Bali, 29 September 2024 – Gateways Study Visit Indonesia (GSVI) 2024 yang mempertemukan Indonesia dengan 56 peserta dari 20 negara dan 9 organisasi internasional diharapkan menjadi momentum nasional untuk terus mendorong keberlanjutan transformasi pendidikan. Mengusung tema “Lebih dari Intervensi Teknologi: Menavigasi Transformasi Pendidikan Indonesia,” praktik baik Indonesia dalam mengembangkan ekosistem teknologi pendidikan di dalam payung kebijakan Merdeka Belajar menjadi materi diskusi oleh para peserta. Seperti diyakini oleh UNESCO dan UNICEF, kehadiran platform dan konten digital akan membuka akses lebih luas terhadap pembelajaran berkualitas di negara maju maupun berkembang.
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Kemendikbudristek, Iwan Syahril menyebutkan, “Dalam lima tahun terakhir, Indonesia telah mengembangkan berbagai platform dalam ekosistem pendidikan di bawah Kemendikbudristek, khususnya untuk mendukung pelaksanaan Merdeka Belajar. Terdapat sejumlah capaian yang menjadi perhatian, dan kami juga melakukan refleksi atas hal-hal yang perlu dioptimalkan. Maka itu, pada kesempatan ini, Indonesia akan membuka ruang diskusi bagi para peserta untuk mengkaji bagaimana praktik terbaik di Indonesia dapat diterapkan di negara mereka, dan sebaliknya, praktik terbaik di negara mereka bagaimana dapat diterapkan di Indonesia.”
Lebih lanjut, di Indonesia, transformasi pendidikan dilakukan melalui adopsi teknologi untuk pembelajaran, yang didukung dengan kebijakan untuk mendukung keberlanjutan prosesnya. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan ekosistem pendidikan terbesar keempat di tingkat dunia. Mencakup lebih dari 60 juta murid, lebih dari empat juta pendidik yang tersebar di lebih dari 400 ribu sekolah, kompleksitas dan cakupan transformasi ini menjadi salah satu materi yang ingin diketahui oleh para peserta delegasi.
“(Dalam Gateways Study Visit kali ini), kami akan mengunjungi Indonesia pada pekan pertama Oktober 2024 untuk mempertemukan perwakilan dari berbagai negara, sehingga mereka dapat melihat dan mempelajari apa yang dilakukan di Indonesia secara langsung,” kata Pimpinan Gateways UNESCO, Mark West, dalam webinar bertema “Unleashing Innovation: Embracing Digital Transformation in Education”, beberapa waktu.
Mark menjelaskan, kerja sama lintas batas ini bertujuan untuk membantu negara maju dan berkembang dalam mengembangkan platform pembelajaran digital yang terbuka bagi masyarakat umum. Atas dasar tersebut, UNESCO dan UNICEF menunjuk Indonesia sebagai tuan rumah Gateways Study Visit di Bali pada 1–3 Oktober 2024. Simposium internasional tersebut terkonfirmasi akan dihadiri oleh berbagai negara termasuk Finlandia, India, Inggris, Prancis, Tiongkok, dan Uni Emirat Arab.
“Kami sangat menantikan (transformasi pendidikan) apa yang terjadi di Indonesia. Kami tidak sabar untuk melihat (Gateways Study Visit) selanjutnya karena Indonesia merupakan salah satu yang terdepan dalam melakukan transformasi digital. Banyak hal yang dapat kami pelajari dari Indonesia,” kata Pimpinan Gateways dan Kepala Pusat Inovasi Pembelajaran Global UNICEF, Frank van Cappelle.
Guna mengakomodasi minat para peserta delegasi untuk mempelajari transformasi pendidikan di Indonesia, aneka sesi dalam Gateways Study Visit Indonesia 2024 akan didesain interaktif, termasuk melalui keberadaan ekshibisi, kunjungan ke sekolah setempat, dan lokakarya. Dengan demikian, para peserta Gateways diharapkan dapat mengaplikasikan temuan-temuan dari Indonesia untuk mendukung keberlanjutan transformasi pendidikan di negara masing-masing.
Sumber: Siaran Pers_Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi_ Nomor: 467/sipers/A6/IX/2024
Purwakarta – Membaca buku cerita sejak dini adalah investasi terbaik untuk masa depan anak. Kegiatan ini bukan hanya sekadar mengenal huruf dan kata, tetapi juga menjadi kunci untuk membuka potensi otak mereka. Saat membaca, otak anak akan bekerja keras, merangsang kemampuan berpikir kritis, menganalisis, dan membayangkan hal-hal baru. Perbendaharaan kata mereka pun akan semakin kaya dengan paparan berbagai kata dan kalimat yang sebelumnya belum pernah mereka kenal. Lebih dari itu, buku cerita juga menjadi jendela dunia yang memperkenalkan anak pada beragam budaya, nilai, dan perspektif yang berbeda.
Melalui membaca, anak akan mengembangkan keterampilan berbahasa yang baik, memahami struktur kalimat, tata bahasa, dan penggunaan bahasa yang tepat. Semua ini akan menjadi fondasi yang kuat untuk kesuksesan akademik mereka di masa depan. Sayangnya, minat baca anak usia dini, terutama di sekolah dasar, masih seringkali kurang mendapatkan perhatian.
Membaca Seru Bersama SDN 1 Cilandak Purwakarta
Membacakan buku cerita bersama anak adalah cara yang menyenangkan dan efektif untuk menumbuhkan minat baca mereka. Pilihlah buku dengan gambar-gambar yang menarik dan cerita yang mudah dipahami. Ciptakan suasana yang nyaman dan tenang saat membaca, misalnya dengan duduk bersama di sofa atau di bawah pohon.
SDN 1 Cilandak Purwakarta berkomitmen untuk menumbuhkan minat baca sejak dini pada anak didik. Sejalan dengan semangat Kurikulum Merdeka, sekolah berupaya menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan inspiratif. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan rutin mengadakan kegiatan membaca bersama. Melalui kegiatan ini, diharapkan peserta didik tidak hanya memperoleh pengetahuan baru, tetapi juga mengembangkan berbagai keterampilan penting seperti berbahasa, berpikir kritis, dan imajinasi.
Kegiatan membaca bersama di SDN 1 Cilandak Purwakarta tidak hanya sebatas membacakan buku. Setelah sesi membaca, berbagai aktivitas menarik disiapkan untuk memantik minat dan kreativitas peserta didik. Misalnya, setelah membaca cerita tentang tumbuhan, peserta didik diajak untuk melakukan eksperimen sederhana dengan tanaman. Atau, setelah membaca cerita tentang tokoh sejarah, mereka juga dapat berdiskusi dan membuat presentasi singkat tentang tokoh tersebut. Dengan demikian, kegiatan membaca menjadi lebih bermakna dan tidak membosankan.
Saat membacakan cerita di SDN 1 Cilandak Purwakarta, guru tidak hanya sekadar menyampaikan kata-kata. Dengan intonasi yang bervariasi dan ekspresi yang hidup, guru mengajak anak-anak untuk menyelami dunia cerita. Setelah selesai, guru mengajak bermain peran atau menuliskan akhir cerita yang berbeda. Dengan kegiatan kreatif seperti ini, membaca menjadi pengalaman yang tak terlupakan dan memotivasi mereka untuk terus menjelajahi dunia buku.
Membaca bersama di SDN 1 Cilandak Purwakarta adalah momen yang sangat berharga. Setelah mendengarkan cerita, peserta didik bisa berdiskusi dalam kelompok kecil. Siapa karakter favoritmu? Apa pesan yang ingin disampaikan penulis? Dengan berbagi pendapat, peserta didik belajar untuk menghargai perbedaan dan bekerja sama. Selain itu, peserta didik juga bisa membuat komik bersama berdasarkan cerita yang telah dibaca. Kegiatan ini tidak hanya melatih kreativitas, tetapi juga kemampuan berkomunikasi.
Membangun Generasi Pembaca Melalui Kolaborasi Semua Pihak
Membaca bersama anak memang memiliki banyak manfaat, namun tentu saja ada tantangan yang perlu diatasi. Misalnya, tidak semua anak menyukai buku yang sama. Untuk mengatasi hal ini, libatkan anak dalam memilih buku bacaan agar mereka merasa lebih tertarik. Selain itu, perhatikan juga kemampuan membaca masing-masing anak. Jangan memaksakan anak untuk membaca buku yang terlalu sulit karena dapat membuatnya merasa frustasi. Jika ada kata-kata yang sulit, jelaskan dengan bahasa yang mudah dipahami.
Untuk menjaga fokus anak selama membaca, ciptakan lingkungan yang tenang dan gunakan teknik-teknik interaktif seperti bertanya atau meminta mereka untuk menebak kejadian selanjutnya. Jika anak merasa malu atau takut untuk berpartisipasi, dorong mereka dengan lembut dan berikan pujian atas usaha mereka.
Membaca bersama anak memang membutuhkan kesabaran dan konsistensi. Jadi, usahakan untuk meluangkan waktu khusus setiap hari untuk membaca bersama. Dengan demikian, minat baca anak akan tumbuh dengan sendirinya.
Untuk mewujudkan hal ini, sekolah, perpustakaan, orang tua, dan komunitas harus bekerja sama. Kita bisa menyelenggarakan berbagai kegiatan yang menarik, seperti lomba membaca, pameran buku, atau mengundang penulis untuk berbagi cerita. Dengan begitu, minat baca anak akan semakin tumbuh dan berkembang.
Bandung, – SDN 035 Soka Bandung memulai perjalanannya sebagai Sekolah Penggerak pada tahun ajaran 2023-2024 dengan pondasi yang sudah cukup kuat. Sebelum bergabung dalam Program Sekolah Penggerak (PSP), sekolah ini telah menerapkan metode pembelajaran berpihak pada siswa melalui Kurikulum 2013 dan pendekatan RADEC (Read, Answer, Discuss, Explain, Create). Pendekatan RADEC mendorong siswa untuk berpikir aktif dan berpartisipasi dalam pembelajaran dengan membaca, mengajukan pertanyaan, berdiskusi, dan menerapkan konsep melalui kreativitas.
Tantangan dan Peluang dalam Implementasi PSP di SDN 035 Soka
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi dalam mengimplementasikan PSP adalah mengubah pola pikir para guru yang terbiasa dengan metode tradisional. Kepala Sekolah Agus Supriadi mengakui bahwa beberapa guru merasa enggan beradaptasi dengan perubahan. Selain tantangan internal, Agus Supriadi juga harus menjelaskan kepada orang tua siswa bahwa pembelajaran tidak lagi berfokus pada prestasi akademik, melainkan pada pengembangan karakter dan keterampilan berpikir kritis. Hal ini menimbulkan kebingungan di kalangan orang tua yang masih berharap pada pendekatan tradisional yang berorientasi pada nilai dan ranking.
Selain itu, tantangan infrastruktur juga menjadi kendala. Dengan jumlah siswa mencapai 1.080 yang terbagi dalam 36 kelas, sekolah hanya memiliki 24 ruang kelas, menyebabkan pembelajaran harus dibagi menjadi dua sesi. Di sisi teknologi, meskipun internet tersedia, banyak guru masih belum nyaman dengan penggunaan perangkat digital dalam pembelajaran, meskipun sekolah telah mencoba menerapkan teknologi seperti absen digital dan asesmen berbasis teknologi.
Pembelajaran berdiferensiasi di SDN 035 Soka juga menjadi tantangan tersendiri. Para guru mengalami kesulitan dalam menyusun modul ajar yang secara explisit mengakomodasi kebutuhan siswa yang beragam. Platform Merdeka Mengajar (PMM) memberikan prinsip-prinsip diferensiasi, tetapi belum memberikan panduan yang jelas dan spesifik mengenai penerapan modul ajar untuk kelas yang heterogen.
Untuk mengatasi perubahan mindset guru, Agus Supriadi menggunakan pendekatan personal. Ia sering berbicara secara informal dengan guru untuk memahami kesulitan yang dihadapi. Selain itu, sekolah menyelenggarakan In-House Training (IHT) dan membangun Komunitas Belajar (Kombel) yang disebut Soka Learning Community. Kombel ini melibatkan diskusi dan pelatihan yang membantu guru memahami konsep pembelajaran berdiferensiasi, asesmen diagnostik, dan evaluasi berbasis kinerja siswa. Tidak hanya bersifat internal, Kombel juga menyelenggarakan webinar eksternal dengan peserta dari berbagai daerah.
Untuk mengatasi keterbatasan infrastruktur, SDN 035 Soka memaksimalkan penggunaan teknologi dengan menggabungkan pembelajaran berbasis digital dan budaya lokal. Dengan slogan “Sinergitas Budaya Lokal dan Digital,” sekolah ini menggunakan perangkat twin mirror untuk menampilkan materi pembelajaran digital yang menarik, seperti video tentang gerakan anti-narkoba dan anti-bullying.
Lady Kokom: Kolaborasi Guru dalam Menguasai Pembelajaran Berdiferensiasi
SDN 035 Soka menerapkan pendekatan lesson study melalui program “Lady Kokom (Lesson Study Kolaborasi Kelompok Belajar)” untuk menghadapi tantangan pembelajaran berdiferensiasi. Guru-guru dibagi dalam tiga grup sesuai dengan fasenya dan menjalani tiga tahapan Plan(penyusunan modul ajar diferensiasi), Do (implementasi di kelas), dan See (refleksi pasca-pengajaran). Setiap tahap melibatkan kolaborasi antara guru model dan guru observer untuk mencari solusi atas tantangan yang dihadapi dalam pembelajaran diferensiasi.
Tahap Plan melibatkan penyusunan modul ajar berdiferensiasi. Modul yang dikembangkan berfokus pada strategi konkret untuk menangani perbedaan kemampuan siswa di kelas. Pada Tahap Do, setelah modul disusun, guru model menerapkannya di kelas. Proses pembelajaran diobservasi melalui live streaming di YouTube untuk menjaga naturalitas pengajaran di kelas. Guru observer berkumpul untuk menyaksikan pembelajaran sambil mencatat, sehingga guru model tetap bisa mengajar tanpa merasa terganggu dengan kehadiran observer di kelas. Pada tahap See, setelah pengajaran selesai, dilakukan refleksi langsung pada hari itu juga. Setiap guru model di tiap fase diobservasi dan didiskusikan mengenai keberhasilan dan tantangan yang dihadapi dalam menerapkan pembelajaran berdiferensiasi. Proses refleksi ini melibatkan diskusi mendalam di antara para guru untuk menemukan solusi bersama.
Lesson Study Efektif: Kunci Sukses SDN 035 Soka
Setelah setahun menerapkan Program Sekolah Penggerak, SDN 035 Soka melihat perubahan signifikan. Para guru semakin termotivasi untuk berinovasi dan menghasilkan praktik baik dalam pengajaran. Mayoritas guru sudah mampu beradaptasi dengan perubahan, meskipun beberapa masih merasa minder dalam penggunaan teknologi. Bagi guru yang kurang mahir dalam teknologi, sekolah memberikan kesempatan untuk berkontribusi sesuai kemampuan mereka, seperti membantu dalam penyusunan modul ajar tanpa harus terlibat langsung dalam aspek teknis.
Program “Lady Kokom” mendapatkan pengakuan positif karena kolaborasi dan refleksi yang efektif antar-guru. Kegiatan ini mendapat apresiasi karena berhasil mengatasi tantangan pembelajaran berdiferensiasi dengan pendekatan inovatif.
Perubahan ini juga terasa bagi siswa, di mana pembelajaran di SDN 035 Soka menjadi lebih menyenangkan dan kreatif. Siswa belajar dengan cara yang lebih santai, seperti berbaring di karpet sambil membaca atau berdiskusi dengan teman. Orang tua mulai memahami bahwa pembelajaran tidak lagi berfokus pada ujian atau ranking, melainkan pada pengembangan kompetensi siswa secara holistik. Asesmen di sekolah ini lebih menekankan pada evaluasi formatif yang berkelanjutan melalui penugasan dan proyek.
Secara keseluruhan, perjalanan SDN 035 Soka sebagai Sekolah Penggerak penuh tantangan, namun dampak positif terasa signifikan bagi guru, siswa, dan orang tua. Sekolah ini berhasil menjadi contoh bagi banyak sekolah di Kota Bandung dalam membangun budaya belajar yang menyenangkan dan memberdayakan.
Sumedang-Kemendikbudristek telah menetapkan target yang menantang bagi BBPMP Jawa Barat untuk memastikan keberhasilan Kurikulum Merdeka. Salah satu targetnya adalah agar 75% sekolah yang menerapkan kurikulum baru memiliki komunitas belajar yang aktif. Komunitas ini diharapkan dapat menjadi wadah bagi guru untuk berbagi pengalaman dan inovasi dalam pembelajaran. Selain itu, Kemendikbudristek juga ingin memastikan bahwa setidaknya 75% dari seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah daerah hingga orang tua, memiliki pandangan positif terhadap Kurikulum Merdeka.
Tantangan Implementasi Kurikulum Merdeka: Apa Saja Kendalanya?
Peralihan ke Kurikulum Merdeka telah membuka babak baru dalam dunia pendidikan, namun juga menghadirkan tantangan signifikan bagi sekolah-sekolah, terutama yang baru memulai implementasinya. SDN Sukasirna I Sumedang, meski tidak tergabung dalam program Sekolah Penggerak, telah menunjukkan semangat yang patut diacungi jempol dengan aktif berpartisipasi dalam komunitas belajar Namun, sekolah ini, seperti banyak sekolah lainnya, menghadapi kendala yang kompleks. Salah satu tantangan terbesar adalah terbatasnya jumlah pengawas sekolah di Kabupaten Sumedang, yang berimbas pada minimnya pendampingan bagi sekolah-sekolah yang sedang beradaptasi dengan kurikulum baru.
Dalam upaya mengatasi tantangan implementasi Kurikulum Merdeka, komunitas belajar telah muncul sebagai salah satu solusi yang menjanjikan. Sekolah-sekolah seperti SDN Sukasirna I Sumedang, yang secara proaktif terlibat dalam komunitas belajar, telah menemukan wadah untuk berbagi pengalaman, berkolaborasi, dan mencari solusi bersama. Meskipun demikian, kendala seperti ketidakseimbangan jumlah pengawas dan tuntutan perubahan yang mendasar masih menghantui. Komunitas belajar, meski efektif, membutuhkan dukungan yang lebih kuat dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, untuk memastikan keberlanjutan dan keberhasilan implementasi Kurikulum Merdeka.
Kepemimpinan Inspiratif: Kepala Sekolah Jadi Penggerak Komunitas Belajar
Komunitas belajar (Kombel) diharapkan dapat menjadi solusi efektif untuk mengatasi tantangan implementasi Kurikulum Merdeka. Melalui komunitas belajar, guru dapat saling berbagi pengalaman, pengetahuan, dan solusi secara kolaboratif.
Komunitas belajar yang Bernama Berkah di SDN I Sukasirna telah menjadi jantung kegiatan pengembangan profesional guru. Dengan pertemuan rutin setiap minggu, baik secara tatap muka maupun daring, komunitas ini telah menciptakan ruang kolaboratif yang dinamis. Guru-guru dengan antusiasme berbagi praktik terbaik, berdiskusi mengenai tantangan dalam implementasi Kurikulum Merdeka, dan saling memberikan dukungan. Melalui kegiatan berbagi materi ajar, studi kasus, dan refleksi bersama, Kombel Berkah telah berhasil meningkatkan kompetensi guru dalam merancang pembelajaran yang inovatif dan menarik.
Dukungan penuh dari Kepala Sekolah SDN I Sukasirna telah menjadi salah satu kunci keberhasilan komunitas belajar Berkah. Kehadiran beliau dalam setiap pertemuan, baik secara langsung maupun virtual, menunjukkan komitmen yang kuat terhadap pengembangan profesional guru. Dengan arahan dan motivasi dari kepala sekolah, komunitas ini telah tumbuh menjadi sebuah kekuatan yang mendorong transformasi pembelajaran di sekolah. Selain itu, dukungan sarana dan prasarana yang diberikan oleh kepala sekolah juga sangat membantu kelancaran kegiatan komunitas.
Bersama Komunitas Belajar, Guru Percaya Diri Terapkan Kurikulum Merdeka
“Komunitas belajar di Kecamatan Sumedang Selatan telah menjadi angin segar bagi para guru,” ungkap Ibu Inggit Gantina, Kepala Sekolah SDN Sukasirna I Sumedang dengan penuh semangat. “Melalui diskusi yang mendalam dan berbagi pengalaman, mereka tidak hanya memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang Kurikulum Merdeka, tetapi juga merasakan semangat kolaborasi yang kuat. Dukungan dari rekan sejawat, baik dalam bentuk saran, masukan, maupun berbagi praktik baik, telah menjadi motivasi tersendiri bagi mereka untuk terus belajar dan mengembangkan diri. Kami merasa tidak sendirian dalam menghadapi tantangan implementasi Kurikulum Merdeka.”
“Sebelum bergabung dengan komunitas belajar, para guru merasa agak kesulitan dalam memahami dan menerapkan Kurikulum Merdeka,” aku Inggit. “Namun, setelah aktif berpartisipasi dalam komunitas, pemahaman mereka menjadi jauh lebih baik. Mereka merasa lebih percaya diri dalam merancang pembelajaran yang inovatif dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Komunitas belajar telah memberikan bekal yang sangat berharga untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila.”
Selanjutnya, Nining Marianingsih Guru Kelas 5 juga mengungkapkan “Saya sangat bersyukur dengan adanya komunitas belajar ini,” tuturnya dengan penuh syukur. “Diskusi-diskusi yang kami lakukan tidak hanya membahas tentang Kurikulum Merdeka, tetapi juga tentang berbagai aspek pembelajaran lainnya. Saya merasa seperti memiliki keluarga kedua di komunitas ini. Dukungan dan semangat yang mereka berikan telah menjadi motivasi terbesar bagi saya untuk terus berkarya.”
“Dini Apriani, guru kelas 3 SDN Sukasirna I Sumedang juga menjelaskan “’Komunitas ini telah menjadi rumah bagi kami para guru untuk berkolaborasi, belajar, dan tumbuh bersama,’ ujarnya. ‘Melalui diskusi yang mendalam, kami tidak hanya memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang Kurikulum Merdeka, tetapi juga menemukan solusi atas berbagai tantangan yang dihadapi dalam implementasinya.”
Komunitas Belajar: Kunci Sukses Implementasi Kurikulum Merdeka
Berdasarkan testimoni dari Ibu Inggit Gantina, Bu Nining Marianingsih, dan Bu Dini Apriani, dapat disimpulkan bahwa komunitas belajar di Kecamatan Sumedang Selatan telah memberikan dampak yang sangat positif bagi para guru di SDN Sukasirna I Sumedang. Komunitas ini tidak hanya menjadi wadah untuk belajar, tetapi juga menjadi tempat para guru merasa terhubung dan termotivasi untuk terus berkarya. Melalui kolaborasi di Kombel Berkah dan dukungan yang kuat dari Kepala Sekolah, para guru semakin percaya diri dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka dan menciptakan pembelajaran yang berkualitas”
Komunitas belajar telah terbukti menjadi solusi yang efektif bagi sekolah-sekolah seperti SDN Sukasirna I. Melalui komunitas belajar, sekolah ini dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan solusi dengan sekolah lain. Namun, keberhasilan komunitas belajar bergantung pada pemahaman yang sama di antara semua pihak terkait, termasuk dinas pendidikan, pengawas sekolah, kepala sekolah, dan guru. Meskipun SDN Sukasirna I telah menunjukkan semangat yang tinggi, perlu adanya upaya yang lebih efektif dalam mensosialisasikan pentingnya komunitas belajar dan cara menjalankannya agar manfaatnya dapat dirasakan oleh lebih banyak sekolah
Tim Penulis : Agus Ramdani, Enang Komala, Mohamad Diva – BBPMP Jabar
Hakikat pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Manusia adalah makhluk yang unik dan memiliki karakteristik masing-masing. Proses mendidik bukan hanya memerlukan kemampuan guru dalam pengetahuan substansi terkait materi yang akan diajarkan dan kemampuan cara mengajarkannya, tetapi lebih dari itu, memerlukan kepribadian (soft skill) guru yang baik. Mengapa? Karena yang dihadapi oleh guru adalah manusia, makhluk yang selain memiliki akal, juga memiliki perasaan, dan memiliki kecerdasan yang beragam.
Mendidik adalah sebuah aktivitas yang kompleks. Bukan hanya mengandalkan logika dan penguasaan materi pelajaran, tetapi membutuhkan sentuhan kasih sayang. Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara dalam pemikirannya telah mewanti-wanti untuk mengedepan kasih sayang dalam mendidik. Pemikirannya yang begitu terkenal antara lain, ”Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tut wuri handayani”. Di depan memberikan teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberikan dorongan.
Eleanor Rosevelt (1884-1962), seorang pendidik, dosen, penulis buku, penyiar, dan istri presiden Amerika Serikat F. D. Rosevelt (1933-1945) mengatakan bahwa memberikan kasih sayang kepada peserta didik adalah bagian dari pendidikan itu sendiri. Pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan menyampaikan bahwa semangat mendidik dengan penuh kasih sayang dan toleransi adalah “kartu identitas” komunitas Islam. Kemudian pendiri Nahdlatul Ulama (NU), K. H. Hasyim Ashari menyampaikan bahwa berdakwah dengan cara memusuhi ibarat orang membangun kota, tetapi merobohkan istananya. Oleh karena itu, berdakwah perlu dilakukan dengan kasih sayang. Tokoh NU K. H. Mustofa Bisri juga menyampaikan bahwa “asal kita mendahulukan kasih sayang, kita bukan hanya akan masuk surga, tetapi kita di surga itu sendiri.”
UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) pada buku The Heart of Education Learning to Live Together menyampaikan bahwa kerangka mendidik dengan hati merupakan integrasi dari 3 elemen, yaitu (1) kecerdasan emosional, (2) empati, dan (3) mendidik dengan kasih sayang. Mendidik dengan berbasis kasih sayang akan menyentuh hati peserta didik. Saat hati peserta didik tersentuh oleh sikap guru yang baik dan penuh dengan pancaran kasih sayang, maka mereka akan senang, nyaman, dan semangat selama mengikuti pembelajaran.
Saat mereka senang, nyaman, dan semangat belajar, maka proses belajar akan menjadi sebuah pengalaman yang bermakna bagi mereka. Belajar menjadi sebuah rekreasi akademik bagi mereka. Kondisi tersebut akan membantu peserta didik dalam memahami dan menguasai materi pelajaran.
Guru perlu melakukan tugas mendidik disertai hati dan passion (bergairah). Pembelajaran yang menyenangkan hanya bisa dilakukan oleh guru yang menyenangi profesinya, kondisi hati yang senang, dan lingkungan pekerjaan yang menyenangkan. Pada buku The Pedagogy of Love (UNESCO, 2014) dinyatakan bahwa seorang guru dapat bekerja dengan sepenuh hati jika dia mencintai dirinya sendiri, mencintai materi yang dia ajarkan, mencintai peserta didik, mencintai administrasi pembelajaran, mencintai (saling menghormati) sesama rekan sejawat, dan mencintai sekolah tempatnya bertugas.
Pendidikan yang berdasarkan welas asih ditopang oleh sejumlah nilai seperti kebaikan, empati, rela berkorban, suka memaafkan, kerelaan menerima dan menghargai terhadap kondisi yang berbeda, membangun berkolaborasi dalam komunitas, menjunjung tinggi etika, memiliki pola pikir berkembang (growth mindset), peduli, saling menghormati, kemerdekaan untuk mengemukakan pendapat dan beraktivitas, mengutamakan dialog dalam menyelesaikan masalah, adanya keterikatan secara emosional antara guru dan murid, dan keakraban dalam komunikasi guru dan murid.
Pendidikan yang berdasarkan welas asih akan mendukung terwujudnya Sekolah Ramah Anak (SRA). Sejalan dengan implementasi kurikulum merdeka, pembelajaran diharapkan berpihak atau berpusat kepada peserta didik (student center). Peserta didik menjadi fokus pencapaian target pembelajaran. Pencapaian visi dan misi sekolah pun tecermin dalam mutu anak didik atau lulusan. Adanya Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) pun bertujuan untuk membangun, menumbuhkan, menguatkan karakter peserta didik agar memiliki nilai-nilai Pancasila. Welas dan asih adalah salah satu cerminan manusia pancasilais.
SRA adalah gambaran sekolah yang ideal atau sekolah yang dicita-citakan. Sekolah yang inklusif. Sekolah yang membangun keseteraan dan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas. Nilai welas asih yang diimplementasikan dalam pembelajaran dapat membentuk karakter peserta didik untuk peduli, empati, menghargai dan menghormati orang lain, mau membantu orang lain tanpa melihat latar belakang suku, ras, kelompok, dan agama.
SRA bukan hanya dilihat dari konteks kepribadian guru dan proses pembelajarannya, tetapi juga bisa dilihat dari konteks visi, misi, lingkungan, dan sarana-prasarana penunjangnya. Apakah lingkungan sekolah aman dan nyaman untuk belajar? Apakah sekolah dilengkapi oleh sarana-prasarana yang diperlukan untuk menunjang pembelajaran? Apakah sarana-prasana mudah diakses untuk belajar? Dan sebagainya.
Mengapa saat ini banyak anak, remaja, dan bahkan orang dewasa yang mudah tersulut emosi, mudah melakukan perundungan (bullying), melakukan tindakan kekerasan, mudah menganiaya orang lain, bahkan sampai tega menghilangkan nyawa orang lain? Disamping ada masalah dengan latar belakang dan pribadinya sendiri, bisa saja karena lingkungan tempatnya belajar (rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat) tidak memunculkan pendidikan yang berbasis welas asih. Ditambah dampak negatif dari media sosial yang akrab di gawai mereka. Masalah ini menjadi hal yang kompleks dan solusinya harus melibatkan berbagai pihak terkait. Tidak hanya mengandalkan salah satu pihak saja.
Data-data dari lembaga terkait dan berita viral yang muncul di media terkait tindakan bullying dan tindakan kekerasan sungguh sangat mengerikan sekaligus membuat kita merinding dan prihatin. Kadang kita bertanya dalam hati, kok bisa ya anak yang masih di bawah umur melakukan tindakan kekerasan dan merudapaksa korban hingga meninggal? Sudah separah itukah kondisi moralitas bangsa? Sudah separah itukah dampak gawai dan media sosial dalam “mencuci otak” generasi muda? Apakah hal ini menjadi ciri kegagalan pendidikan? Lalu, bagaimana pendidikan yang di satu sisi menjadi “tertuduh” atas terjadinya krisis karakter bisa memberikan solusi atas masalah tersebut?
Pendidikan berdasarkan welas asih menjadi sebuah ikhtiar bersama untuk mewujudkan generasi muda yang disamping cerdas secara intelektual, terampil, juga beradab dan berakhlak mulia. Tantangan Gen-Z dan Gen Alpha saat ini sangat kompleks. Disamping
maraknya dampak negatif dari teknologi di era digital, banyak juga anak muda yang lebih suka atau lebih memilih ”dibimbing” dan ”diasuh” oleh gawai dibandingkan oleh orang tua dan guru. Mereka juga kebingungan mendapatkan figur yang bisa menjadi teladan bagi mereka. Di sinilah orang tua, guru, pemimpin, dan para tokoh diharapkan bisa menjadi agen-agen untuk menjadi (contoh) role model pendidikan berbasis welas asih tersebut sehingga anak didik bisa menjadi manusia yang berperikemanusiaan.