PPDB 2024 sudah usai. Setelah letih bergelut dengan hitungan jarak, zonasi, prestasi dan bertarung merebut bangku sekolah, orang tua siswa kini sudah boleh menghirup nafas lega sebab anak-anak mereka sudah mendapatkan bangku di sekolah yang mereka inginkan. Hari-hari ini sebagian sekolah sudah mulai mengenalkan lingkungan belajar bagi siswa baru, dan sebagian besar sekolah lainnya telah memulai proses pembelajaran.
PPDB tahun ini tampak jauh lebih adem. Meskipun masih ada peristiwa yang diindikasikan melanggar aturan, kasus-kasus siswa titipan, kongkalikong sekolah dan orang tua mengakali proses seleksi, akal-akalan memalsukan dokumen kependudukan, dan manipulasi data prestasi misalnya, jumlah dan intensitasnya tidak sebanyak dan seramai tahun-tahun sebelumnya.
Relatif sepinya PPDB 2024 dari kasus-kasus serupa itu mungkin pertanda baik. Jumlah orang tua yang terkena “sindrom favoritisme sekolah”, sindrom mau melakukan apapun meskipun harus melanggar aturan hanya agar anak-anak mereka bisa masuk sekolah favorit, barangkali mulai berkurang.
Wajah PPDB 2024 memang tampak lebih segar. Ada upaya keras dari pemerintah untuk mulai membangun objektivitas, transparansi dan akuntabilitas dalam proses seleksi siswa baru kali ini. Kita menyaksikan di banyak daerah muncul gerakan penegakan komitmen “PPDB Obyektif, Transparan, dan Akuntabel”. Gerakan ini diprakarsai unsur pimpinan daerah, melibatkan tidak hanya melibatkan dinas pendidikan, tetapi juga kepolisian, kejaksaan, bahkan organisasi masyarakat sipil.
Gerakan ini, selain sebagai otokritik terhadap praktik PPDB tahun sebelumnya, seolah-olah memberi peringatan. Kepada siapapun pelaku pendidikan di lapangan, baik orang tua calon siswa, guru, kepala sekolah, pengawas, dan dinas pendidikan jangan main-main dengan dengan PPDB. Tegakkan prinsip obyektivitas, transparansi, daan akuntabilitas dalam setiap tahapan proses seleksi. Relatif sepinya PPDB 2024 dari hiruk-pikuk kasus-kasus manipulasi dan siswa titipan, bisa jadi pertanda gerakan ini mulai membuahkan hasil.
Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi Jawa Barat juga tidak tinggal diam. Menyongsong PDB 2024, sejak Februari-Maret 2024, BBPMP Provinsi Jabar mengembangkan dua dasbor: Linimasa PPDB 2024 dan Daya Tampung Vs Lulusan 2024. Dasbor ini memonitor tahap-tahap pelaksanaan PPDB yang harus diikuti daerah, dan memprediksi kemungkinan membludaknya siswa baru akibat ketidakcukupan daya tampung sekolah. Dasbor ini menjadi semacam instrumen deteksi dini bagi daerah untuk bersiap secara prima dan mengantisipasi segala kemungkinan malpraktik PPDB 2024.
Tapi jika ditelisik lebih mendalam, wajah baru PPDB 2024 ternyata tidak mulus-mulus amat. Dibalik penyelenggaraan PPDB yang relatif lancar dan nir insiden, dan prinsip-prinsip obyektivitas, transparansi, daan akuntabilitas yang mulai ditegakkan, PPDB menyimpan masalah yang jika tidak ditangani secara serius bisa mencederai hak-hak warga mendapatkan pendidikan,
Masalah itu adalah adanya sejumlah siswa yang terancam menjadi siswa ilegal. Mereka dinyatakan lolos seleksi, sebagian besar telah mengikuti masa pengenalan lingkungan sekolah dan menjalani proses pembelajaran, tetapi nama mereka tidak tercantum dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Secara de facto mereka bersekolah, tetapi secara legal mereka tidak punya Nomor Induk Siswa Nasional (NISN).
Jumlah siswa yang terancam menjadi siswa ilegal ini tak main-main. Hingga tulisan ini disusun, Tim Dapodik Kemendikbudristek RI mengidentifikasi lebih dari 28 ribu siswa di lebih dari 1000 sekolah jenjang SMP dan SMA di Provinsi Jawa Barat berpotensi menjadi siswa ilegal.
Sebenarnya Permendikbudristek No. 47 Tahun 2023 tentang Standar Pengelolaan pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah telah mengatur jumlah daya tampung sekolah sebanyak 32 siswa per rombongan belajar untuk jenjang SMP dan 36 siswa per rombongan belajar untuk SMA. Daya tampung sebesar ini yang menjadi acuan PPDB 2024.
Untuk bisa memprediksi daya tampung, daerah wajib menganalisis potensi pendaftar SMP dan SMA, dan ketersediaan bangku dan ruang kelas setiap sekolah. Sesuai dengan Kepsesjen Permendikbudristek No 47/M/2023 tentang Pedoman Pelaksanaan Permendikbud No. 1 Tahun 2021 tentang PPDB PPDB pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, analisis dilakukan paling lambat bulan Desember sebelum tahun pelaksanaan PPDB. Daya tampung sekolah harus diumumkan dalam SK Kepala Dinas tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan PPDB.
Dalam praktik kebijakan analisis daya tampung ini tidak disosialisasikan secara memadai kepada pemerintah daerah. Kemendikbudristek cenderung memfokuskan sosialisasi agar daerah memenuhi persentase jalur afirmasi, zonasi, dan prestasi dalam PPDB. Aturan daya tampung kurang dikawal secara intensif dan tak mendapat cukup perhatian dari pemerintah daerah.
Akibatnya sudah bisa diduga. Pemerintah daerah tak data daya tampung sekolah negeri, masyarakat kehilangan panduan memilih sekolah mana yang paling memungkinkan sesuai jalur, dan sekolah kelabakan menerima tekanan animo masyarakat yang begitu tinggi. Jalan pintas yang kemudian banyak ditempuh oleh sekolah adalah menambah jumlah siswa melebihi syarat rombongan belajar.
Masalah bertambah kompleks ketika tidak berapa lama setelah PPDB berlangsung pemerintah pusat menutup pemutakhiran data siswa baru dalam Dapodik. Pemerintah pusat juga mengumumkan bahwa Dapodik hanya memfasilitasi pemutakhiran data siswa baru sesuai ketentuan jumlah siswa per rombongan belajar minimal sebanyak 32 siswa pada jenjang SMP dan 36 SMA.
Pintu Dapodik pun ditutup dan siswa-siswa yang diterima oleh sekolah melebihi jumlah minimal siswa per rombongan belajar segera terlempar keluar dari Dapodik. Seperti sudah disebutkan di awal tulisan, jumlah siswa yang terlempar sebanyak lebih dari 28 ribu siswa di lebih dari 1000 sekolah jenjang SMP dan SMA di Provinsi Jawa Barat.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Siswa-siswa “ilegal”yang terlempar dari Dapodik ini sudah diterima oleh sekolah, telah mengikuti masa pengenalan lingkungan sekolah, dan sebagian besar telah menjalani proses pembelajaran. Mengeluarkan mereka dari sekolah jelas tidak mungkin karena mereka telah menjalani proses PPDB, bisa meletupkan konflik terbuka antara sekolah dan masyarakat, dan yang paling utama melanggar prinsip pemenuhan hak-hak dasar warga negara atas pendidikan yang layak dan bermutu.
Meskipun Dapodik telah ditutup, pemerintah pusat masih membuka peluang untuk menyelamatkan siswa-siswa yang terlempar dari Dapodik hingga akhir Agustus 2024. Syaratnya pemerintah daerah harus mengirim surat permohonan dispensasi penambahan siswa baru disertai dengan analisis daya tampung sekolah, peneriman siswa baru di sekolah sekitar baik negeri maupun swasta, ketersediaan ruang kelas di sekolah, ketersediaan guru dan beban kerja guru, dan efektivitas kegiatan belajar mengajar dalam kelas. Pemda juga harus membuat surat keputusan tentang jumlah siswa per rombongan belajar sebagai kuota sebelum PPDB, dan surat keputusan penetapan siswa per rombel yang diterima setelah PPDB berdasarkan surat keputusan kepala sekolah.
BBPMP Provinsi Jabar kemudian melakukan dua upaya strategis, Pertama, mengembangkan analisis data spasial sebagai alat bantu bagi daerah ketika mengajukan permohonan dispensasi penambahan daya tampung kepada pemerintah pusat; kedua, melakukan pendampingan analisis daya tampung kepada dinas pendidikan. Karena ada tuntutan dari pemerintah pusat agar surat permohonan dispensasi ditulis lebih runtut dan persuasif, BBPMP Jabar juga membantu menyusun draft surat.
Analisis data spasial dilakukan melalui beberapa tahapan: mengumpulkan data daya tampung sekolah sebelum dan sesudah PPDB, melengkapi data koordinat sekolah yang kelebihan daya tampung dan sekolah sekitar seakurat mungkin, menghitung selisih daya tampung sebelum dan sesudah PPDB, menganalisis distribusi siswa berlebih ke sekolah sekitar.
Analisis ini berhasil menemukan disparitas mutu dan sebaran sekolah dengan relatif akurat. Dengan analisis ini bisa ditemukan alasan yang masuk akal mengapa sebuah sekolah “terpaksa” harus menerima siswa diluar daya tampung minimal yang disyaratkan.
Berikut adalah beberapa contoh analisis untuk beberapa sekolah di Kabupaten Purwakarta yang mengalami kelebihan daya tampung yaitu SMPN 2 Campaka, SMPN 2 Purwakarta, SMPN 3 Purwakarta. Dengan bantuan analisis data spasial diketahui bahwa SMPN 2 Cimalaka terpaksa menerima siswa diluar daya tampungnya karena “tidak ada sekolah negeri dan swasta lain pada radius satu kilometer, dan jarak terdekat dengan sekolah lain sejauh 6,5 kilometer”. SMPN 2 Purwakarta karena “dalam radius satu kilometer tidak ada sekolah negeri, terdapat empat sekolah swasta keagamaan dengan mutu sama baiknya tetapi biaya sekolah tidak terjangkau”. Sedangkan SMPN 3 Purwakarta karena “dalam radius satu kilometer tidak ada sekolah negeri, terdapat tiga sekolah swasta dengan mutu lebih rendah dan biaya sekolah tidak terjangkau”.
Argumen-argumen disparitas mutu pendidikan dan lokasi sekolah seperti itulah yang kemudian diajukan kepada pemerintah pusat sebagai dasar permohonan dispensasi. Argumen ini berhasil meyakinkan pemerintah pusat. Hingga tulisan ini disusun, pemerintah pusat telah mengabulkan permohonan dispensasi penambahan 31.041 siswa di 701 sekolah pada jenjang SMP di 26 daerah.
Tetapi pekerjaan rumah menyelamatkan siswa “ilegal” ini belum selesai. Pemerintah pusat masih menolak permohonan dispensasi 161 sekolah dan 9960 siswa. Saat ini Tim PPDB BBPMP Jabar sedang melakukan upaya “banding” kepada pemerintah pusat dengan melakukan analisis ulang dan mengajukan argumen tambahan.
(Berita ini telah ditayangkan Analisis Data Spasial: Ikhtiar Menyelamatkan Siswa “Ilegal” PPDB 2024 (inews.id))