PERLINDUNGAN MURID PENTING, PERLINDUNGAN GURU TIDAK KALAH PENTING

PERLINDUNGAN MURID PENTING, PERLINDUNGAN GURU TIDAK KALAH PENTING

Guru dan murid harus sama-sama terlindungi dalam proses pembelajaran.
Sumber: https://id.pinterest.com/

Pencegahan dan perlindungan terhadap kekerasan di satuan pendidikan bukan hanya untuk murid saja, tetapi juga untuk kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan, serta orang tua. Ini adalah amanat Permendikbudristek Nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Oleh karena itu, dalam implementasinya harus proporsional. Semua warga sekolah harus dilindungi dan terlindungi. Bukan hanya terlalu fokus kepada salah satu pihak saja. Dengan kata lain, pendidikan yang memihak kepada murid bukan berarti mengabaikan keberpihakan kepada warga sekolah lainnya.

Selain regulasi di atas, perlindungan pendidik tenaga kependidikan juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru dan Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Bagi Pendidik Dan Tenaga Kependidikan. Regulasi sudah ada. Tinggal bagaimana efektivitas implementasinya di lapangan. Apakah sudah benar-benar dilaksanakan atau baru indah di atas kertas?

Tim atau Satgas Pencegahan dan Penanganan kekerasan di satuan pendidikan idealnya bukan hanya diwakili oleh pihak sekolah, lembaga perlindungan anak, dan orang tua saja, tetapi juga harus ada unsur dari organisasi profesi guru, karena jika ada tindakan kekerasan yang menimpa guru, harus ada yang membantu mengadvokasinya. Secara tupoksi, salah satu peran organisasi profesi guru adalah melindungi guru dari tindakan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi.

Kalau dalam Tim atau Satgas TPPKSP tidak ada unsur organisasi profesi guru, siapa yang akan total membela dan memperjuangkannya? Mungkin saja unsur non-guru berkomitmen membela guru, tetapi akan lebih utama, lebih relevan, dan jauh lebih militan jika yang memperjuangkannya adalah organisasi profesi guru.

Sangat baik juga jika di dalam satgas TPPKSP dilengkapi unsur dari aparat penegak hukum, konselor, dan psikolog. Tujuannya untuk melakukan pembinaan dan pendampingan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Walau demikian, jika terjadi kasus kekerasan, baik yang menimpa guru maupun murid, maka penyelesaian masalahnya sebaiknya lebih mengedepankan solusi di luar hukum (nonlitigasi) yang dikenal sebagai penyelesaian secara kekeluargaan.

Guru perlu tenang dan mendapatkan perlindungan saat melaksanakan tugas. Bagaimana guru bisa melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya jika mereka kurang terlindungi dan rawan menjadi objek kebijakan yang merugikan mereka? juga rawan mendapatkan tindakan kekerasan dan intimidasi. Bukan hanya dari oknum orang tua, tetapi juga siswanya sendiri, karena kondisi saat ini kadang guru menghadapi dilema saat mendisiplinkan murid. Takut terkena pasal UU perlindungan anak dan pasal pidana jika guru bertindak tagas.

Akibatnya, guru menjadi apatis. Kurang peduli terhadap kondisi murid. Prinsipnya, yang penting masuk kelas, mengajar, sampaikan materi, selesai. Terserah, apakah murid memperhatikannya atau tidak, apakah murid disiplin atau tidak. Yang penting tugas selesai. Guru sebenarnya menyadari hal tersebut tidak sejalan dengan tugasnya sebagai guru yang bukan hanya mengajar, tetapi juga mendidik, tetapi mereka memilih cari aman. Pemicunya adalah rasa takut melanggar UU perlindungan anak yang berkonsekuensi berurusan dengan hukum.

Disiplin positif, segi tiga restitusi, kesepakatan kelas, dan coaching digadang-gadang menjadi solusi untuk mendisiplinkan murid atau menangani anak yang bermasalah. Tetapi pada kenyataannya, bukan hal mudah. Bagi sebagian murid, hal itu mungkin saja berhasil, tetapi bagi murid lainnya, perlu penanganan yang lebih tegas karena kadar kenakalannya sudah tinggi dan dikhawatirkan berdampak negatif terhadap murid lainnya atau bahkan berdampak terhadap rasa aman guru saat mengajar.

Karena dinilai tidak (dapat) bertindak tegas, posisi guru dianggap lemah dan kurang berwibawa di hadapan murid. Dampaknya, rasa hormat murid terhadap guru semakin rendah. Pada beberapa  kasus yang pernah terjadi, guru dipersekusi, diintimidasi, dikriminalisasi, masuk ke ruang jeruji besi, bahkan meninggal dunia karena kurangnya perlindungan terhadap mereka saat melaksanakan tugas.

Perlu dicatat, tegas berbeda dengan keras. Guru wajib tegas terhadap murid agar tetap berwibawa. Patokannya adalah tata tertib, aturan, atau kesepakatan yang disusun bersama. Kalau keras, tendensinya kepada tindakan yang bersifat melukai atau membuat cedera fisik dan mental murid, serta tidak berdasarkan pedoman yang jelas dan akuntabel, sehingga sulit dipertanggugjawabkan saat ada pihak yang mempersoalkannya. Hal ini yang perlu dihindari oleh guru. Dan hal ini juga yang biasanya memancing atau memicu respon balik kekerasan baik dari murid maupun dari oknum orang tua murid.

Menguatkan Soft Skill Guru

Dibalik perlindungan dari tindakan kekerasan yang harus diberikan kepada guru saat melaksanakan tugasnya, seiring dengan tantangan yang semakin kompleks, guru selain harus meningkatkan kompetensinya, juga harus meningkatkan soft skill-nya, khususnya kesabaran dan daya lentingnya (resiliensi) dalam mendidik murid yang memiliki beragam latar belakang dan karakter.

Mendidik murid zaman sekarang tantangannya sangat luar biasa. Perlu kesabaran berlipat-lipat. Harus banyak menarik nafas panjang untuk menjaga agar tetap tenang, tidak emosi saat menemukan atau menghadapi muridnya yang nakal atau melanggar tata tertib sekolah. Anak yang lambat belajar dan anak yang kurang disiplin adalah dinamika dalam proses pembelajaran yang harus disikapi dengan bijak.

Saat seseorang memilih profesi sebagai guru, maka dia harus siap dengan segala konsekuensinya. Termasuk memiliki kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial yang matang. Dialog dan komunikasi yang humanis menjadi hal yang sangat penting untuk untuk mencari solusi yang dihadapi dalam pembelajaran.

Cara berkomunikasi guru harus disesuaikan dengan Gen Z dan Gen Alpha yang saat ini banyak menjadi pelajar di sekolah. Pada umumnya, mereka adalah generasi yang kritis, ingin lebih otonom, tidak mau banyak didikte oleh orang tua atau guru, mudah bosan, dan mentalnya kurang stabil serta mudah rapuh. Oleh karena itu, guru harus bisa menyesuaikan cara berkomunikasinya. Selain menjadi guru, seorang guru juga harus bisa menjadi orang tua, teman, dan  menjadi pendengar yang baik bagi murid-muridnya.

Komunikasi juga harus dilakukan oleh guru kepada berbagai pemangku kepentingan dalam mendidik anak-anak didiknya agar semua pihak ikut terlibat dan ikut memikirkan solusi saat ada masalah. Jika ada murid yang bermasalah, komunikasi dan penyampaian informasi kepada orang tua/ walinya harus jelas, dengan cara yang baik, dan disertai dengan data dan bukti pendukung. Pihak orang tua pun jangan mendengar sebelah pihak dari anaknya jika ada masalah. Sebaiknya konfirmasi dan klarifkasi ke pihak sekolah agar tidak menimbulkan miskomunikasi. Saat ada masalah, utamakan solusi, bukan emosi. Pembelajaran yang penuh harmoni akan terjadi saat guru dan murid sama-sama terlindungi. Wallaahu a’lam.

Penulis: Idris Apandi

GELAR KARYA; SALAH SATU MISKONSEPSI P5

GELAR KARYA; SALAH SATU MISKONSEPSI P5

P5 sejatinya adalah penumbuhan karakter positif peserta didik melalui berbagai kegiatan atau aktivitas. Gelar karya hanya menjadi salah satu bentuknya saja. Tidak menjadi kewajiban P5 harus diakhiri dengan gelar karya.
Sumber: https://www.smkn1alian.sch.id/

Salah satu miskonsepsi yang banyak terjadi dan dilaksanakan di sekolah terkait Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) adalah adanya “kewajiban” gelar karya yang menandai puncak dan selebrasi P5. Seolah belum P5 kalau belum gelar karya. Hal ini diakui atau tidak menjadi hajat yang membebani sekolah, baik dari sisi waktu, biaya, maupun tenaga. Hasil P5 dalam bentuk karya-karya, produk, dan kreativitas yang dibuat oleh siswa ditampilkan dan dipamerkan. Bahkan ada yang dilombakan. Tidak ketinggalan panggung dan sound system dipasang untuk memeriahkan acara gelar karya.

Apakah gelar karya atau pameran hasil karya P5 tidak boleh dilakukan? Pada dasarnya boleh saja hal itu dilakukan. Walau demikian, tujuan atau substansi dari P5 bukanlah gelar karya. Kalau pun ada produk yang dihasilkan dari dari kegiatan P5, produk tersebut bukan tujuan utama, tetapi buah dari karakter yang dibentuk selama proyek, seperti kerjasama, sungguh-sungguh, kreativitas, menghargai karya orang lain, dan sebagainya.  Kepala BSKAP Anindito Aditomo pada sebuah video yang dibuat oleh BSKAP pun berpesan bahwa P5 tidak harus menghasilkan produk, kegiatannya tidak harus berbiaya besar, dan tidak harus mengandalkan teknologi.

Jangan sampai P5 menjadi identik dengan pelajaran prakarya, seni, atau budaya yang tujuannya menghasilkan karya. Kalau pun adalah penilaian, hal yang dinilai bukan produknya, tetapi proses atau karakter yang dimunculkan peserta didik selama kegiatan P5. Kata ”proyek” juga membuat guru-guru berpikir bahwa kegiatan P5 harus menghasilkan produk. Padahal proyek di sini juga bisa diartikan sebagai bentuk aktivitas yang dilakukan oleh peserta didik untuk menguatkan karakter positifnya.

Perubahan sikap dan perilaku peserta didik menjadi lebih baik juga dapat dikatakan sebagai produk dari P5. Peserta didik menjunjung tinggi kejujuran, menjadi lebih disiplin, lebih menghormati guru, lebih menghormati teman, lebih memiliki sikap empati, lebih memiliki kepedulian, lebih memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, lebih peduli terhadap masalah-masalah lingkungan, dan sebagainya, hal itu adalah buah dari P5.

Tujuan utama dari P5 adalah mendidik, menanamkan, dan mengembangkan karakter peserta didik agar memahami, menjiwai, dan mengamalkan nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, peserta didik menjadi manusia Indonesia yang Pancasilais. P5 bisa dilakukan dengan sukses tanpa harus ada gelar karya. Kalau pun ada gelar karya, hal itu hanya sebagai refleksi dari proses yang telah dilakukan selama kegiatan P5. Refleksi pun sebenarnya bisa dilakukan dalam format yang sederhana, seperti kumpul bersama di aula atau kelas. Tidak harus ada acara hiburan atau pentas seni yang membebani sekolah atau peserta didik.

Dalam pelaksanaan P5, memang sekolah diwajibkan memilih tema-tema yang telah ditentukan oleh Kemendikbudristek. Satu tema tertentu dilakukan dalam satu  semester. Panduan P5 memang sudah ada, tetapi realitanya masih banyak sekolah atau guru yang bingung memahami dan mengimplementasikan P5. Akibatnya, terjadi miskonsepsi. Guru banyak yang terjebak dan berkutat kepada hal-hal yang bersifat administratif, seperti menyusul modul P5 dan Lembar Kerja (LK) untuk kegiatan P5, sedangkan substansi P5 terabaikan.

Peserta didik pun kurang mendapatkan penekanan bahwa ”proyek” yang dilakukan bukan berorientasi menghasilkan produk, tetapi untuk membangun dan mengembangkan karakter positif. Dampaknya, peserta didik sibuk mengerjakan tugas atau proyek tanpa tahu apa tujuan atau substansi dari yang dilakukan oleh mereka. Hal yang mereka tahu, ini adalah tugas yang harus selesai dan menjadi sebuah produk.

Misalnya, yang mereka ketahui dari kegiatan pemanfaatan botol bekas air mineral dan kantong keresek adalah untuk membuat eco brick yang nantinya akan dibentuk menjadi beragam benda. Padahal, pesan utama dibalik hal itu adalah membangun kesadaran tentang pentingnya menjaga menjaga kebersihan dan membatasi penggunaan plastik demi menjaga kelestarian lingkungan karena plastik adalah sampah yang sulit terurai. Perlu puluhan bahkan ratusan tahun untuk agar sampah plastik bisa diurai oleh tanah. Hal ini yang perlu mendapatkan penekanan dalam kegiatan P5. Bukan proyeknya yang ditonjolkan.

Mari fokuskan P5 kepada pembangunan karakter bangsa, khususnya internalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa. Jangan sampai peserta didik tahu yel-yel P5, hapal lagu-lagu P5, sedangkan sila-sila Pancasilanya itu sendiri tidak hapal. Pancasila memang bukan sekadar untuk dihapal, tetapi hapal adalah pintu masuk untuk bisa memahami, memaknai, dan mengamalkannya.

Penulis: Idris Apandi

MELALUI PROGRAM GELITIK, GURU-GURU SDN KARAWANG WETAN 1 “DIGELITIK” MENINGKATKAN PENGUASAN TIK  

MELALUI PROGRAM GELITIK, GURU-GURU SDN KARAWANG WETAN 1 “DIGELITIK” MENINGKATKAN PENGUASAN TIK  

Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) berimplikasi terhadap berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan dan pembelajaran. Apalagi sejalan dengan era digitalisasi saat ini, pemanfataan TIK menjadi hal yang tidak dapat dilepaskan dalam pembelajaran. Konsekuansinya, sekolah harus menyediakan sarana-prasarana pendukung TIK seperti internet, PC, laptop, papan tulis digital, dan sebagainya.

Begitu pun dengan guru. Guru harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman. Guru harus melek TIK dan mampu memanfaatkannya dalam pembelajaran. Saat ini banyak media dan aplikasi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang bisa dimanfaatkan guru untuk membantu pembelajaran. Tinggal para guru mau terus belajar supaya tidak tertinggal oleh perkembangan zaman. Para peserta didik yang didominasi oleh Gen Z dan Gen Alpha sudah sangat familiar dengan teknologi. Oleh karena itu, sekolah dan guru harus mampu beradaptasi dengan cepat menyikapi hal tersebut.

Sekolah saat ini sudah banyak yang memiliki laman (web) dan media sosial yang yang digunakan untuk beragam keperluan seperti media informasi, komunikasi,  sosialisasi, dan promosi. Laman lembaga dan media sosial harus menjadi etalase untuk membangun persepsi positif masyarakat. Di era serba konten saat ini, konten-konten yang menarik bahkan viral akan meningkatkan kunjungan ke laman dan media sosial dan meningkatkan follower serta subscriber pemilik akunnya. Hal ini bisa berdampak terhadap semakin dikenal lembaga dan semakin diperhitungkannya sebuah lembaga oleh para pemangku kepentingan pendidikan.

Walau demikian, pengelolaannya laman dan media sosial sebuah lembaga ada yang sudah baik dan profesional, tetapi ada pula yang masih sederhana, terkesan seadanya, konten-kontennya kurang bermutu dan kurang variatif, sehingga kurang menarik untuk dikunjungi oleh netizen. Penyebabnya karena masih terbatasnya sarana-prasarana pendukung, terbatasnya anggaran, dan terbatasnya kompetensi dan jumah sumber daya manusia (SDM) yang mengelolanya.

Dalam rangka membantu sekolah meningkatkan mutu pengelolaan dan mutu konten laman dan media sosial di satuan pendidikan, Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan sejalan dengan inovasi ”GELITIK” (Gerakan Literasi Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi). Salah satu sekolah yang menjadi sasaran dari kegiatan ini adalah SDN Karawang Wetan 1 Kabupaten Karawang.

Mengapa sekolah ini terpilih menjadi salah satu sasaran? Karena berdasarkan observasi dan identifikasi awal, sekolah ini memiliki semangat yang tinggi untuk melakukan transformasi pembelajaran berbasis TIK di era digital. Sekolah ini juga merupakan sekolah penggerak, sekolah Ramah Anak, dan Sekolah Adiwiyata. Kepala Sekolah dan guru-gurunya memiliki semangat yang tinggi untuk belajar dan meningkatkan kompetensi dalam pengelolaan laman dan media sosial. Semangat yang tinggi untuk bertransformasi dan untuk terus belajar merupakan modal yang sangat penting dalam peningkatkan mutu lembaga.

Tanggal 12-14 Oktober 2024 sekolah ini mendapatkan pelatihan dari Tim BBPMP Provinsi Jawa Barat dalam mengelola laman dan media sosial agar mutunya semakin baik. Teknisnya dilakukan secara luring (workshop) dan daring (mandiri). U. Saefudin Suryadi selaku koordinator tim menyampaikan bahwa informasi yang disampaikan pada laman dan media sosial sekolah ini sudah cukup baik. Walau demikian, mutunya harus ditingkatkan agar makin memancing minat masyarakat untuk mengunjunginya. Target pertama adalah warga sekolah dan orang tua peserta didik sekolah ini untuk mengunjungi laman dan media sosial, kemudian menargetkan masyarakat luas. Oleh karena itu, laman SDN Karawang Wetan 1 perlu dipercantik agar makin menarik. Beranda dan menu-menunya pun perlu ditambah agar tersedia layanan informasi yang beragam.

 Kepala dan guru-guru menyambut dengan gembira sangat antusias mengikuti pelatihan tersebut. Yeni Mulyani, Kepala SDN Karawang Wetan 1 menyampaikan bahwa sejak dia bertugas di sekolah tersebut, salah satu harapannya adalah melengkapi dan menyediakan sarana-prasarana TIK serta meningkatkan mutu guru dalam pemanfaatan TIK dalam pembelajaran. Kehadiran Tim BBPMP ibarat doa yang terjawab sekalian tahu yang lalu, anugerah yang sangat luar biasa. SDN Karawang Wetan 1 sangat terhormat dan bangga menjadi salah satu sasaran kegiatan GELITIK BBPMP Provinsi Jawa Barat.

Hal senada juga disampaikan oleh Resi, salah satu perwakilan guru yang juga sebagai admin laman dan media sosial SDN Karawang Wetan 1. Dia merasa bersyukur mendapatkan pelatihan ini karena melalui melalui pelatihan ini, kemampuannya dalam mengelola laman dan media sosial meningkat. Melalui program GELITIK, guru-guru SDN Karawang Wetan 1 ”digelitik” untuk meningkatkan pemanfaatan TIK agar pembelajaran makin asik dan menarik sehingga berdampak positif terhadap peserta didik. (IA).

CEGAH BULLYING, WUJUDKAN STUDENT WELLBEING

CEGAH BULLYING, WUJUDKAN STUDENT WELLBEING

Sumber: id.pinterest.com

Di sini teman di sana teman, di mana-mana kita berteman
Tak ada musuh tak ada lawan, semuanya saling menyayangi
Tidak ejek-ejekan, Tidak pukul-pukulan
Saling tolong dan sayang dengan teman

Lirik lagu di atas adalah salah satu bentuk kampanye antiperundungan (bullying)   yang cukup banyak beredar di media sosial. Kampanye perundungan memang perlu dilakukan melalui berbagai macam strategi, cara, dan media sesuai dengan karakter dan jenjang sasarannya supaya mudah dipahami dan efektif mencapai tujuan. Keterlibatan berbagai pihak juga diperlukan dalam kampanye antiperundungan. Di mulai dari lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Kasus bullying dan kekerasan cenderung meningkat di lembaga pendidikan. Bahkan kondisinya semakin mengkhawatirkan. Perundungan dan kekerasan bukan lagi dalam dilakukan dalam bentuk pelanggaran ringan, tetapi sudah menjurus kepada tindakan pidana serius, menyebabkan luka serius, cacat permanen, trauma berat, sampai kematian.

Hal ini bukan hanya terjadi di lembaga pendidikan formal, tetapi juga di lembaga pendidikan nonformal seperti pesantren. Pelaku dan korban bisa melibatkan peserta didik, guru, dan/atau orang tua. Pada beberapa kasus, pelaku bullying pernah juga atau mengalami menjadi korban bullying, sehingga tindakan yang dilakukannya bisa menjadi sebuah tindakan ”balas dendam” atas peristiwa yang pernah dialaminya di masa lalu.

Bullying di sekolah bentuknya bisa verbal, tulisan, simbol, sikap, dan perilaku yang pada intinya meredahkan harkat dan martabat manusia. Hinaan, cacian, makian, mempermalukan di depan umum, ancaman, teror, kekerasan fisik, atau kekerasan seksual kepada korban secara berulang-ulang yang menyebabkan luka fisik, luka batin, stres, depresi, rasa rendah diri, dan terganggunya kesehatan mental jenis lainnya. Korban bullying biasanya pihak yang lemah, tidak suka bergaul, penyendiri, memiliki kekurangan secara fisik/ mental, atau memiliki keunggulan/prestasi tetapi ada pihak yang iri, tidak mau tersaingi sengaja melemahkan mentalnya.

Kasus bullying menjadi tantangan dan ”horor” di sekolah karena bisa terjadi kapan saja. Anak-anak kita bisa saja menjadi pelaku atau korban bullying. Di sekolah-sekolah yang tampak adem-adem saja tidak menjamin bebas dari kasus bullying, karena kadang kasus bullying ditutup-tutupi atas nama menjaga nama baik sekolah. Korban bullying juga takut melapor karena tidak ada jaminan keselamatan baginya. Kalau ketahuan melapor, justru akan mendapat tindakan kekerasan yang berat lagi dari pelaku.  

Jangankan di sekolah yang biasa-basa saja, di level sekolah internasional pun yang dianggap sudah memiliki sistem yang sangat baik, standar operasional yang sangat jelas, kurikulum yang berpihak pada peserta didik, dan tingkat pengawasan yang ketat, kasus bullying tetap terjadi. Dengan demikian, kasus bullying tidak melihat kepada kondisi dan sistem sekolahnya saja, tetapi melihat kepada sejauh mana semua warga sekolah (pendidik, tenaga kependidikan, dan orang tua/komite sekolah) memiliki kesadaran, semangat, dan komitmen untuk mencegah terjadinya bullying. Secara regulasi, saat ini pun sudah ada Permendikbudristek 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Tinggal bagaimana regulasi tersebut dilaksanakan secara serius oleh pemerintah daerah dan oleh satuan pendidikan.

Sekolah yang aman, nyaman, sehat, menghargai perbedaan, pembelajaran yang berpihak pada murid, dan bebas dari perundungan menjadi sekolah yang dicita-citakan. Sekolah dengan kondisi seperti itu tentunya akan membangun iklim kondusif dalam pembelajaran. Peserta didik merasa aman, nyaman, dan terlindungi. Kegiatan belajar akan berjalan dengan baik dan menyenangkan. Hal ini pun bisa berdampak terhadap meningkatnya semangat dan motivasi belajar yang bermuara kepada meningkatnya prestasi peserta didik. Dengan kata lain, sekolah yang aman dan nyaman akan berdampak positif terhadap terwujudnya kesejahteraan peserta didik (student wellbeing).

Student wellbeing adalah kondisi peserta didik merasa senang, bahagia, aman, nyaman, dan diakui menjadi bagian dari keluarga di sekolah. Kesejahteraan mencakup dua aspek, yaitu aspek jasmani dan rohani. Aspek jasmani, misalnya kesehatan dan pertumbuhan fisik peserta didik. Sedangkan aspek rohani meliputi kesehatan emosional dan sosial. Ciri-ciri peserta didik yang memiliki student wellbeing antara lain; 1) sehat secara fisik dan mental, 2) merasa aman dan nyaman di lingkungan sekolah, 3) terlibat aktif dalam kegiatan sekolah (intrakurikuler, ekstrakurikuler) dan kegiatan sosial, 4) memiliki hubungan positif dengan orang lain, 5) memiliki motivasi belajar yang tinggi, dan 6) dapat mengatasi stres dan tantangan.

Bullying di sekolah membuat peserta didik yang menjadi korban tidak betah di sekolah, tidak mau (takut) bersekolah, bahkan minta pindah sekolah. Kadang korban tidak mau bicara jujur terhadap guru dan orang tuanya terkait dengan penyebab ketidakbetahannya di sekolah karena takut terhadap keselamatan dirinya. Bullying juga bukan hanya terjadi  di lingkungan sekolah, tetapi terjadi di luar sekolah, saat peserta didik sudah pulang sekolah sehingga luput dari pengawasan sekolah. Hal ini yang cukup menyulitkan sekolah. Kadang setelah video bullying viral, baru pihak sekolah pun mengetahui dan menindaklanjutinya.

Walau mungkin seorang anak tidak secara terbuka tidak terbuka menjadi korban bullying, tetapi baik orang tua maupun sekolah dapat memperhatikan sikap, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan gerak-geriknya. Oleh karena itu, baik orang tua maupun guru harus peka jika menemukan kondisi anak seperti itu, dan segera menelusuri informasinya dengan jelas agar segera dapat menentukan solusi jika ditemukan ada masalah.

Kampanye anti bullying bukan hanya perlu dilakukan oleh guru-guru di sekolah, tetapi juga perlu melibatkan peserta didik dan orang tua/ komite sekolah. Pelibatan peserta didik bisa dilakukan melalui kegiatan pembelajaran (intrakurikuler), kegiatan ekstrakurikuler, dan upacara bendera hari Senin. Sedangkan pelibatan orang tua/komite melalui kegiatan paguyuban orang tua/ parenting atau kegiatan lainnya.

Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) dan peringatan hari besar nasional atau keagamaan bisa menjadi momentum kampanye anti bullying. Kegiatan bisa diselenggarakan dengan tema anti bullying. Bentuknya, misalnya lomba pidato, lomba menulis, lomba puisi, lomba karikatur, lomba konten, diskusi, dan sebagainya. Intinya, setiap momentum bisa dimanfaatkan kampanye anti bullying.

Kampanye anti bullying di sekolah perlu juga diimbangi dengan peran dan pemangku kebijakan lainnya. Penyebab tindakan kekerasan dan bullying bukan hanya dari internal pelaku, tetapi juga kondisi lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan media. Ajakan untuk sensor mandiri (self sensor) terhadap setiap konten yang beredar di media sosial mungkin tujuannya baik. Walau demikian, hal tersebut belum tentu efektif mengingat masih rendahnya literasi media sebagian masyarakat kita, termasuk para pelajar. Oleh karena itu, disamping penguatan literasi warga, juga perlu diperketat konten-konten yang boleh dishare di media sosial agar tidak berdampak buruk terhadap masyarakat, khususnya anak-anak dan remaja. Mari bersama cegah bullying untuk mewujudkan student wellbeing.

Penulis: Idris Apandi

STRATEGI MENINGKATKAN KEMAMPUAN NUMERASI INSPIRASI DARI SDN 1 CILANDAK KAB. PURWAKARTA

STRATEGI MENINGKATKAN KEMAMPUAN NUMERASI INSPIRASI DARI SDN 1 CILANDAK KAB. PURWAKARTA

SDN 1 Cilandak Kec. Cibatu Kab. Purwakarta dalam kegiatan mengamati dan merawat tanaman padi sebagai bagian dari penguatan numerasi dalam pembelajaran. (Doc. Budi, 2024).

Salah satu tantangan sekolah saat ini adalah meningkatkan mutu pembelajaran. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa mutu literasi dan numerasi di satuan pendidikan masih rendah. Pada rapor pendidikan di setiap satuan pendidikan pun tercantum capaian aspek literasi dan numerasi. Hal inilah yang menjadi dasar bagi sekolah untuk meningkatkan mutu literasi dan numerasi melalui penguatan pembelajaran dan kegiatan lainnya.

Begitu pun yang dilakukan di SDN 1 Cilandak Kecamatan Cibatu Kab. Purwakarta. Walaupun capaian literasi dan numerasi di sekolah ini sudah kategori baik, tapi bukan berarti kepala sekolah dan guru-gurunya berpuas hati. Sekolah tetap berupaya untuk lebih meningkatkannya lagi. Pada rapor pendidikan tahun 2024 kemampuan literasi peserta didik sebesar 93,33. Naik sebesar 23,33% dari tahun 2023 dengan capaian 70. Capaian aspek numerasi sebesar 73,33. Naik sebesar 23,33% dari tahun 2023 dengan capaian 50. Walau capaian literasi dan numerasi di sekolah ini sama-sama meningkat, tetapi aspek numerasi perlu lebih mendapatkan prioritas untuk ditingkatkan lagi karena capaiannya baru sebesar 73,77, sedangkan aspek literasi sudah mencapai 93,33.

Berdasarkan hal tersebut, maka guru-guru SDN 1 Cilandak  melakukan upaya untuk meningkatkan mutu numerasi. Salah satunya melalui proyek menanam padi pada bekas galon air di kelas V. Apakah ada kaitan antara proyek tersebut dengan peningkatan numerasi peserta didik? Tentu saja ada dan sangat relevan. Proyek ini dilakukan mulai tanggal 2 September 2024. Anissa Rahmawati, guru kelas V SDN 1 Cilandak mengatakan bahwa proyek ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan numerasi peserta didik. Selain itu, kemampuan berpikir kritis (critical thinking) peserta didik diasah melalui kegiatan tersebut. Proyek pembelajaran menanam padi pun sejalan dengan kebijakan Tatanén di balé atikan yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Purwakarta dan menjadi salah satu tema Proyek Penguatan Profil Pencasila (P5).

Pada proyek tersebut, setiap peserta didik memiliki 1 wadah yang ditanami padi. Dengan dibantu oleh penjaga sekolah dan guru, pada peserta didik menyiapkan galon, media tanam, dan bibit padi. Dari tahap persiapan saja, kemampuan numerasi peserta didik sudah ditingkatkatkan. Minimal pada tahap mengetahui. Misalnya 1 orang peserta didik masing-masing memiliki 1 buah galon bekas air mineral, lalu menentukan berapa butir bibit padi yang akan ditanam, berapa takaran tanah/ media tanam yang diperlukan, dan berapa kali tanaman harus disiram dalam 1 hari.

Dalam prosesnya, peserta didik setiap hari memantau perkembangan dan mengukur tinggi padi, kemudian mencatatnya pada buku jurnal yang disiapkan oleh guru. Pertumbuhan setiap padi bisa saja berbeda-beda. Hal ini pun bisa menjadi sarana untuk membangun kemampuan berpikir kritis dan analitis peserta didik. Mereka bisa mengamati, bertanya kepada guru, dan berdiskusi dengan teman-temannya.

Beberapa orang peserta didik kelas V, yaitu Achmad Fauzan Abiyyu, Aufa Rijal Rais, Mayla Rahayu Faranisa, dan Ranisya Aulia Putri mengamati wadah padinya masing-masing. Mereka mengukur tinggi tanaman padi. Tingginya pun bervariasi. Per Kamis, 19 September 2024, tingginya ada yang 19 cm dan ada pula yang 17 cm. Pertanyaan yang bisa dimunculkan misalnya mengapa tingginya berbeda? Apa penyebabnya? Apa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan padi? Bagaimana cara untuk memacu pertumbuhan padi? Dan sebagainya.

Melalui tanya jawab antara guru dan murid, sebenarnya bukan hanya aspek numerasi saja yang ditingkatkan, aspek literasi pun ikut ditingkatkan, karena antara literasi (membaca) dan numerasi (angka) ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Literasi dan numerasi adalah  kemelekkan dasar yang harus dimiliki oleh manusia. Dua-duanya saling melengkapi. Melalui kegiatan menanam padi, guru dapat menguatkan literasi pertanian, literasi gizi, dan literasi lingkungan kepada peserta didik.

Numerasi adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui, memahami, dan menganalisis data-data atau angka-angka sebagai dasar untuk mengambil keputusan.  Numerasi bukan matematika, tetapi matematika mendukung kemampuan numerasi. Kemampuan numerasi yang baik akan melahirkan seseorang yang cermat, penuh perhitungan, dan bijak dalam mengambil keputusan.

Kemampuan  numerasi akan berkembang melalui praktik dan latihan menjawab soal-soal, studi kasus, atau pembelajaran berbasis masalah. Bukan hanya MIPA, tetapi semua mata pelajaran bisa dijadikan sarana untuk menguatkan kemampuan numerasi, karena numerasi tidak lepas dari kehidupan sehar-hari. Praktik menguatkan numerasi dengan menggunakan bilangan, aljabar, geometri, dan data dan ketidakpastian akan semakin meningkatkan pengetahuan, pemahaman, penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Penguatan numerasi peserta didik di kelas bukan hanya sebatas mengenalkan angka-angka, tetapi juga harus mampu menerapkan dan menalarnya. Misalnya, jika mengacu kepada contoh proyek menanam padi di atas, selain mengukur dan mencatat pertumbuhan tanaman padi, juga diarahkan untuk menganalisis pertumbuhannya dari mulai menanam hingga panen. Mereka pun harus mampu merawatnya dengan baik. Dengan demikian, selain menguatkan literasi dan numerasi, guru juga menumbuhkan jiwa peneliti kepada peserta didik. Karakteristik seorang peneliti antara lain memiliki rasa ingin tahu, berpikir kritis, tidak cepat puas, dan kemampuan menyelesaikan masalah.

Dalam konteks pendidikan karakter, proyek menanam padi di SDN 1 Cilandak dapat menjadi sarana untuk menumbuhkan kartakter tanggung jawab, kerjasama, teliti, ulet, sungguh-sungguh, cinta dan peduli lingkungan, kreativitas, dan sebagainya. Peserta didik pun mendapatkan pendidikan vokasi atau pendidikan kecakapan hidup (life skill). Mereka diajari untuk bercocok tanam dan bertani. Hal yang justru saat ini sudah kurang diminati oleh generasi Z.Intinya, dari satu program, jika dikelola dengan baik, manfaatnya akan dirasakan dari berbagai sisi.

Peserta didik pun merasa senang dengan pembelajaran proyek yang dilakukan di SDN 1 Cilandak, karena memberikan pengalaman langsung kepada mereka. Kemampuan bercocok tanam atau bertani yang didapatkan bukan berarti mendorong mereka semuanya untuk menjadi petani, tetapi setidaknya punya pengetahuan dan kemampuan dasar dalam bercocok tanam. Jika pun ada diantara mereka yang menjadi petani atau sarjana pertanian, maka pengalaman bercocok tanam di sekolah akan menjadi bekal dan pengalaman berharga bagi mereka.

Dalam pembelajaran yang efektif, terdapat guru yang kreatif. Hal itulah yang ditunjukkan oleh guru-guru SDN 1 Cilandak dalam meningkatkan kemampuan numerasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam menyukseskan implementas kurikulum merdeka. Saat ini, proyek peningkatan kemampuan numerasi peserta masih terus dilakukan melalui proyek menanam padi. Prosesnya harus terus dipantau disertai dengan bimbingan dari guru. Semoga suatu saat hasilnya dapat digapai dengan riang gembira sambil merayakan panen padi dari hasil positif perjuangan mereka bercocok tanam.

Penulis: Idris Apandi

Skip to content