Pasal 1 ayat 1 Permendikbudristek Nomor 38 Tahun 2023 menyebutkan bahwa “Akreditasi adalah kegiatan penilaian untuk menentukan kelayakan satuan dan/atau program pendidikan kesetaraan berdasarkan penilaian mutu layanan pendidikan.” Kemudian pada pasal 2 disebutkan bahwa “Akreditasi diiakukan untuk menentukan kelayakan satuan dan/ atau program pendidikan.”
Akreditasi adalah bentuk penjaminan mutu yang dilakukan oleh pihak eksternal dan bersifat independen. Penjaminan mutu dilakukan untuk memastikan masyarakat mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas dari satuan pendidikan. Berdasarkan hasil akreditasi, satuan pendidikan mendapatkan umpan balik dalam bentuk saran atau rekomendasi dari asesor yang berkunjung ke satuan pendidikan.
Dulu, akreditasi dikaitkan dengan gengsi dan “kasta” sekolah. Akreditasi identik dengan pemeriksaan tumpukan-tumpukan dokumen Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang sudah disiapkan oleh sekolah jauh-jauh hari. Kini, paradigmanya diubah. Orientasi akreditasi bukan kepada pemeriksaan dokumen (evident based), tetapi kepada kinerja (performance based).
Saat visitasi ke satuan pendidikan, asesor tidak lagi mengutamakan memeriksa tumpukan dokumen, tetapi mengumpulkan data dan informasi melalui wawancara, observasi, dan studi dokumentasi, serta “memotret” kejadian yang terjadi dalam proses pembelajaran atau di lingkungan satuan pendidikan. Dengan kata lain, asesor tak ubahnya seperti seorang peneliti dalam mencari data dan informasi berdasarkan indikator-indikator pada instrumen akreditasi. Asesor pun perlu mengonfimasi, cek kros data dan informasi yang ditemukan melalui triangulasi kepada narasumber atau pihak yang relevan.
Instrumen akreditasi saat ini mengacu kepada Kepmendikbudristek Nomor 246/O/2024 tentang Instrumen Akreditasi Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah). Instrumen disusun untuk memotret kinerja satuan pendidikan (performance-based). Instrumen akreditasi mencerminkan kepada 3 prinsip, yaitu; 1) bermakna, 2) inklusif, dan 3) kontekstual.
Merujuk pada Buku Panduan Akreditasi untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA, prinsip bermakna meliputi; 1) Iklim Lingkungan Belajar, 2) Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Pengelolaan Satuan Pendidikan, 3) Kinerja Pendidik dalam Proses Pembelajaran, dan 4) Hasil Pembelajaran Lulusan dan/atau Peserta Didik.
Penentuan keempat komponen ini merujuk pada konsep universal “what is a good school”. Artinya, area kinerja yang diukur di dalam akreditasi, merupakan area kinerja yang berdampak pada kualitas layanan yang diterima oleh anak. Proses ini dirasa penting dilakukan untuk memastikan instrumen akreditasi tidak sekadar terpaku pada pemenuhan kerangka kebijakan penjaminan mutu yang berlaku, melainkan berpijak pada
kerangka kualitas lingkungan belajar yang dipercaya dapat menghadirkan layanan pendidikan yang diperlukan oleh peserta didik.
Prinsip inklusif, maksudnya adalah Instrumen akreditasi untuk ragam jenis dan jenjang disusun dengan merujuk pada satu konstruk yang sama sehingga dapat ditemukan benang merah antar instrumen, serta tidak ada jenjang, jenis, atau kondisi lingkungan belajar yang merasa tidak terwakili dalam instrumen akreditasi ini. Tiap instrumen kemudian menyesuaikan konstruk tersebut dengan konteks dan kebutuhan belajar ragam jenis jenjang.
Kontekstual artinya merujuk pada proses akreditasi yang merekognisi keragaman cara/strategi yang dilakukan penyelenggara layanan pendidikan, sesuai konteks sosio-kultural dan kebutuhan belajar peserta didik, serta sumber daya penyelenggara layanan yang berbeda-beda.
Penentuan keterpenuhan dari area kinerja tidak terkunci oleh rumusan prasyarat tertentu yang preskriptif untuk melakukan kinerja, misalnya memaksakan adanya suatu dokumen/kegiatan spesifik atau tertentu. Pembuktian bisa diperoleh dari dokumen, dokumentasi, hasil wawancara dan hasil observasi. Asesor diberikan keleluasaan untuk menggunakan “lensanya” dalam menilai apakah satuan pendidikan telah menyediakan layanan berkualitas bagi peserta didiknya sesuai dengan area kinerja yang diukur. Instrumen ini juga menyediakan ruang bagi satuan pendidikan untuk menjelaskan cara dan strateginya dalam menyelenggarakan layanan.
Dengan adanya prinsip ini, maka pada proses akreditasi bisa terdapat ragam cara untuk menyusun kurikulum yang berbeda karena konteks satuan pendidikan berbeda-beda, ada ragam cara untuk menyusun Rencana Kerja Tahunan (RKT), ada ragam cara dalam menerapkan kemitraan, dan ada ragam cara bagi satuan pendidikan dalam upayanya meningkatkan kualitas layanan.
Proses akreditasi tidak lagi fokus melihat tampilan lingkungan sekolah dan sarana dan prasarana sekolah. Sarana penting tetapi bukan menjadi faktor utama efektivitas proses pembelajaran dan peningkatan hasil belajar peserta didik. Lingkungan sekolah yang tampak indah, rapi, dan bersih apakah menjamin sekolah itu bebas dari tindakan perundungan (bullying) dan mencerminkan iklim kerja yang baik? Apakah lingkungan kelas dan peralatan laboratorium yang lengkap menjamin guru dapat menciptakan proses pembelajaran yang menarik, menantang, menyenangkan, dan bermakna?
Apakah Kepala sekolah mampu memimpin dan mengelola sekolah secara efektif, bisa menjadi pemimpin yang transformatif, bisa membangun iklim kerja yang kondusif, dan menjadi inspirasi bagi guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik? Apakah guru mampu menjadi guru yang inspiratif dan berdampak terhadap transformasi pembelajaran?
Terkait hasil belajar dan prestasi lulusan, bukan hanya kaitannya dengan prestasi akademik, juara lomba, juara olimpiade, dan jumlah lulusan yang diterima di PTN, tetapi juga nonakademik seperti karakter, internalisasi nilai-nilai Pancasila, dan menghormati keberagaman, tetapi perlu ditelusuri dan dianalisis juga apakah prestasi yang dicapai adalah sepenuhnya merupakan hasil dari intervensi atau proses pembelajaran di sekolah? atau didukung oleh faktor lain seperti bakat murid, dukungan keluarga, atau pelatihan di tempat lain?
Pertanyaan-pertanyaan ini yang harus didapatkan jawabannya oleh asesor melalui beragam cara pengumpulan data dan informasi. Asesor harus ada pada posisi “ragu” dan skeptis hingga dia benar-benar mendapatkan data dan informasi yang valid sehingga mendapatkan temuan yang bermakna dan bernilai sehingga dapat memberikan umpan balik yang tepat.
Akreditasi yang bermakna lebih memokuskan kepada substansi daripada seremoni sehingga hasilnya mencerminkan sekolah yang dicita-citakan, yaitu; 1) pembelajaran yang berpusat pada murid, 2) iklim sekolah yang aman, inklusif, dan merayakan kebinekaan, 3) kepemimpinan untuk perbaikan layanan berkelanjutan, dan 4) pendidik reflektif gemar belajar, berbagi, dan berkolaborasi,
Acara-acara seremonial dan sambutan yang kadang menghabiskan waktu perlu semakin dikurangi. Bahkan saat tidak ada acara-acara tersebut pun, tidak akan berdampak terhadap nilai akreditasi sebuah satuan pendidikan. Hal ini perlu ditunjang oleh pola pikir dan kompetensi asesor yang profesional dan berintegritas.
Penulis: Idris Apandi