PEDAGOGIK WELAS ASIH UNTUK WUJUDKAN PENDIDIKAN RAMAH ANAK

PEDAGOGIK WELAS ASIH UNTUK WUJUDKAN PENDIDIKAN RAMAH ANAK

Sumber: https://id.pinterest.com/pin/512988213821389425/

Hakikat pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Manusia adalah makhluk yang unik dan memiliki karakteristik masing-masing. Proses mendidik bukan hanya memerlukan kemampuan guru dalam pengetahuan substansi terkait materi yang akan diajarkan dan kemampuan cara mengajarkannya, tetapi lebih dari itu, memerlukan kepribadian (soft skill) guru yang baik. Mengapa? Karena yang dihadapi oleh guru adalah manusia, makhluk yang selain memiliki akal, juga memiliki perasaan, dan memiliki kecerdasan yang beragam.

Mendidik adalah sebuah aktivitas yang kompleks. Bukan hanya mengandalkan logika dan penguasaan materi pelajaran, tetapi membutuhkan sentuhan kasih sayang. Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara dalam pemikirannya telah mewanti-wanti untuk mengedepan kasih sayang dalam mendidik. Pemikirannya yang begitu terkenal antara lain, ”Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tut wuri handayani”. Di depan memberikan teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberikan dorongan.

Eleanor Rosevelt (1884-1962), seorang pendidik, dosen, penulis buku, penyiar, dan istri presiden Amerika Serikat F. D. Rosevelt (1933-1945) mengatakan bahwa memberikan kasih sayang kepada peserta didik adalah bagian dari pendidikan itu sendiri. Pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan menyampaikan bahwa semangat mendidik dengan penuh kasih sayang dan toleransi adalah “kartu identitas” komunitas Islam. Kemudian pendiri Nahdlatul Ulama (NU), K. H. Hasyim Ashari menyampaikan bahwa berdakwah dengan cara memusuhi ibarat orang membangun kota, tetapi merobohkan istananya. Oleh karena itu, berdakwah perlu dilakukan dengan kasih sayang. Tokoh NU K. H. Mustofa Bisri juga menyampaikan bahwa “asal kita mendahulukan kasih sayang, kita bukan hanya akan masuk surga, tetapi kita di surga itu sendiri.”

UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization)  pada buku The Heart of Education Learning to Live Together menyampaikan bahwa kerangka mendidik dengan hati merupakan integrasi dari 3 elemen, yaitu (1) kecerdasan emosional, (2) empati, dan (3) mendidik dengan kasih sayang. Mendidik dengan berbasis kasih sayang akan menyentuh hati peserta didik. Saat hati peserta didik tersentuh oleh sikap guru yang  baik dan penuh dengan pancaran kasih sayang, maka mereka akan senang, nyaman, dan semangat selama mengikuti pembelajaran.

Saat mereka senang, nyaman, dan semangat belajar, maka proses belajar akan menjadi sebuah pengalaman yang bermakna bagi mereka. Belajar menjadi sebuah rekreasi akademik bagi mereka. Kondisi tersebut akan membantu peserta didik dalam memahami dan menguasai materi pelajaran.

Guru perlu melakukan tugas mendidik disertai hati dan passion (bergairah). Pembelajaran yang menyenangkan hanya bisa dilakukan oleh guru yang menyenangi profesinya, kondisi hati yang senang, dan lingkungan pekerjaan yang menyenangkan. Pada buku The Pedagogy of Love (UNESCO, 2014) dinyatakan bahwa seorang guru dapat bekerja dengan sepenuh hati jika dia mencintai dirinya sendiri, mencintai materi yang dia ajarkan, mencintai peserta didik, mencintai administrasi pembelajaran, mencintai (saling menghormati) sesama rekan sejawat, dan mencintai sekolah tempatnya bertugas.

Pendidikan yang berdasarkan welas asih ditopang oleh sejumlah nilai seperti kebaikan, empati, rela berkorban, suka memaafkan, kerelaan menerima dan menghargai terhadap kondisi yang berbeda, membangun berkolaborasi dalam komunitas, menjunjung tinggi etika, memiliki pola pikir berkembang (growth mindset), peduli, saling menghormati, kemerdekaan untuk mengemukakan pendapat dan beraktivitas, mengutamakan dialog dalam menyelesaikan masalah, adanya keterikatan secara emosional antara guru dan murid, dan keakraban dalam komunikasi guru dan murid.

Pendidikan yang berdasarkan welas asih akan mendukung terwujudnya Sekolah Ramah Anak (SRA). Sejalan dengan implementasi kurikulum merdeka, pembelajaran diharapkan berpihak atau berpusat kepada peserta didik (student center). Peserta didik menjadi fokus pencapaian target pembelajaran. Pencapaian visi dan misi sekolah pun tecermin dalam mutu anak didik atau lulusan. Adanya Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) pun bertujuan untuk membangun, menumbuhkan, menguatkan karakter peserta didik agar memiliki nilai-nilai Pancasila. Welas dan asih adalah salah satu cerminan manusia pancasilais.

SRA adalah gambaran sekolah yang ideal atau sekolah yang dicita-citakan. Sekolah yang inklusif. Sekolah yang membangun keseteraan dan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas. Nilai welas asih yang diimplementasikan dalam pembelajaran dapat membentuk karakter peserta didik untuk peduli, empati, menghargai dan menghormati orang lain, mau membantu orang lain tanpa melihat latar belakang suku, ras, kelompok, dan agama.

SRA bukan hanya dilihat dari konteks kepribadian guru dan proses pembelajarannya, tetapi juga bisa dilihat dari konteks visi, misi, lingkungan, dan sarana-prasarana penunjangnya. Apakah lingkungan sekolah aman dan nyaman untuk belajar? Apakah sekolah dilengkapi oleh sarana-prasarana yang diperlukan untuk menunjang pembelajaran? Apakah sarana-prasana mudah diakses untuk belajar? Dan sebagainya.

Mengapa saat ini banyak anak, remaja, dan bahkan orang dewasa yang mudah tersulut emosi, mudah melakukan perundungan (bullying), melakukan tindakan kekerasan, mudah menganiaya orang lain, bahkan sampai tega menghilangkan nyawa orang lain? Disamping ada masalah dengan latar belakang dan pribadinya sendiri, bisa saja karena lingkungan tempatnya belajar (rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat) tidak memunculkan pendidikan yang berbasis welas asih. Ditambah dampak negatif dari media sosial yang akrab di gawai mereka. Masalah ini menjadi hal yang kompleks dan solusinya harus melibatkan berbagai pihak terkait. Tidak hanya mengandalkan salah satu pihak saja.

Data-data dari lembaga terkait dan berita viral yang muncul di media terkait tindakan bullying dan tindakan kekerasan sungguh sangat mengerikan sekaligus membuat kita merinding dan prihatin. Kadang kita bertanya dalam hati, kok bisa ya anak yang masih di bawah umur melakukan tindakan kekerasan dan merudapaksa korban hingga meninggal? Sudah separah itukah kondisi moralitas bangsa? Sudah separah itukah dampak gawai dan media sosial dalam “mencuci otak” generasi muda? Apakah hal ini menjadi ciri kegagalan pendidikan? Lalu, bagaimana pendidikan yang di satu sisi menjadi “tertuduh” atas terjadinya krisis karakter bisa memberikan solusi atas masalah tersebut?

Pendidikan berdasarkan welas asih menjadi sebuah ikhtiar bersama untuk mewujudkan generasi muda yang disamping cerdas secara intelektual, terampil, juga beradab dan berakhlak mulia. Tantangan Gen-Z dan Gen Alpha saat ini sangat kompleks. Disamping

maraknya dampak negatif dari teknologi di era digital, banyak juga anak muda yang lebih suka atau lebih memilih ”dibimbing” dan ”diasuh” oleh gawai dibandingkan oleh orang tua dan guru. Mereka juga kebingungan mendapatkan figur yang bisa menjadi teladan bagi mereka. Di sinilah orang tua, guru, pemimpin, dan para tokoh diharapkan bisa menjadi agen-agen untuk menjadi (contoh) role model pendidikan berbasis welas asih tersebut sehingga anak didik bisa menjadi manusia yang berperikemanusiaan.

Penulis: Idris Apandi

Refleksi Gerakan Sekolah Sehat: Tebarkan Informasi Melalui Praktik Baik

Refleksi Gerakan Sekolah Sehat: Tebarkan Informasi Melalui Praktik Baik

Presentasi Hasil Penyusunan Best Practice Implementasi GSS di Satuan Pendidikan Binaan

Bandung, 11 September 2024 – Dalam rangka mendorong peningkatan kualitas kesehatan di lingkungan pendidikan, BBPMP Provinsi Jawa Barat menggelar kegiatan “Refleksi dan Penyusunan Praktik Baik Implementasi Gerakan Sekolah Sehat (GSS) di Satuan Pendidikan Binaan”. Acara ini dilaksanakan di Hotel Harris, Kota Bandung, selama tiga hari, mulai dari Rabu hingga Jumat. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan sekolah binaan tahun 2024 dari berbagai jenjang pendidikan, termasuk PAUD, SD, SMP, SMA, SLB, dan PKBM, dari 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.

Kegiatan ini bertujuan mengevaluasi progres pelaksanaan GSS di satuan pendidikan binaan, sekaligus merumuskan praktik baik yang dapat diadopsi oleh sekolah-sekolah lain. Evaluasi dilakukan dengan memetakan kekuatan dan kelemahan program, serta menyusun Rencana Tindak Lanjut (RTL) dan dokumen Best Practice yang akan menjadi panduan untuk pengembangan program di masa depan.

Pelaksanaan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) yang sudah lama diterapkan untuk meningkatkan kesehatan peserta didik melalui pendidikan dan pelayanan kesehatan masih belum optimal. Banyak sekolah yang hanya fokus pada layanan darurat tanpa cukup memperhatikan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), serta keterlibatan keluarga dan masyarakat yang terbatas. Untuk mengatasi masalah ini, Kemendikbud Ristek meluncurkan Gerakan Sekolah Sehat (GSS) yang menitikberatkan pada lima aspek kesehatan: Bergizi, Fisik, Imunisasi, Jiwa, dan Lingkungan. GSS bertujuan meningkatkan kesehatan secara berkelanjutan di sekolah, sehingga peserta didik dapat berkembang dalam lingkungan yang mendukung proses belajar. Kegiatan refleksi ini bertujuan mengevaluasi progres implementasi GSS di sekolah binaan, memetakan kekuatan dan kelemahan, serta menyusun dokumen Rencana Tindak Lanjut (RTL) dan Best Practice untuk pengembangan program di masa depan.

Menurut Yanti Triana, ketua panitia, kegiatan ini merupakan lanjutan dari pertemuan daring sebelumnya. “Kami pernah mendampingi tes kebugaran di 27 kabupaten/kota di Jawa Barat, dan kali ini dapat bertatap muka dengan 114 sekolah binaan serta 8 sekolah non-binaan,” jelasnya. Yanti berharap laporan dari sekolah-sekolah disusun berdasarkan konsep 5W+1H dengan prinsip Situation, Task, Action, Result (STAR), agar evaluasi program lebih sistematis dan komprehensif.

Pada sesi pembukaan, sambutan pertama disampaikan oleh Minhajul Ngabidin, perwakilan dari PDM 11, Direktorat SMP Ditjen PAUD Dikdasmen. Beliau menekankan pentingnya pelaksanaan GSS dalam mendukung kualitas kesehatan di sekolah. “Gerakan Sekolah Sehat yang berfokus pada lima aspek kesehatan ini diharapkan dapat menjadi upskilling bagi sekolah-sekolah, bukan hanya sebagai program jangka pendek, tetapi juga menjadi bagian integral dari pengembangan sekolah,” ujar Minhajul.

Sambutan berikutnya disampaikan oleh Sri Wahyuningsih, Kepala BBPMP Provinsi Jawa Barat, yang menegaskan pentingnya keberlanjutan program ini. “Sebenarnya, jika berbicara tentang sekolah sehat, bukan hanya kita yang hadir di sini yang harus terlibat. Kami berharap GSS ini menjadi gerakan yang diterapkan di seluruh sekolah, baik yang binaan maupun non-binaan,” kata Sri. Beliau juga menambahkan, “Poin penting dari program ini adalah keberlanjutan. Kami ingin memastikan bahwa GSS tidak hanya berhenti pada program, tetapi menjadi gerakan yang terus berkembang dan berkesinambungan.” Selanjutnya, dengan resmi, Sri Wahyuningsih membuka acara yang dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai jenjang pendidikan di Jawa Barat.

Kegiatan ini menghadirkan sejumlah narasumber yang berkompeten di bidangnya, yakni PDM 11 Direktorat SMP Ditjen PDM. Minhajul Ngabidin membawakan materi mengenai arah kebijakan Program Gerakan Sekolah Sehat 2024, memberikan panduan strategis bagi sekolah-sekolah binaan untuk mengimplementasikan GSS dengan lebih baik. Selain itu, Nastiyawati, juga memberikan materi mengenai teknik penyusunan best practice, yang sangat penting dalam menyusun dokumentasi praktik baik yang dapat diadopsi oleh sekolah-sekolah lainnya. Salah satu sekolah yang juga berbagi pengalaman suksesnya dalam pelaksanaan GSS adalah SMPN 6 Tambun Bekasi, yang merupakan salah satu sekolah binaan GSS BBPMP pada tahun 2023. Praktisi dari sekolah tersebut memberikan wawasan tentang praktik baik yang telah mereka terapkan, mulai dari program kebersihan lingkungan hingga inisiatif kesehatan mental untuk peserta didik.

Pada akhir kegiatan, diharapkan tersusun Dokumen Rencana Tindak Lanjut (RTL) Program Kerja Implementasi GSS di satuan pendidikan binaan, serta Dokumen Best Practice yang dapat menjadi panduan bagi sekolah-sekolah lain dalam mengembangkan program GSS. Dokumen ini diharapkan tidak hanya mencakup evaluasi hasil, tetapi juga strategi perbaikan dan pengembangan jangka panjang, sehingga gerakan ini dapat menjadi lebih efektif dan berdampak luas.

Dengan terselenggaranya kegiatan ini, BBPMP Provinsi Jawa Barat berharap implementasi Gerakan Sekolah Sehat akan semakin optimal dan dapat menjadi model yang diadopsi oleh sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Gerakan ini diharapkan mampu menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat, mendukung proses belajar, dan berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan. (UR)

Skip to content