Menjajaki Kolaborasi untuk Suksesnya Program Pendidikan

Menjajaki Kolaborasi untuk Suksesnya Program Pendidikan

Foto bersama dengan Sekretaris Dinas Pendidikan Kabupaten Bekasi dan jajarannya dalam kegiatan Media Visit BBPMP Provinsi Jabar

“Kegiatan ini memberikan ide pada kami untuk lebih mempererat kerjasama dengan Dinas Pendidikan,” ujar Rhamdan Nurul Ikhsan, Kabid Informasi dan Komunikasi Dinas Komunikasi, Informatika, Persandian, dan Statistik (Diskominfosantik) Kabupaten Bekasi.

Hal ini diungkapkan Rhamdan pada kegiatan Media Visit yang diselenggarakan oleh Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi Jawa Barat, pada tanggal 28 s.d 30 November 2024, di Aula Dinas Pendidikan.

Diakui oleh Rhamdan, selama ini kerjasama dengan Dinas Pendidikan adalah by request (berdasarkan permintaan), sehingga bila tidak ada permintaan bantuan publikasi atau press release yang diterima, Diskominfosantik tidak melakukan publikasi program pendidikan.

Namun, selama ini kami mengadakan bimbingan pada komunitas admin media sosial di lembaga-lembaga di lingkungan pemerintahan Kabupaten Bekasi. Sebagai bentuk apresiasi dalam pemberitaan mengenai kegiatan di masing-masing lembaga, Diskominfosantik memberikan penghargaan pada lembaga yang berhasil mengelola media sosial, diantaranya Dinas Pendidikan yang meraih juara 2 dalam Pengelolaan Media Sosial tahun 2024.

Adapun pelaksanaan kegiatan Media Visit ini dilakukan melalui Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan Kepala Sub Bagian Umum dan Kepegawaian, Kabid, Kasi, Koordinator Pengawas, dan Staf yang berkaitan. Pembahasan FGD meliputi kesiapan Dinas Pendidikan menghadapi rencana program kerja baru, diantaranya wacana enam program prioritas yang mulai digulirkan kementerian. Sementara FGD dengan Diskominfosantik mengenai kemungkinan kolaborasi dalam mempublikasikan program pendidikan.

Pada FGD yang dipimpin oleh Mutia Pusparini dengan notulis Yayat Nurhidayat dari BBPMP Provinsi Jawa Barat ini, Hery Erlangga, Sekretaris Dinas Pendidikan bersama Bonin, selaku Kepala Bagian Umum dan Kepegawaian memaparkan progress perkembangan dan inovasi program pendidikan di Kabupaten Bekasi. Salah satunya inovasi hasil kerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi yaitu program SREGEP, yaitu Strategi Akselerasi Pemerataan dan Peningkatan Kualitas Pendidikan, yaitu upaya memastikan akses pendidikan yang berkualitas dapat dirasakan manfaatnya secara merata oleh anak-anak.

Adanya program tersebut menjawab beberapa kesiapan menjalankan wacana enam program prioritas yaitu penguatan pendidikan berkarakter, wajib belajar 13 tahun dan pemerataan pendidikan, peningkatan kualifikasi kesejahteraan guru, penguatan pendidikan unggul literasi, numerasi dan sains teknologi, pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan, serta pembangunan sastra dan bahasa.

Meskipun diakui, untuk memastikan anak usia 4-6 tahun memasuki jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) masih memiliki kendala. Begitupun sarana dan prasarana yang dalam pemenuhannya tidak melibatkan Dinas Pendidikan saja. Adapun untuk kesejahteraan guru di Kabupaten Bekasi, honor guru non ASN minimal 2,35 juta rupiah dan saat ini sedang dilakukan proses pengajuan tahap pertama 5.730 tenaga pendidikan untuk diajukan menjadi P3K.

Sementara hasil FGD dengan Diskominfosantik, Rhamdan memaparkan kerjasama yang selama ini terjalin dengan Dinas Pendidikan, selain itu beliau pun merencanakan mengadakan bimtek mengenai pengelolaan media.***

Penulis: Mutia Pusparini

BBPMP Jabar dan Diskominfo Garut Sinergikan Strategi Informasi untuk Sektor Pendidikan

BBPMP Jabar dan Diskominfo Garut Sinergikan Strategi Informasi untuk Sektor Pendidikan

GARUT, Garut Kota – Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi Jawa Barat mengadakan kegiatan Media Visit di Aula Gedung PGRI Kabupaten Garut, Jalan Pasundan, Kecamatan Garut Kota, pada Kamis (28/11/2024). Acara yang dihadiri berbagai pemangku kepentingan, termasuk Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kabupaten Garut, ini bertujuan memperkuat sinergi informasi di sektor pendidikan.

Kepala Diskominfo Kabupaten Garut, Margiyanto, menjadi salah satu pembicara utama dalam kegiatan tersebut. Dalam paparannya, ia menekankan pentingnya tata kelola informasi yang baik untuk mendukung program-program strategis di sektor pendidikan, baik di Jawa Barat maupun di Kabupaten Garut.

“Prioritas kita adalah bagaimana mengolah informasi dan menyampaikan program-program strategis di sektor pendidikan kepada media maupun masyarakat dengan baik,” ujar Margiyanto.

Ia berharap seluruh perangkat daerah di lingkungan Pemkab Garut dapat meningkatkan pengelolaan informasi sehingga data yang valid dapat diakses publik. Menurutnya, penyampaian informasi yang jelas dan berbasis data dapat memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Sementara itu, Pengolah Data dan Informasi BBPMP Jabar, Sofwan Syafrudin, menjelaskan bahwa BBPMP sebagai unit pelaksana teknis (UPT) Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) bertugas menjamin mutu pendidikan. Kegiatan ini, kata Sofwan, menjadi wadah koordinasi dengan media lokal untuk menyelaraskan penyampaian informasi terkait kebijakan pendidikan.

Makanya kita berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Garut juga dengan Diskominfo yang memang notabene basis dari media-media lokal yang ada di Kabupaten Garut seperti itu,” tambah Sofwan.

Ia memaparkan, bahwa maksud dan tujuan dari kegiatan ini adalah untuk menyelaraskan apa yang ada seperti menyampaikan ide gagasan dari pimpinan sehingga tersampaikan kepada masyarakat. 

Pihaknya berharap ide dan gagasan dari pimpinan, termasuk kebijakan baru dan program prioritas nasional seperti 8 program prioritas Republik Indonesia, dapat disampaikan dengan cepat dan efisien kepada masyarakat.

“Makanya kita meminta bantuan juga kepada Diskominfo, kepada Dinas Pendidikan juga agar bisa lebih informasi bisa cepat tersampaikan ke pihak-pihak yang memang sangat membutuhkan,” lanjutnya.

Acara ini diikuti oleh para kepala bidang, kepala seksi, serta staf Dinas Pendidikan Kabupaten Garut dan Provinsi Jawa Barat. Sofwan berharap, koordinasi yang terjalin melalui kegiatan ini dapat berlanjut sehingga penyampaian informasi menjadi lebih efisien dan berdampak luas. Ia berharap koordinasi ini dapat berjalan dengan lancar serta berkelanjutan, agar berita-berita yang dikeluarkan oleh pimpinan dapat segera terserap di wilayah program kerjanya masing-masing.

(Berita ini telah ditayangkan BBPMP Jabar dan Diskominfo Garut Sinergikan Strategi Informa…)

Penulis : Nindi Nurdiyanti 
Penyunting : Yanyan Agus Supianto

Memastikan Pemenuhan Hak-HakPendidikan Warga Negara melaluiPenyelenggaraan PPDB yang Obyektif,Transparan, dan Akuntabel

Memastikan Pemenuhan Hak-HakPendidikan Warga Negara melaluiPenyelenggaraan PPDB yang Obyektif,Transparan, dan Akuntabel

Pokok-Pokok Pikiran Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat untuk
Perbaikan Kebijakan PPDB 2025


Ringkasan Eksekutif. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan bermutu. Segala sesuatu yang menjadi hak warga, maka menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya, baik diminta atau tidak diminta. Pemerintah belum mampu memenuhi hak-hak pendidikan tersebut, ditandai dengan akses masyarakat yang belum merata, dan kesenjangan mutu pendidikan yang masih tinggi. Meskipun tidak ideal, jika dilaksanakan dengan objektivitas, transparansi, dan akuntabilitas yang tinggi, PPDB bisa dijadikan instrumen pemenuhan hak-hak pendidikan sekaligus pemerataan mutu pendidikan. Diperlukan perbaikan kebijakan terus-menerus agar objektivitas, transparansi, dan akuntabilitas PPDB semakin meningkat dari tahun ke tahun.

  1. Gambaran Umum Pelaksanaan PPDB 2024 di Jawa Barat
  • Pemerintah bertekad menyelenggarakan PPDB 2024 dengan lebih obyektif, transparan dan akuntabel. Tekad tersebut diwujudkan dalam bentuk penetapan dua peraturan tentang penyelenggaraan PPDB, yakni (1) Permendikbudristek No. 47 Tahun 2023 tentang Standar Pengelolaan pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah, dan (2) Kepsesjen Permendikbudristek No 47/M/2023 tentang Pedoman Pelaksanaan Permendikbud No. 1 Tahun 2021 tentang PPDB pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Menengah Kejuruan
  • Atas dasar peraturan tersebut, seluruh daerah di Provinsi Jawa Barat telah menyelenggarakan PPDB 2024 di Provinsi Jawa Barat dalam suasana yang jauh lebih adem. Meskipun di sejumlah daerah masih muncul peristiwa yang diindikasikan melanggar aturan, misalnya kasus siswa titipan, kongkalikong sekolah dan orang tua mengakali proses seleksi, akal-akalan memalsukan dokumen kependudukan, dan manipulasi data prestasi calon peserta didik baru, jumlah dan intensitasnya tidak sebanyak dan seramai tahun-tahun sebelumnya.
  • Ada upaya keras dan tekad yang kuat dari pemerintah daerah untuk mulai membangun objektivitas, transparansi dan akuntabilitas dalam proses PPDB tahun ini. Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengkampanyekan gerakan penegakan komitmen “PPDB Obyektif, Transparan, dan Akuntabel” yang melibatkan seluruh unsur pimpinan daerah, bahkan organisasi masyarakat sipil,
  • Terdapat sejumlah daerah yang mengembangkan inisiatif khusus untuk menyiasati disparitas lokasi dan mutu sekolah dan lebih memastikan jaminan hak-hak pendidikan bagi masyarakat tidak mampu dengan membuat zonasi khusus di daerah-daerah penyangga, daerah perbatasan atau daerah blank spot, dan pemberian prioritas bagi calon peserta didik dari Keluarga Ekonomi Tidak Mampu (KETM) Ekstrem.

2. Jauh dari Harapan Obyektif, Transparan dan Akuntabel: Beberapa Masalah dalam Penyelenggaraan PPDB di Jawa Barat

Meskipun berlangsung relatif lebih nyaman, pelaksanaan PPDB 2024 masih jauh dari harapan untuk memenuhi kriteria objektif, transparan, dan akuntabel. Hal ini bisa dilihat dari munculnya sejumlah masalah baik dalam proses persiapan, pelaksanaan, maupun pelaporan PPDB 2024.

Objektif. Objektif berarti penyelenggaraan PPDB dilakukan berdasarkan acuan yang jelas, tidak memihak dan berimbang berdasarkan fakta-fakta yang dapat diverifikas Obyektivitas mensyaratkan dua hal yakni keberadaan peraturan dan komitmen terhadap penegakan peraturan. Peraturan paling penting yang harus ditegakkan PPDB adalah daya tampung satuan pendidikan, penetapan zonasi, petunjuk teknis pelaksanaan, kepanitiaan, dan sistem pendaftaran terintegrasi.

Pendampingan, survei dan pengamatan BBPMP Provinsi Jabar menemukan kepatuhan daerah terhadap regulasi pemerintah pusat yang mengatur mekanisme PPDB relatif tinggi tetapi sebagian besar daerah terlambat menetapkan petunjuk teknis PPDB 2024 sesuai jadwal. Daerah tidak memiliki analisis daya tampung yang akurat, terlambat melakukan koordinasi lintas sektor untuk menyusun peta zonasi yang meyakinkan, pemahaman terhadap juknis PPDB dari pusat cenderung rendah, terlambat menyusun juknis PPDB, koordinasi kepanitiaan PPDB lemah karena ketidakjelasan tupoksi, dan aplikasi pendaftaran tidak optimal karena kekurangan data.

Transparan. Transparansi PPDB ditandai dengan kesediaan mengumumkan berbagai regulasi dan mekanisme penyelenggaraan PPDB secara terbuka kepada orang tua calon peserta didik melalui berbagai media sosialisasi, menyediakan ruang pemantauan proses PPDB secara terbuka, menangani pengaduan secara terbuka, dan menginput peserta didik baru dalam Dapodik secara terbuka. Aspek-aspek PPDB yang paling penting untuk dibuka kepada publik terutama adalah zonasi, daya tampung, dan aplikasi PPDB online.

Pendampingan, survei dan pengamatan BBPMP Provinsi Jawa Barat menemukan juknis PPDB kurang disosialisasikan secara maksimal sehingga masyarakat memiliki pengetahuan yang serba terbatas tentang daya tampung, jadwal, zonasi dan tatacara penggunaan aplikasi PPDB online. Di beberapa daerah pengaduan masyarakat ditangani secara reaktif, cenderung tertutup dan terkesan serba tergesa-gesa. Aplikasi PPDB online yang dikembangkan daerah tidak seluruhnya menyediakan ruang bagi pemantauan publik.

Akuntabel. Akuntabilitas ditandai dengan kesungguhan penyelenggara untuk mempertanggungjawabkan seluruh proses dan tahapan PPDB kepada para pihak yang berkepentingan. Pertanggungjawaban tersebut sekurang-kurangnya diwujudkan dalam bentuk monitoring yang ketat dalam setiap tahapan PPDB, kesediaan melakukan reflek dan evaluasi, mengumpulkan data dan menganalisis proses PPDB sebagai dasar penyusunan laporan, menyusun rekomendasi perbaikan untuk PPDB pada tahun berikutnya dan mengirimkan laporan tertulis kepada Kemendikbudristek melalui BBPMP Provinsi Jawa Barat.

Pendampingan, survei dan pengamatan BBPMP Provinsi Jawa Barat menemukan banyak daerah yang belum melakukan monitoring memadai dalam setiap tahapan PPDB, belum melakukan refleksi, pengumpulan data, evaluasi, penulisan laporan penyusunan rekomendasi perbaikan PPDB.

Siswa Siluman: Komplikasi dan Puncak Masalah. Masalah-masalah sebagaimana diuraikan diatas menyebabkan daerah relatif gagap dalam menyelenggarakan PPDB secara objektif, transparan, dan akuntabel. Puncak kegagapan daerah tergambar ketika terjadi peristiwa terancamnya lebih dari 28 ribu siswa di lebih dari 1000 sekolah pada jenjang SMP dan SMA di Jawa Barat menjadi “siswa siluman”, yakni siswa yang 3 dinyatakan lolos seleksi PPDB tetapi nama mereka tidak tercantum dalam Data Pokok Pendidikan.

Munculnya “siswa siluman” ini disebabkan pemerintah daerah tidak mempunyai data daya tampung sekolah negeri, masyarakat kehilangan panduan memilih sekolah mana yang paling memungkinkan sesuai jalur, dan sekolah kelabakan menerima tekanan animo masyarakat yang begitu tinggi. Jalan pintas yang kemudian banyak ditempuh oleh sekolah adalah secara sembunyi-sembunyi menambah jumlah siswa melebihi syarat rombongan belajar.

Masalah ini telah berhasil dipecahkan dengan sejumlah strategi, antara lain mengembangkan analisis data spasial terhadap sekolah-sekolah yang mengalami kelebihan daya tampung, serta meminta kepala daerah dan inspektorat daerah untuk memberikan pertanggungjawaban mutlak atas pelaksanaan PPDB pada sekolah-sekolah yang mengalami kelebihan daya tampung di daerahnya.

  1. Rekomendasi Perbaikan Kebijakan PPDB 2025
    Meskipun masalah-masalah tersebut bisa dibereskan, tetapi kami memandang perlu adanya perbaikan kebijakan PPDB secara menyeluruh sehingga masalah-masalah tersebut dapat diselesaikan dengan tuntas dan objektivitas, transparansi, dan akuntabilitas PPDB dapat dibangun lebih baik lagi di masa-masa mendatang. Pokok-pokok pertimbangan dan usulan perubahan kebijakan tersebut adalah sebagai berikut.

Pokok-Pokok Pertimbangan Perbaikan Kebijakan

  • Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan. Segala sesuatu yang menjadi hak warga negara maka menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhinya, baik diminta atau tidak diminta.
  • Pemerintah belum sepenuhnya mampu memenuhi hak-hak warga negara atas pendidikan yang bermutu, antara lain ditandai dengan akses masyarakat terhadap pendidikan yang belum merata, dan kesenjangan mutu pendidikan masih tinggi.
  • Pembangunan sekolah dan ruang kelas baru, dan program-program pemerataan mutu pendidikan kalah cepat dengan pertambahan jumlah lulusan. Setiap tahun jumlah lulusan dan daya tampung sekolah selalu tidak berimbang.
  • Meskipun tidak ideal, jika dilaksanakan dengan objektivitas, transparansi, dan akuntabilitas yang tinggi, PPDB masih masuk akal untuk dijadikan sebagai instrumen untuk mengurangi diskriminasi akses bagi kelompok masyarakat tidak mampu, menemukan lebih dini anak-anak putus sekolah, mengoptimalkan partisipasi masyarakat dan membantu pemerintah daerah dalam melakukan intervensi untuk pemenuhan hak-hak pendidikan sekaligus pemerataan mutu pendidikan.

Pokok-Pokok Pikiran Perbaikan Kebijakan

  • Pemerintah daerah lebih aktif berkoordinasi dengan Pusdatin untuk pendayagunaan dan konsolidasi data proyeksi lulusan dan daya tampung sehingga bisa merumuskan jumlah rombongan belajar dan kuota peserta didik baru secara akurat dan proporsional
  • Pemerintah daerah mengembangkan metode penghitungan radius sekolah ke domisili peserta didik mengacu pada data akurat sebaran sekolah negeri dan swasta, dan domisili calon peserta didik dengan menggunakan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang dipadankan dengan data dari Dinas Dukcapil;
  • Pemerintah pusat menetapkan dan memastikan jumlah rombongan belajar dan kuota peserta didik baru pada awal tahun secara proporsional dengan mempertimbangkan kondisi disparitas lokasi dan mutu sekolah di daerah. Pada waktu yang sama pemerintah daerah melakukan analisis daya tampung PPDB 2025 paling lambat Desember 2024.
  • Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk melakukan verifikasi dan validasi lapangan terhadap kesesuai dokumen kependudukan dengan domisili calon peserta didik;
  • Memberikan insentif secara proporsional kepada panitia PPDB sebagai kompensasi atas beban kerja panitia yang seringkali bekerja melebihi batas waktu penyelenggaraan PPDB
  • Melibatkan Inspektorat sebagai Pengawas Internal (APIP) mengawasi pelaksanaan PPDB untuk menguatkan upaya pencegahan maladministrasi dan pengelolaan pengaduan oleh penyelenggara sampai dengan tahapan penerimaan peserta didik baru.
  • Sekolah swasta berpotensi besar untuk terlibat dalam pemerataan akses dan mutu pendidikan, sebab jumlah jumlah sekolah swasta tiga atau empat kali lebih besar dari jumlah sekolah swasta, kecuali pada jenjang SD. Jumlah lulusan dan daya tampung sekolah relatif berimbang jika sekolah negeri dan swasta dimasukkan dalam analisis daya tampung. Karena itu pemerintah perlu menghilangkan dikotomi sekolah negeri dan swasta dan memberikan insentif secara proporsional kepada sekolah-sekolah swasta untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan menekan biaya pendidikan.
  • Dinas pendidikan perlu membangun komunikasi dan koordinasi lebih intensif dengan Kantor Kementerian Agama di daerah untuk menyelaraskan proses dan mekanisme PPDB.

Penulis: Tim Konsultan bersama Tim Kerja Advokasi dan Kemitraan BBPMP Provinsi Jawa Barat

PERLINDUNGAN MURID PENTING, PERLINDUNGAN GURU TIDAK KALAH PENTING

PERLINDUNGAN MURID PENTING, PERLINDUNGAN GURU TIDAK KALAH PENTING

Guru dan murid harus sama-sama terlindungi dalam proses pembelajaran.
Sumber: https://id.pinterest.com/

Pencegahan dan perlindungan terhadap kekerasan di satuan pendidikan bukan hanya untuk murid saja, tetapi juga untuk kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan, serta orang tua. Ini adalah amanat Permendikbudristek Nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Oleh karena itu, dalam implementasinya harus proporsional. Semua warga sekolah harus dilindungi dan terlindungi. Bukan hanya terlalu fokus kepada salah satu pihak saja. Dengan kata lain, pendidikan yang memihak kepada murid bukan berarti mengabaikan keberpihakan kepada warga sekolah lainnya.

Selain regulasi di atas, perlindungan pendidik tenaga kependidikan juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru dan Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Bagi Pendidik Dan Tenaga Kependidikan. Regulasi sudah ada. Tinggal bagaimana efektivitas implementasinya di lapangan. Apakah sudah benar-benar dilaksanakan atau baru indah di atas kertas?

Tim atau Satgas Pencegahan dan Penanganan kekerasan di satuan pendidikan idealnya bukan hanya diwakili oleh pihak sekolah, lembaga perlindungan anak, dan orang tua saja, tetapi juga harus ada unsur dari organisasi profesi guru, karena jika ada tindakan kekerasan yang menimpa guru, harus ada yang membantu mengadvokasinya. Secara tupoksi, salah satu peran organisasi profesi guru adalah melindungi guru dari tindakan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi.

Kalau dalam Tim atau Satgas TPPKSP tidak ada unsur organisasi profesi guru, siapa yang akan total membela dan memperjuangkannya? Mungkin saja unsur non-guru berkomitmen membela guru, tetapi akan lebih utama, lebih relevan, dan jauh lebih militan jika yang memperjuangkannya adalah organisasi profesi guru.

Sangat baik juga jika di dalam satgas TPPKSP dilengkapi unsur dari aparat penegak hukum, konselor, dan psikolog. Tujuannya untuk melakukan pembinaan dan pendampingan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Walau demikian, jika terjadi kasus kekerasan, baik yang menimpa guru maupun murid, maka penyelesaian masalahnya sebaiknya lebih mengedepankan solusi di luar hukum (nonlitigasi) yang dikenal sebagai penyelesaian secara kekeluargaan.

Guru perlu tenang dan mendapatkan perlindungan saat melaksanakan tugas. Bagaimana guru bisa melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya jika mereka kurang terlindungi dan rawan menjadi objek kebijakan yang merugikan mereka? juga rawan mendapatkan tindakan kekerasan dan intimidasi. Bukan hanya dari oknum orang tua, tetapi juga siswanya sendiri, karena kondisi saat ini kadang guru menghadapi dilema saat mendisiplinkan murid. Takut terkena pasal UU perlindungan anak dan pasal pidana jika guru bertindak tagas.

Akibatnya, guru menjadi apatis. Kurang peduli terhadap kondisi murid. Prinsipnya, yang penting masuk kelas, mengajar, sampaikan materi, selesai. Terserah, apakah murid memperhatikannya atau tidak, apakah murid disiplin atau tidak. Yang penting tugas selesai. Guru sebenarnya menyadari hal tersebut tidak sejalan dengan tugasnya sebagai guru yang bukan hanya mengajar, tetapi juga mendidik, tetapi mereka memilih cari aman. Pemicunya adalah rasa takut melanggar UU perlindungan anak yang berkonsekuensi berurusan dengan hukum.

Disiplin positif, segi tiga restitusi, kesepakatan kelas, dan coaching digadang-gadang menjadi solusi untuk mendisiplinkan murid atau menangani anak yang bermasalah. Tetapi pada kenyataannya, bukan hal mudah. Bagi sebagian murid, hal itu mungkin saja berhasil, tetapi bagi murid lainnya, perlu penanganan yang lebih tegas karena kadar kenakalannya sudah tinggi dan dikhawatirkan berdampak negatif terhadap murid lainnya atau bahkan berdampak terhadap rasa aman guru saat mengajar.

Karena dinilai tidak (dapat) bertindak tegas, posisi guru dianggap lemah dan kurang berwibawa di hadapan murid. Dampaknya, rasa hormat murid terhadap guru semakin rendah. Pada beberapa  kasus yang pernah terjadi, guru dipersekusi, diintimidasi, dikriminalisasi, masuk ke ruang jeruji besi, bahkan meninggal dunia karena kurangnya perlindungan terhadap mereka saat melaksanakan tugas.

Perlu dicatat, tegas berbeda dengan keras. Guru wajib tegas terhadap murid agar tetap berwibawa. Patokannya adalah tata tertib, aturan, atau kesepakatan yang disusun bersama. Kalau keras, tendensinya kepada tindakan yang bersifat melukai atau membuat cedera fisik dan mental murid, serta tidak berdasarkan pedoman yang jelas dan akuntabel, sehingga sulit dipertanggugjawabkan saat ada pihak yang mempersoalkannya. Hal ini yang perlu dihindari oleh guru. Dan hal ini juga yang biasanya memancing atau memicu respon balik kekerasan baik dari murid maupun dari oknum orang tua murid.

Menguatkan Soft Skill Guru

Dibalik perlindungan dari tindakan kekerasan yang harus diberikan kepada guru saat melaksanakan tugasnya, seiring dengan tantangan yang semakin kompleks, guru selain harus meningkatkan kompetensinya, juga harus meningkatkan soft skill-nya, khususnya kesabaran dan daya lentingnya (resiliensi) dalam mendidik murid yang memiliki beragam latar belakang dan karakter.

Mendidik murid zaman sekarang tantangannya sangat luar biasa. Perlu kesabaran berlipat-lipat. Harus banyak menarik nafas panjang untuk menjaga agar tetap tenang, tidak emosi saat menemukan atau menghadapi muridnya yang nakal atau melanggar tata tertib sekolah. Anak yang lambat belajar dan anak yang kurang disiplin adalah dinamika dalam proses pembelajaran yang harus disikapi dengan bijak.

Saat seseorang memilih profesi sebagai guru, maka dia harus siap dengan segala konsekuensinya. Termasuk memiliki kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial yang matang. Dialog dan komunikasi yang humanis menjadi hal yang sangat penting untuk untuk mencari solusi yang dihadapi dalam pembelajaran.

Cara berkomunikasi guru harus disesuaikan dengan Gen Z dan Gen Alpha yang saat ini banyak menjadi pelajar di sekolah. Pada umumnya, mereka adalah generasi yang kritis, ingin lebih otonom, tidak mau banyak didikte oleh orang tua atau guru, mudah bosan, dan mentalnya kurang stabil serta mudah rapuh. Oleh karena itu, guru harus bisa menyesuaikan cara berkomunikasinya. Selain menjadi guru, seorang guru juga harus bisa menjadi orang tua, teman, dan  menjadi pendengar yang baik bagi murid-muridnya.

Komunikasi juga harus dilakukan oleh guru kepada berbagai pemangku kepentingan dalam mendidik anak-anak didiknya agar semua pihak ikut terlibat dan ikut memikirkan solusi saat ada masalah. Jika ada murid yang bermasalah, komunikasi dan penyampaian informasi kepada orang tua/ walinya harus jelas, dengan cara yang baik, dan disertai dengan data dan bukti pendukung. Pihak orang tua pun jangan mendengar sebelah pihak dari anaknya jika ada masalah. Sebaiknya konfirmasi dan klarifkasi ke pihak sekolah agar tidak menimbulkan miskomunikasi. Saat ada masalah, utamakan solusi, bukan emosi. Pembelajaran yang penuh harmoni akan terjadi saat guru dan murid sama-sama terlindungi. Wallaahu a’lam.

Penulis: Idris Apandi

GELAR KARYA; SALAH SATU MISKONSEPSI P5

GELAR KARYA; SALAH SATU MISKONSEPSI P5

P5 sejatinya adalah penumbuhan karakter positif peserta didik melalui berbagai kegiatan atau aktivitas. Gelar karya hanya menjadi salah satu bentuknya saja. Tidak menjadi kewajiban P5 harus diakhiri dengan gelar karya.
Sumber: https://www.smkn1alian.sch.id/

Salah satu miskonsepsi yang banyak terjadi dan dilaksanakan di sekolah terkait Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) adalah adanya “kewajiban” gelar karya yang menandai puncak dan selebrasi P5. Seolah belum P5 kalau belum gelar karya. Hal ini diakui atau tidak menjadi hajat yang membebani sekolah, baik dari sisi waktu, biaya, maupun tenaga. Hasil P5 dalam bentuk karya-karya, produk, dan kreativitas yang dibuat oleh siswa ditampilkan dan dipamerkan. Bahkan ada yang dilombakan. Tidak ketinggalan panggung dan sound system dipasang untuk memeriahkan acara gelar karya.

Apakah gelar karya atau pameran hasil karya P5 tidak boleh dilakukan? Pada dasarnya boleh saja hal itu dilakukan. Walau demikian, tujuan atau substansi dari P5 bukanlah gelar karya. Kalau pun ada produk yang dihasilkan dari dari kegiatan P5, produk tersebut bukan tujuan utama, tetapi buah dari karakter yang dibentuk selama proyek, seperti kerjasama, sungguh-sungguh, kreativitas, menghargai karya orang lain, dan sebagainya.  Kepala BSKAP Anindito Aditomo pada sebuah video yang dibuat oleh BSKAP pun berpesan bahwa P5 tidak harus menghasilkan produk, kegiatannya tidak harus berbiaya besar, dan tidak harus mengandalkan teknologi.

Jangan sampai P5 menjadi identik dengan pelajaran prakarya, seni, atau budaya yang tujuannya menghasilkan karya. Kalau pun adalah penilaian, hal yang dinilai bukan produknya, tetapi proses atau karakter yang dimunculkan peserta didik selama kegiatan P5. Kata ”proyek” juga membuat guru-guru berpikir bahwa kegiatan P5 harus menghasilkan produk. Padahal proyek di sini juga bisa diartikan sebagai bentuk aktivitas yang dilakukan oleh peserta didik untuk menguatkan karakter positifnya.

Perubahan sikap dan perilaku peserta didik menjadi lebih baik juga dapat dikatakan sebagai produk dari P5. Peserta didik menjunjung tinggi kejujuran, menjadi lebih disiplin, lebih menghormati guru, lebih menghormati teman, lebih memiliki sikap empati, lebih memiliki kepedulian, lebih memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah sosial, lebih peduli terhadap masalah-masalah lingkungan, dan sebagainya, hal itu adalah buah dari P5.

Tujuan utama dari P5 adalah mendidik, menanamkan, dan mengembangkan karakter peserta didik agar memahami, menjiwai, dan mengamalkan nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, peserta didik menjadi manusia Indonesia yang Pancasilais. P5 bisa dilakukan dengan sukses tanpa harus ada gelar karya. Kalau pun ada gelar karya, hal itu hanya sebagai refleksi dari proses yang telah dilakukan selama kegiatan P5. Refleksi pun sebenarnya bisa dilakukan dalam format yang sederhana, seperti kumpul bersama di aula atau kelas. Tidak harus ada acara hiburan atau pentas seni yang membebani sekolah atau peserta didik.

Dalam pelaksanaan P5, memang sekolah diwajibkan memilih tema-tema yang telah ditentukan oleh Kemendikbudristek. Satu tema tertentu dilakukan dalam satu  semester. Panduan P5 memang sudah ada, tetapi realitanya masih banyak sekolah atau guru yang bingung memahami dan mengimplementasikan P5. Akibatnya, terjadi miskonsepsi. Guru banyak yang terjebak dan berkutat kepada hal-hal yang bersifat administratif, seperti menyusul modul P5 dan Lembar Kerja (LK) untuk kegiatan P5, sedangkan substansi P5 terabaikan.

Peserta didik pun kurang mendapatkan penekanan bahwa ”proyek” yang dilakukan bukan berorientasi menghasilkan produk, tetapi untuk membangun dan mengembangkan karakter positif. Dampaknya, peserta didik sibuk mengerjakan tugas atau proyek tanpa tahu apa tujuan atau substansi dari yang dilakukan oleh mereka. Hal yang mereka tahu, ini adalah tugas yang harus selesai dan menjadi sebuah produk.

Misalnya, yang mereka ketahui dari kegiatan pemanfaatan botol bekas air mineral dan kantong keresek adalah untuk membuat eco brick yang nantinya akan dibentuk menjadi beragam benda. Padahal, pesan utama dibalik hal itu adalah membangun kesadaran tentang pentingnya menjaga menjaga kebersihan dan membatasi penggunaan plastik demi menjaga kelestarian lingkungan karena plastik adalah sampah yang sulit terurai. Perlu puluhan bahkan ratusan tahun untuk agar sampah plastik bisa diurai oleh tanah. Hal ini yang perlu mendapatkan penekanan dalam kegiatan P5. Bukan proyeknya yang ditonjolkan.

Mari fokuskan P5 kepada pembangunan karakter bangsa, khususnya internalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa. Jangan sampai peserta didik tahu yel-yel P5, hapal lagu-lagu P5, sedangkan sila-sila Pancasilanya itu sendiri tidak hapal. Pancasila memang bukan sekadar untuk dihapal, tetapi hapal adalah pintu masuk untuk bisa memahami, memaknai, dan mengamalkannya.

Penulis: Idris Apandi

Skip to content