangan, dan keberhasilan yang dialami di lapangan, serta untuk memperkuat lagi program merdeka belajar di Kabupaten Sumedang setelah sebelumnya meraih penghargaan kategori Transformasi Pembelajaran dan Program Indonesia Pintar (PIP). Pencapaian gemilang ini menjadi bukti nyata komitmen dan kerja keras Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang, khususnya Dinas Pendidikan, dalam mewujudkan merdeka belajar.

Dirjen Syahril mengungkapkan apresiasinya atas keberhasilan Sumedang meraih dua penghargaan sekaligus dalam Anugerah Merdeka Belajar bagi Pemerintah Daerah Tahun 2024, yaitu kategori Transformasi Pembelajaran dan kategori Program Indonesia Pintar (PIP).

Kepala BBPMP Jabar dampingi kunjan Dirjen PAUD Dikdasmen
Fotografer: Taufik Rahman

Sri Wahyuningasih, Kepala BBPMP Provinsi Jabar yang mendampingi kegiatan ini, mengemukakan kunjungan Dirjen memberikan tambahan energi bagi UPT untuk terus mendorong transformasi pendidikan di Jawa Barat.

Sebelum berdialog dengan Kepala Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak Dirjen berkunjung ke SMPN 1 Cimalaka Kabupaten Sumedang, Dirjen beserta rombongan disambut meriah oleh para siswa dengan upacara adat ala SMPN 1 Cimalaka.

Iwan Syahril bersama murid SMPN 1 Cimalaka
Fotografer: Taufik Rahman

Selanjutnya, Dirjen beserta rombongan meninjau kelas untuk melihat proses pembelajaran di kelas. Beliau melihat dan menyemangati guru serta siswa/siswi Hebat SMPN 1 Cimalaka, proses pembelajaran yang disesuaikan dengan minat dan bakat siswa sehingga siswa fokus dalam proses belajar.

Kegiatan dilanjutkan dengan berdialog dengan kepala sekolah, komite sekolah, pengawas sekolah, serta kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang.

Setelah berdialog di SMPN 1 Cimalaka rombongan menuju Aula Tampomas kantor Pemerintah (Pemda) kabupaten Sumedang untuk berdialog dengan Guru Penggerak yang telah menjadi Kepala Sekolah Penggerak, dan Guru Penggerak di Kabupaten Sumedang.

Dalam dialog ini diharapkan menjadi penggerek yang akan memotivasi kembali guru penggerak lebih bergerak. menjadi agen perubahan yang mampu menginspirasi dan memotivasi rekan-rekan sejawat mereka, serta berkontribusi langsung terhadap pengembangan pendidikan di Kabupaten Sumedang.

Penulis: Enang Komala
Editor: Agus R dan Dwi J

Skip to content