PENDEKATAN TERINTEGRASI PENCEGAHAN KEKERASAN DI SATUAN PENDIDIKAN

PENDEKATAN TERINTEGRASI PENCEGAHAN KEKERASAN DI SATUAN PENDIDIKAN

Kekerasan dan perundungan di satuan pendidikan dan kampus menjadi salah satu masalah yang harus ditangani secara serius oleh para pemangku kepentingan, khususnya di bidang pendidikan. Sudah cukup banyak korban luka, trauma, bahkan meninggal akibat dari kekerasan di lingkungan pendidikan dan kampus. Kasus terbaru, seorang taruna di sebuah sekolah kedinasan meninggal karena disiksa oleh seniornya. Motifnya senioritas dan arogansi. (Kompas, 04/05/2024).

Penyebab kekerasan yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa tidak bisa hanya dilihat dari yang muncul permukaannya saja, tetapi harus dilihat juga dari akarnya. Jika ada kekerasan, kadang solusi yang dilakukan adalah solusi jangka pendek, insidental, dan sporadis. Misalnya saat ada kasus kekerasan, lalu tangani, proses, selesai. Belum dibuat solusi yang lebih bersifat antisipatif untuk kepentingan jangka panjang. Oleh karena itu, suatu saat, kasus kekerasan bisa terjadi lagi dan terjadi lagi karena memang fondasi sikap antikekerasan belum benar-benar ditumbuhkan di kalangan pelajar dan mahasiswa. Tradisi dan budaya “warisan” kekerasan dari senior serta gengsi kelompok atau komunitas menjadi pemicu kasus perundungan dan kekerasan terus terjadi.

Selain itu, kadang upaya pencegahan dan penanganan perundungan dan kekerasan di satuan pendidikan belum melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Sekolah dinilai sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Atau mungkin saja para pemangku kepentingan tersebut sudah merasa melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan, tetapi melakukannya dengan cara masing-masing. Belum terintegrasi, terkoordinasi, sinergis, dan kolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya. Lingkungan keluarga, dinas pendidikan, dinas kominfo, dinas sosial, lembaga perlindungan anak, satuan pendidikan, masyarakat, aparat penegak hukum, media, lembaga swadaya masyarakat, dan pihak lainnya harus sama-sama bergerak secara sinergis dan kolaboratif.

Setiap pihak terkait diharapkan melaksanakan perannya masing-masing dalam mencegah terjadinya tindakan kekerasan di kalangan pelajar dan mahasiswa. Misalnya, Kemendikbudristek melakukan sosialisasi terkait pencegahan perundungan dan kekerasan di satuan pendidikan, maka lembaga lain seperti Kemenkominfo diharapkan menyaring atau memblokir game-game online yang bertema kekerasan, akun-akun yang menyebar konten yang bertema kekerasan, dan men-take down konten-konten yang bertema kekerasan di media sosial.

Ini bukan pekerjaan mudah, karena ibaratnya, hilang satu tumbuh seribu. Satu akun diblokir, lalu muncul akun-akun baru atau akun lama yang berubah nama. Walau demikian, negara tidak boleh kalah dengan hal-hal negatif yang merugikan masyarakat, khususnya generasi muda. Selain itu, perlu juga melakukan berbagai kampanye atau sosialisasi anti kekerasan dan perundungan melalui beragam bentuk dan beragam kanal media.

Karakter generasi muda sudah banyak terdegradasi oleh dampak buruk game online. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa game online dan konten yang bertema kekerasan berdampak negatif terhadap kepribadian anak dan remaja. Karakter mereka menjadi agresif, emosional, mudah marah, beringas, berpikir “sumbu pendek” dalam mengambil keputusan yang akhirnya merugikan mereka sendiri seperti terjerat masalah hukum. Mereka pun menjadi individual, kurang memiliki sikap empatik, dan kurang peka terhadap kondisi lingkungan sekitar. Fokus pikiran dan perhatiannya banyak dihabiskan dengan bermain game online. Video-video kekerasan dan perundungan yang viral dan tersebar di media sosial, justru menjadi “inspirasi” dan contoh bagi sebagian anak dan remaja untuk melakukan hal yang sama tanpa berpikir dampak buruk dari tindakan tersebut, seperti berurusan dengan hukum dan trauma terhadap korban.

Lahirnya Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) bisa dilihat sebuah inisiatif gerakan bersama mencegah perundungan dan kekerasan di satuan pendidikan. Permendikbudristek tersebut mengamanatkan agar pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota serta satuan pendidikan membentuk satgas PPKSP. Tentunya diharapkan bukan hanya berhenti di pembentukan satgas, karena satgas hanya sebuah instrumen formil. Kita berharap satgas ini bisa efektif dalam melakukan peran dan fungsinya sehingga kasus-kasus perundungan dan kekerasan bisa semakin dicegah dan diantisipasi.

Upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan tentunya diharapkan tidak hanya berhenti pada pembentukan satgas, tetapi perlu dilanjutkan kepada hal-hal yang lebih substantif dan lebih konkrit, seperti sosialisasi pemahaman terkait peran dan fungsi satgas, beragam upaya atau langkah pencegahan kekerasan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dan langkah-langkah konkrit lainnya.

Kasus perundungan dan kekerasan yang muncul atau viral di media sosial bisa jadi hanya sebuah puncak gunung es. Kasus yang sebenarnya terjadi jauh lebih banyak dari yang muncul atau viral di media. Inilah yang harus benar-benar ditangani dengan serius. Aksi tawuran pelajar/mahasiswa, aksi perundungan baik guru kepada murid, antarsesama murid, murid terhadap guru, atau orang tua terhadap guru sudah cukup banyak terjadi. Cukup memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Jika tidak ditangani dengan serius, maka akan menjadi bom waktu untuk semakin runtuhnya dan lunturnya karakter. Warga sekolah (guru, tenaga kependidikan, peserta diidk, dan orang tua) bisa jadi pelaku atau korban perundungan dan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.

Peran pendidikan keluarga sangat penting dalam upaya pencegahan perundungan dan kekerasan. Sikap antiperundungan dan kekerasan ditumbuhkan dan dikampanyekan melalui keluarga yang harmonis, saling menghormati, dan saling menghargai. Sikap sopan, santun, ramah, menghormati perbedaan dikembangkan dalam pergaulan dan komunikasi di lingkungan keluarga. Begitu pun di lingkungan satuan pendidikan, kampus, lingkungan kerja, dan masyarakat. Hal yang sama harus dilakukan.

Satuan pendidikan mengampanyekan anti perundungan melalui amanat pembina saat upacara bendera, integrasi pada mata pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, proyek penguatan profil pelajar Pancasila, pameran, dan sebagainya. Selain mengoptimalkan peran guru dan tenaga kependidikan, satuan pendidikan juga dapat mengundang pihak lain seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, orang tua peserta didik, aparat pemerintah, TNI/Polri, LSM, dan pihak lainnya untuk menyosialisasikan pencegahan perundungan dan kekerasan.

Dinas Pendidikan, Polri, media, dan lembaga swadaya masyarakat diharapkan menyosialisasikan dan mengampanyekan pencegahan perundungan dan kekeresan. Perusahaan media diharapkan memiliki tanggung jawab moral dalam menyajikan tayangan-tayangannya. Bukan hanya berpikir keuntungan semata, tetapi juga berpikir dalam pembangunan karakter bangsa.

Saat terjadi kasus perundungan atau kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, penanganan dan penyelesaian masalahnya sebaiknya diutamakan melalui pendekatan musyawarah kekeluargaan atau non-hukum. Hal ini sejalan dengan misi pendidikan sebagai proses untuk memanusiakan manusia bukan untuk menghukum manusia.

Penulis: Idris Apandi

“SENTUHLAH DENGAN HATI”: CERITA PENCEGAHAN BULLYING DI SDN CIBURIAL 2 KEC. LELES KAB. GARUT

“SENTUHLAH DENGAN HATI”: CERITA PENCEGAHAN BULLYING DI SDN CIBURIAL 2 KEC. LELES KAB. GARUT

Manusia terbaik bukanlah manusia yang hanya cerdas, karena cerdas saja belum cukup untuk memperoleh predikat terbaik, kecuali kecerdasan dan apa yang dimilikinya mampu memberikan manfaat bagi sesamanya kebermanfaatan yang didalamnya ada iman dan amal shaleh, kejujuran, keadilan dan karakter serta adab yang baik pendidikan di satuan pendidikan adalah sebagai sarana untuk melakukan proses. Tugas utama guru bukan sekedar mengajar dalam menyampaikan ilmu dan teori kepada peserta didik, tetapi membantu kesulitan mereka dalam  melakukan proses pematangan pendewasaan peserta didiknya sesuai bakat, minat, dan kemampuannya.

Salah satu tantangan serius yang dihadapi dunia pendidikan saat ini adalah maraknya kasus perundungan, sehingga perlu adanya antisipasi di sekolah-sekolah yang harus dilakukan oleh seluruh pihak yang ada di satuan pendidikan untuk menekan dan meminimalisir terjadinya kasus perundungan atau ”bullying”.

Bullying adalah perilaku yang disengaja dan agresif yang terjadi berulang terhadap korban. Ada pula yang mendefinisikan sebagai perilaku yang ditujukan untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun mental. Penyebab bullying berdasarkan sebuah riset pelaku perundungan biasanya memiliki masalah keluarga, stress, atau trauma ada pula yang pernah jadi korban, mereka yang pernah diintimidasi lebih berpeluang menjadi pelaku bullying ketimbang orang yang tidak pernah diintimidasi.

Perundungan atau ”bullying” masih kerap terjadi di sekolah-sekolah. Upaya yang dilakukan adalah perlu dibangun lingkungan sekolah yang aman dengan tujuan agar  mendorong sekolah bebas perundungan, karena idealnya kondisi pendidikan di Indonesia seyogyanya harus sesuai dengan harapan yaitu anak merupakan aset masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Seperti yang kita ketahui, banyak dampak bullying terhadap korban yang menerimanya. Diantaranya, rasa percaya diri menurun, kesedihan dan kemurungan, menjadi orang yang tertutup, prestasi dan minat belajar menurun, tindakan melukai diri sendiri atau bahkan orang lain, ada keinginan pindah sekolah, dan bila terus berlanjut akan mengakibatkan depresi.

Atas dasar hal tersebut, satuan pendidikan tentunya di sekolah kami pun di SDN 2 Ciburial Kecamatan Leles Kabupaten Garut harus lebih meminimalisir dan mengantisipasi supaya tidak terjadi adanya perundungan atau bullying di sekolah dan jikalau ada/terjadi  harus lebih mendalam menggali apa penyebab, dampak, dan mencari solusi  agar pelaku  dan korban perundungan terlindungi dan tidak terjadi lagi. Dalam hal ini sangat diperlukan peran sekolah. Upaya untuk memperbaikinya dengan memberikan hak dan perlindungan kepada siswa agar memperoleh rasa aman dari kekerasan, diskriminasi dan perlakuan salah lainnya agar siswa dapat tumbuh dan berkembang sesuai harkat dan martabat kemanusiaan yang terlindungi.

Upaya yang dilakukan di sekolah kami yaitu SDN 2 Ciburial untuk mengantisipasi dan meminimalisir adanya  perundungan atau “bullying” di sekolah kami diantaranya:

Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap aktivitas bullying yaitu dengan secara terjadwal memberikan penyuluhan terkait pengertian bullying, jenis dan dampak dari tindakan tersebut tidak hanya kepada seluruh siswa tetapi terhadap orang tua agar dapat terjalin komunikasi yang lebih mendalam antara pihak orang tua, siswa dan sekolah melakukan diskusi interaktif untuk merumuskan bersama peraturan-peraturan disekolah/kelas terkait bullying. Selanjutnya sekolah memfasilitasi peraturan yang dirumuskan bersama tim untuk dicatat kemudian disimpulkan untuk dibuat peraturan yang akan dilaksanakan atas persetujuan dan komitmen bersama.

Tidak hanya guru dan orang tua yang berperan penting dalam mewujudkan hal tersebut. Masyarakat juga sebagai kontrol eksternal perlu memberikan kontribusi dalam berbagai kegiatan yang di selenggarakan oleh pihak sekolah. Salah satunya adalah keterlibatan masyarakat untuk melaporkan apabila terjadi tindakan kekerasan atau bullying yang terjadi di luar sekolah untuk ditindaklanjuti nantinya oleh pihak sekolah.

Masyarakat yang peduli akan mempersempit ruang gerak perilaku bullying sehingga kasus-kasus yang mungkin terjadi bisa ditekan agar tidak kembali terulang. Integrasi dan kolaborasi antara pihak sekolah, orang tua, dan masyarakat dalam mewujudkan Sekolah Anti Bullying menjadi kunci berhasil atau tidaknya program tersebut yang diperlukan untuk mewujudkan kondisi aman, bersih, sehat, peduli, dan memenuhi hak dan perlindungan anak dari berbagai kekerasan dan bullying baik secara verbal maupun nonverbal.  Faktor utama yang dapat mendukung diantaranya peran  sekolah, kepedulian orang tua, dan kontrol eksternal dari masyarakat. Karena bullying dapat terjadi pada semua orang dan dapat dihentikan oleh semua orang.

“Foto Bersama Orang Tua dan Peserta Didik terkait Sosialisasi Pecegahan “Bullying”.

Menciptakan suasana yang hangat, hubungan yang saling mendukung, iklim positif dan pelibatan semua siswa di sekolah sebagai kepala sekolah selain manajemen sekolah mengambil peran memfasilitasi peserta didik dengan motto “Sentuhlah dengan hati” melakukan kegiatan sederhana bercengkrama dengan siswa dimulai dengan menanyakan hal-hal disukai seperti pelajaran apa yang mereka sukai, kegiatan sehari-hari adakah perilaku/perbuatan teman atau kakak kelas yang kurang disukai, dan ada kegiatan di jam isitrahat siswa bersama-sama bergantian ke ruang kepala sekolah untuk menceritakan, membacakan, menampilkan atau memperlihatkan hal-hal baru yang mereka sudah capai, mereka amat senang besar kecil yang mereka capai diberikan perhatian penghargaan dan reward dan  atas prestasi yang dicapai tidak selalu dengan materi untuk menumbuhkan rasa kepercayaan diri siswa-siswi di sekolah agar mereka merasa nyaman dan lebih senang di sekolah.

Foto Bersama kegiatan Lebih dekat dengan Peserta Didik

Di dalam kelas dan sekolah guru dapat mencegah dan meminimalisir dengan cara melibatkan siswa dalam bermain peran (role play) mengenai stuasi bullying dan cara mengatasinya. Memperhatikan anak-anak yang lebih rentan terhadap bullying termasuk anak yang baru atau pindahan, anak-anak yang secara fisik lebih lemah, anak-anak dengan disabilitas dan jika ada anak-anak yang mengeluh karena di-bully oleh temannya agar mereka lebih aktif membantu dan mengingatkan siswa sisiwa lainnya agar dapat membantu, menunjukkan rasa empati dan kasih sayang dengan membagikan perasaan anak yang menjadi korban bullying dan membantu menggali informasi terhadap pelaku bullying untuk memahami apa alasan dibalik perilaku bullying mereka (apakah mereka mempunyai masalah di rumah, kurangnya perhatian, pernah punya pengalaman jadi korban bullying, atau  alasan yang lainnya).

Foto Kegiatan Guru Mencari Informasi terhadap Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Diri kepada Peserta Didik

Adanya peningkatan pelibatan kapasitas kelompok  teman sebaya di sekolah dalam mencegah bulying dilingkungan sekolah diberikan pengetahuan lebih kepada kelompok teman sebaya akan bentuk, jenis dan dampak yang ditimbulkan dari bullying sehingga memiliki kesadaran untuk membantu tidak melakukan dan mencegah tindakan bullying  terjadi disekolah. Hal tersebut untuk meningkatkan kontrol sosial yang ada dilingkungan sekolah agar teman sebaya dapat membantu apabila ada teman yang terindikasi baik sebagai pelaku ataupun korban. Karena adakalanya dengan teman sebayanya anak-anak lebih terbuka menceritakan masalahnya.

Dampak positifnya, jika ada perundungan atau ‘bullying’ di sekolah dapat cepat diatasi dan sekolah dapat mengambil tindakan untuk mengatasi bullying tersebut dan memberi bantuan dan perlindungan kepada siswa. Guru lebih cepat memberikan pendekatan kepada siswa baik yang menjadi pelaku perundungan maupun korban perundungan.

Foto Kegiatan Teman Sebaya yang sedang menyosialisasikan terkait Perundungan atau ”Bullying” kepada Peserta Didik yang lainnya

Kefektivan dari kegiatan-kegiatan  yang telah dilakukan di sekolah sejauh ini dapat meminimalisir adanya perundungan atau ”bullying” terjadi. Peserta didik mengikuti layanan dan peserta didik merasa puas dengan layanan yang diberikan. Hal ini dapat terlihat dari hasil rapor pendidikan sekolah kami. Seperti contohnya peserta didik semakin memahami mana candaan dan mana yang berindikasi bullying dan peserta didik berniat untuk melakukan perubahan dalam dirinya untuk lebih bisa menjaga ucapan dan

lebih baik menegur dari pada mem-bully.

Semua upaya yang dilakukan sekolah tersebut dilakukan dengan cara mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi. Guru yang baik, bukan sekedar pintar dan punya gelar, tetapi mereka yang dapat memintarkan dan membentuk  martabat  siswa untuk memiliki perilaku dan karakter yang lebih baik. Dengan demikian, guru yang baik tidak sekadar dilihat dari kemampuannya dalam meningkatkan jumlah lulusan, tetapi terletak pada kemampuan dalam mempersiapkan masa depan peserta didik yang  lebih maju, bermutu,  berkarakter baik, dan bermartabat. Guru tidak boleh takut bila ada siswanya tidak lulus, tapi takutlah bila melihat ada siswanya mem-bully temannya, tidak jujur, tidak disiplin, tidak punya kepercayaan diri, dan tidak punya semangat  untuk maju. Guru boleh salah dalam melaksanakan proses pembelajaran, tapi tidak boleh  kehilangan teladan.

Penulis: Windi Wulan Sari (Kepala SDN 02 Ciburial)

PENDEKATAN TERINTEGRASI PENCEGAHAN KEKERASAN DI SATUAN PENDIDIKAN

Menghapus Aksi Bullying Melalui Pelayanan  kepada Anak-Anak Berkebutuhan Khusus di SDN Karya Mulya 2

Edukasi Anti Bullying melalui Kegiatan Mendongeng

Pendahuluan

Sekolah negeri telah lama menjadi tempat berkumpulnya anak-anak dari berbagai latar belakang. Salah satu tantangan yang sering muncul adalah adanya aksi bullying, terutama terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Anak-anak ini sering kali menjadi sasaran karena perbedaan fisik atau mental mereka. Menyadari masalah ini, sebuah sekolah negeri memutuskan untuk mengambil langkah nyata dalam meniadakan bullying melalui program pelayanan kepada anak-anak berkebutuhan khusus.

Seperti halnya pengalaman yang terjadi di sekolah kami SDN Karya Mulya 2.  Bullying/perundungan terjadi, saat ada seorang peserta didik laki-laki pindahan yang mengalami penolakan dari beberapa sekolah lain karena teridentifikasi sebagai peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK). Perilakunya yang mengganggu kondusivitas kelas karena kondisi kePDBKannya  menimbulkan kemarahan dan penolakan dari teman-teman sekelas, orangtua, dan wali kelas. Sehingga teman-teman sekelasnya terpicu melakukan kekerasan verbal dan nonverbal kepada peserta didik tersebut. Begitupun sebaliknya.

Suasana kelas pun menjadi kurang kondusif. Kurang nyaman proses belajarnya.   Sikap permusuhan dengan mengepalkan tangan kerap ditunjukkan teman-temannya kepada  peserta didik pindahan.  Fakta tersebut menjadi awal gambaran nyata belum diterimanya perbedaan dan keberagamaan latar belakang keadaan setiap peserta didik. Kesadaran lebih untuk menangani bullying secara serius melalui aksi pelayanan inklusi pun kami pilih sebagai hal urgen yang menjadi akar dari ragam perilaku bullying.

Tantangan

Teridentifikasinya  lebih dari 10 % dari jumlah peserta didik keseluruhan sebagai PDBK, menimbulkan kesulitan lain baik dalam interaksi pergaulan maupun layanan belajar. Pada mulanya penerimaan PDBK lebih dipicu karena kondisi sekolah yang masih kekurangan siswa dari rombel yang tersedia. Semula belum dipikirkan lebih lanjut bagaimana pengelolaan semestinya PDBK dengan diagnosa yang cukup beragam. Salah satunya kesulitan belajar karena IQ di bawah 70. Sehingga dalam prosesnya menimbulkan efek perundungan/bullying baik dari teman-teman sekelas (kurang dianggap keberadaannya), dari pendidik (dicap beban kelas & faktor gagal keprofesionalan pendidik) dan anggapan orang tua peserta didik lainnya (sekolah dicap sebagai  tempat siswa yang tidak diterima di  sekolah lain). Gambaran tersebut adalah salah satu stereotif yang menjadi deskripsi sekolah sewaktu pertama kali bertugas di sekolah. 

Tantangan lainnya yang harus dihadapi sekolah dalam mengimplementasikan program layanan inklusi pada peserta didik sebagai bagian menghilangkan praktik bullying ini; 1. Belum meratanya kesadaran dan pemahaman. Banyak siswa dan bahkan beberapa guru kurang memahami kebutuhan khusus/berbeda dan kondisi yang dihadapi oleh anak-anak berkebutuhan khusus. 2. Stigma dan prasangka negatif yang melekat pada anak-anak berkebutuhan khusus yang memperburuk situasi bullying. 3. Keterbatasan sumber daya. Sekolah sering kali menghadapi keterbatasan dalam hal sumber daya, baik dari segi tenaga pendidik yang terlatih maupun fasilitas pendukung. 4. Integrasi Sosial, yakni mengintegrasikan anak-anak berkebutuhan khusus dengan siswa lain tanpa membuat mereka merasa terisolasi adalah tantangan tersendiri.

Fakta tersebut semakin meyakini manajer sekolah untuk mendalami bagaimana pelayanan inklusi, sebagai bentuk implementasi diferensiasi proses pembelajaran sekaligus menghapuskan perundungan di sekolah.

Aksi

Untuk mengatasi tantangan tersebut, sekolah mengambil beberapa langkah nyata berupa menciptakan lingkungan belajar positif diantaranya; Pelatihan untuk kepala sekolah, pendidik, dan tenaga kependidikan.  Sekolah mengadakan pelatihan khusus untuk guru dan staf mengenai layanan inklusif pada pembelajaran, cara mendeteksi, mencegah, dan menangani bullying. Pelatihan ini juga mencakup bagaimana memberikan dukungan kepada anak-anak berkebutuhan khusus.

Pelatihan dilakukan secara mandiri dan beragam topik bahasan, melalui berbagai sumber literatur seperti  dari Platform Merdeka Mengajar (PMM), Studi tiru secara luring kepada sekolah negeri, swasta maupun nonformal yang sudah menerapkan pelayanan inklusif. Program Edukasi dan Sosialisasi/parenting. Diadakan program edukasi dan sosialisasi untuk semua siswa tentang pentingnya inklusi dan penghargaan terhadap perbedaan.

Siswa diajarkan tentang berbagai jenis kebutuhan khusus dan bagaimana mereka bisa menjadi teman yang baik untuk teman-temannya yang memiliki kondisi khusus/kesulitan tertentu. Seperti praktik circle time dari gerakan sekolah menyenangkan yang diterapkan untuk menumbuhkan empati sesama peserta didik. Edukasi kepada orangtua peserta didik agar secara sadar dan ikhlas  menerima keadaan istimewa putra putrinya. 

Kegiatan Bersama. Sekolah menyelenggarakan kegiatan yang melibatkan semua peserta didik, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus, dalam berbagai program sekolah, proyek pembelajaran dan permainan yang mempromosikan kerja sama dan pengertian. Kegiatan religi pun dikuatkan dengan muatan anti kekerasan terhadap sesama.  Layanan Konseling sederhana. Sekolah menyediakan layanan konseling bagi peserta didik yang menjadi korban bullying serta bagi pelaku bullying untuk membantu mereka memahami dampak perbuatannya dan memperbaiki perilaku mereka.

Peningkatan Fasilitas. Sekolah meningkatkan fasilitas untuk mendukung kebutuhan khusus, seperti ruang terapi, alat bantu belajar, dan aksesibilitas fisik. Kerjasama & kolaborasi. Sekolah menjalin kerjasama dengan puskesmas, rumah sakit (untuk pemeriksaan/deteksi awal), psikolog, terhubung di grup praktisi inklusi dari berbagai instansi. Selain itu sekolah berkolaborasi dengan orangtua peserta didik agar memberikan dukungan melalui pengadaan guru pendamping khusus.

Perubahan

Setelah program ini berjalan selama beberapa waktu, terjadi perubahan signifikan di sekolah, diantaranya; Penurunan Kasus Bullying. Laporan tentang kasus bullying menurun drastis. Peserta didik lebih menguat kesadaran dirinya dan menghargai perbedaan di antara mereka. Peningkatan Empati dan Pengertian. Ada peningkatan dalam empati dan pengertian di antara peserta didik. Anak-anak lebih terbuka dan mendukung teman-teman mereka yang berkebutuhan khusus. Lingkungan Sekolah yang Lebih Inklusif. Sekolah menjadi lingkungan yang lebih inklusif dan ramah bagi semua siswa, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus.

Kinerja Akademik yang Lebih Baik. Anak-anak berkebutuhan khusus menunjukkan peningkatan dalam kinerja akademik mereka karena mendapatkan dukungan yang memadai dan merasa lebih diterima. Hubungan yang Lebih Baik Antarsiswa.  Kegiatan bersama dan program sosialisasi membantu membangun hubungan yang lebih baik dan solid antar siswa, mengurangi segregasi sosial.

Kesimpulan

Program pelayanan kepada anak-anak berkebutuhan khusus di SDN Karya Mulya 2  telah berhasil meniadakan/meminimalisir aksi bullying dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif. Dengan pelatihan, edukasi, dan dukungan yang tepat, sekolah dapat mengubah sikap dan perilaku siswa sehingga menghargai perbedaan dan saling mendukung satu sama lain. Ini adalah langkah penting menuju pendidikan yang adil dan merata bagi semua anak.

Penulis: Dewi Pujiati

Wujudkan Transformasi Pendidikan, Program Sekolah Penggerak Harus Jadi Agen Perubahan bagi Sekolah Sekitarnya

Wujudkan Transformasi Pendidikan, Program Sekolah Penggerak Harus Jadi Agen Perubahan bagi Sekolah Sekitarnya

Kepala BBPMP Jawa Barat dalam Pembukaan FPK Jabar 2024

Sri menjelaskan, upaya transformasi  pendidikan tidak akan berhasil manakala Kemendikbudristek berjalan sendirian. Terkait hal itu, pihaknya mengajak para pemangku kepentingan di daerah bersama-sama bergerak sesuai kewenangan yang diamanatkan undang-undang. Transformasi pendidikan, kata Sri, hanya bisa dilakukan manakala para pemangku kepentingan berkolaborasi dan berbagi peran. Kepala sekolah Sri meminta secara khusus kepada pimpinan daerah agar kepala sekolah di sekolah penggerak tidak diganti di tengah jalan. Jika kemudian terpaksa dilakukan pergantian, maka penggantinya harus berasal dari guru penggerak (GP). Pergantian kepala sekolah oleh guru penggerak dilakukan untuk menjamin kesinambungan PSP di satuan pendidikan bersangkutan. “Dari 1.847 tadi, diharapkan kepala sekolah tidak diganti di tengah jalan, tetapi promosi boleh. Diganti boleh, tetapi penggantinya dari GP,” kata dia. Sri mencatat, ada 52 kepala sekolah PSP di Jabar yang tidak diganti oleh GP. Akibatnya, pihaknya kesulitan dalam melakukan rekognisi. “Kita sedang berjuang melalui Permendikbud agar GP bisa diprioritaskan jadi kepala sekolah atau pengawas,” ujar Sri.

Seleksi Sementara, penanggung jawab kegiatan sekaligus Ketua Tim Kerja Inovasi dan Transformasi BBPMP Dini Irawati mengatakan, sekolah penggerak harus menjadi agen perubahan. Sekolah penggerak, kata dia, tidak dipilih dari sekolah-sekolah yang sebelumnya sudah menyandang predikat terbaik, melainkan diseleksi berdasarkan visi kepala sekolah dalam memajukan satuan pendidikan.

Di sisi lain, pemerintah daerah juga harus peduli dengan masalah yang ada di sekolah. “Bagaimana pendidikan dan sekolah bertransformasi bisa dilihat dari rapor pendidikan. Mana yang kurang, mana yang harus diperbaiki,” katanya. Labelling Dia berharap seluruh sekolah bisa bertransformasi menjadi sekolah penggerak, meski tanpa harus di SK-kan. Hal ini supaya tidak ada lagi dikotomi/labelling antara sekolah unggulan dengan nonunggulan, sekolah penggerak dan bukan penggerak. Di sisi lain, Dini juga menyadari ada keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah daerah sehingga tidak semua sekolah bisa diintervensi. Oleh karena itu, satu sekolah penggerak harus menularian praktik baik ke minimal lima sekolah yang ada di sekitarnya. Meski, dia juga meyakini, perubahan atau transformasi tidak bisa terwujud dalam waktu singkat. Pada pertemuan ini, BBPMP Jabar mengajak sekolah penggerak untuk melakukan refleksi dan berbagi praktik baik, review capaian progres transformasi satuan  pendidikan, dan penyusunan rencana aksi percepatan transformasi satuan pendidikan melalui PSP sebagai penggerak komunitas belajar.

(Berita ini telah ditayangkan di Wujudkan Transformasi Pendidikan, Program Sekolah Penggerak Harus Jadi Agen Perubahan bagi Sekolah Sekitarnya (pikiran-rakyat.com))

Penulis: Kismi DA

Wujudkan Transformasi Pendidikan, Program Sekolah Penggerak Harus Jadi Agen Perubahan bagi Sekolah Sekitarnya

Kepala BBPMP Jabar Harapkan Ada 5 Intervensi Untuk Mewujudkan Sekolah Yang Dicita-citakan

Kepala BBPMP Jawa Barat dalam Pembukaan FPK Jabar 2024
Fotografer: M Diva

Bandung, – Balai Besar Penjaminan Mutu  Pendidikan (BBPMP) Provinsi Jawa Barat bersama Balai Besar Guru Penggerak (BBGP) Jawa Barat menyelenggarakan Forum Pemangku Kepentingan Program Sekolah Penggerak dengan tema  “Membangun Komitmen Bersama Wujudkan  Sekolah yang Dicita-citakan”. Acara dilaksanakan di HARRIS Hotel & Conventions Festival Citylink,  Kota Bandung. Forum tersebut akan berlangsung selama 3 hari mulai dari 29 s.d. 31 Juli 2024.

Kepala BBPMP Jawa Barat, Dra. Sri Wahyuningsih M.Pd dalam sambutannya menyampaikan bahwa amanat Permendikbud Nomor 40 Tahun 2021, memberikan suasana baru untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Karena guru yang akan diberikan penugasan sebagai Kepala Sekolah di antara syaratnya ialah Guru yang memiliki sertifikat pendidik, serta memiliki Sertifikat Guru Penggerak.

Menurutnya untuk mensukseskan program Sekolah Penggerak perlu ada 5 intervensi yang diharapkan ialah terbangun pendampingan dari dewan, dinas  pendidikan dan masyarakat untuk menjalankan sistem di satuan pendidikan. Penguatan Sumber Daya Manusia / SDM berbasis kolaborasi. Sekarang bukan eranya mau menang sendiri. Maka guru atau sekolah penggerak harus menjadi katalis, terlebih untuk angkatan pertama, harus menjadi pengimbasan kepada satuan pendidikan yang lain sebagai transformasi layanan pendidikan atau mengoptimalkan peran guru lainnya.

Selanjutnya intervensi pembelajaran melalui paradigma baru berbasis kurikulum merdeka. Maka sumber belajar harus dicari dan diperoleh oleh guru untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran.

Selain itu, Perencanaan berbasis data, data yang bersumber dari dapodik, rapot pendidikan dan kebijakan di daerah untuk optimalisasi dana bantuan oprasional yang diterima sekolah. Serta Digitalisasi Sekolah, melalui fasilitas TIK yang disediakan dari APBN, APBD atau bantuan DAK.

Selain itu, Sri menyampaikan bahwa media sosial di BBPMP Provinsi Jawa Barat atau satuan  pendidikan memiliki peran yang sangat strategis dalam ikut mempromosikan dan menyosialisasikan berbagai kebijakan prioritas Kemendikbudristek. “Media sosial BBPMP Provinsi Jawa Barat atau yang dikelola satuan pendidikan harus bisa menjadi sarana edukasi bagi publik, khususnya dalam bidang pendidikan.”, imbuhnya.

Sri mengungkapkan dalam menyikapi sebuah kebijakan pemerintah, kadang muncul kesalahpahaman atau miskonsepsi. Oleh karena itu, peran media sosial lembaga pemerintah, seperti halnya BBPMP Provinsi Jawa Barat sangat berkepentingan untuk mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat melalui komunikasi media sosial yang mudah dipahami dengan konten-konten media sosial yang kreatif dan menarik.

BBPMP Jabar berharap khususnya kepada yang bertugas di tim media, humas, dan PIC Content Creator di lembaga  pendidikan produktif membuat, mengemas, menyampaikan informasi dan pesan yang bermanfaat untuk meningkatkan mutu pendidikan di Jawa Barat. Serta dapat meng-counter, jika ada miskonsepsi yang muncul dari masyarakat terhadap sebuah kebijakan yang digulirkan oleh Kemendikbudristek.

Infromasi yang dihimpun koransinarpagijuara.com di lokasi, Sekolah-sekolah dari berbagai jenjang pendidikan di Jawa Barat menerima penghargaan Program Sekolah Penggerak. Penghargaan untuk sekolah pelaksana Program Sekolah Penggerak itu diberikan langsung oleh Plh. Kepala Dinas  Pendidikan (Kadisdik) Jawa Barat (Jabar), Drs. M. Ade Afriandi M.T saat menghadiri Forum Pemangku Kepentingan Tahun 2024.

Kegiatan yang digelar oleh Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Jabar tahun ini, dalam rangka merefleksikan program sekolah penggerak. Serta memfasilitasi keterlibatan pemangku kepentingan untuk mendukung implementasi program sekolah penggerak di Jawa Barat.

Plh. Kadisdik Jabar menuturkan, program sekolah penggerak adalah upaya untuk mewujudkan Indonesia maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya pelajar Pancasila.

“Interpretasi pelajar Pancasila sendiri merupakan ikhtiar untuk mencetak murid yang kreatif, mandiri, mampu bekerja sama, kritis, beriman serta berbudi luhur,” tuturnya.

(Berita ini telah ditayangkan di Kepala BBPMP Jabar Harapkan Ada 5 Intervensi Untuk Mewujudkan Sekolah Yang Dicita-citakan – Koran Sinar Pagi Juara)

Penulis: Dwi Arifin

Skip to content