Bandung, 11 September 2024 – Dalam rangka mendorong peningkatan kualitas kesehatan di lingkungan pendidikan, BBPMP Provinsi Jawa Barat menggelar kegiatan “Refleksi dan Penyusunan Praktik Baik Implementasi Gerakan Sekolah Sehat (GSS) di Satuan Pendidikan Binaan”. Acara ini dilaksanakan di Hotel Harris, Kota Bandung, selama tiga hari, mulai dari Rabu hingga Jumat. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan sekolah binaan tahun 2024 dari berbagai jenjang pendidikan, termasuk PAUD, SD, SMP, SMA, SLB, dan PKBM, dari 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
Kegiatan ini bertujuan mengevaluasi progres pelaksanaan GSS di satuan pendidikan binaan, sekaligus merumuskan praktik baik yang dapat diadopsi oleh sekolah-sekolah lain. Evaluasi dilakukan dengan memetakan kekuatan dan kelemahan program, serta menyusun Rencana Tindak Lanjut (RTL) dan dokumen Best Practice yang akan menjadi panduan untuk pengembangan program di masa depan.
Pelaksanaan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) yang sudah lama diterapkan untuk meningkatkan kesehatan peserta didik melalui pendidikan dan pelayanan kesehatan masih belum optimal. Banyak sekolah yang hanya fokus pada layanan darurat tanpa cukup memperhatikan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), serta keterlibatan keluarga dan masyarakat yang terbatas. Untuk mengatasi masalah ini, Kemendikbud Ristek meluncurkan Gerakan Sekolah Sehat (GSS) yang menitikberatkan pada lima aspek kesehatan: Bergizi, Fisik, Imunisasi, Jiwa, dan Lingkungan. GSS bertujuan meningkatkan kesehatan secara berkelanjutan di sekolah, sehingga peserta didik dapat berkembang dalam lingkungan yang mendukung proses belajar. Kegiatan refleksi ini bertujuan mengevaluasi progres implementasi GSS di sekolah binaan, memetakan kekuatan dan kelemahan, serta menyusun dokumen Rencana Tindak Lanjut (RTL) dan Best Practice untuk pengembangan program di masa depan.
Menurut Yanti Triana, ketua panitia, kegiatan ini merupakan lanjutan dari pertemuan daring sebelumnya. “Kami pernah mendampingi tes kebugaran di 27 kabupaten/kota di Jawa Barat, dan kali ini dapat bertatap muka dengan 114 sekolah binaan serta 8 sekolah non-binaan,” jelasnya. Yanti berharap laporan dari sekolah-sekolah disusun berdasarkan konsep 5W+1H dengan prinsip Situation, Task, Action, Result (STAR), agar evaluasi program lebih sistematis dan komprehensif.
Pada sesi pembukaan, sambutan pertama disampaikan oleh Minhajul Ngabidin, perwakilan dari PDM 11, Direktorat SMP Ditjen PAUD Dikdasmen. Beliau menekankan pentingnya pelaksanaan GSS dalam mendukung kualitas kesehatan di sekolah. “Gerakan Sekolah Sehat yang berfokus pada lima aspek kesehatan ini diharapkan dapat menjadi upskilling bagi sekolah-sekolah, bukan hanya sebagai program jangka pendek, tetapi juga menjadi bagian integral dari pengembangan sekolah,” ujar Minhajul.
Sambutan berikutnya disampaikan oleh Sri Wahyuningsih, Kepala BBPMP Provinsi Jawa Barat, yang menegaskan pentingnya keberlanjutan program ini. “Sebenarnya, jika berbicara tentang sekolah sehat, bukan hanya kita yang hadir di sini yang harus terlibat. Kami berharap GSS ini menjadi gerakan yang diterapkan di seluruh sekolah, baik yang binaan maupun non-binaan,” kata Sri. Beliau juga menambahkan, “Poin penting dari program ini adalah keberlanjutan. Kami ingin memastikan bahwa GSS tidak hanya berhenti pada program, tetapi menjadi gerakan yang terus berkembang dan berkesinambungan.” Selanjutnya, dengan resmi, Sri Wahyuningsih membuka acara yang dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai jenjang pendidikan di Jawa Barat.
Kegiatan ini menghadirkan sejumlah narasumber yang berkompeten di bidangnya, yakni PDM 11 Direktorat SMP Ditjen PDM. Minhajul Ngabidin membawakan materi mengenai arah kebijakan Program Gerakan Sekolah Sehat 2024, memberikan panduan strategis bagi sekolah-sekolah binaan untuk mengimplementasikan GSS dengan lebih baik. Selain itu, Nastiyawati, juga memberikan materi mengenai teknik penyusunan best practice, yang sangat penting dalam menyusun dokumentasi praktik baik yang dapat diadopsi oleh sekolah-sekolah lainnya. Salah satu sekolah yang juga berbagi pengalaman suksesnya dalam pelaksanaan GSS adalah SMPN 6 Tambun Bekasi, yang merupakan salah satu sekolah binaan GSS BBPMP pada tahun 2023. Praktisi dari sekolah tersebut memberikan wawasan tentang praktik baik yang telah mereka terapkan, mulai dari program kebersihan lingkungan hingga inisiatif kesehatan mental untuk peserta didik.
Pada akhir kegiatan, diharapkan tersusun Dokumen Rencana Tindak Lanjut (RTL) Program Kerja Implementasi GSS di satuan pendidikan binaan, serta Dokumen Best Practice yang dapat menjadi panduan bagi sekolah-sekolah lain dalam mengembangkan program GSS. Dokumen ini diharapkan tidak hanya mencakup evaluasi hasil, tetapi juga strategi perbaikan dan pengembangan jangka panjang, sehingga gerakan ini dapat menjadi lebih efektif dan berdampak luas.
Dengan terselenggaranya kegiatan ini, BBPMP Provinsi Jawa Barat berharap implementasi Gerakan Sekolah Sehat akan semakin optimal dan dapat menjadi model yang diadopsi oleh sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Gerakan ini diharapkan mampu menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat, mendukung proses belajar, dan berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan. (UR)
KBRN, Bandung: Kabar gembira datang dari Kabupaten Sumedang! Hasil penilaian capaian literasi dan numerasi pada Rapor Pendidikan Tahun 2024 menunjukkan peningkatan yang signifikan di jenjang SD dan SMP. Hal ini menjadi bukti nyata keberhasilan upaya pemulihan pembelajaran yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang, Jumat (6/8/2024).
Prestasi gemilang ini juga diraih oleh siswa SMP Sumedang. Penilaian literasi menunjukkan kenaikan dari 70,10 di tahun 2023 menjadi 80,73 di tahun 2024, dengan peningkatan sebesar 15,17 persen. Sementara itu, nilai numerasi mengalami kenaikan dari 48,25 menjadi 76,26, atau setara dengan peningkatan sebesar 58,02 persen.
Kepala Bidang Sekolah Dasar Kabupaten Sumedang, Deni Setiawan, mengungkapkan rasa bangganya atas prestasi ini.
“Di tingkat SD, nilai literasi siswa melonjak dari 70,75 di tahun 2023 menjadi 84,60 di tahun 2024. Angka ini menunjukkan peningkatan yang luar biasa sebesar 13,85 persen. Peningkatan serupa juga terlihat pada penilaian numerasi, dengan nilai yang naik dari 53,61 menjadi 79,54, atau setara dengan peningkatan sebesar 48,38 persen” ujarnya.
Dengan nilai itu, artinya tingkat literasi dan numerasi siswa jenjang SD dan SMP di Sumedang sudah mencapai kategori Baik. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemulihan pembelajaran yang dilakukan telah membuahkan hasil yang positif
Pemberdayaan Kombel, Penggunaan Teks Multimodal, dan Pendekatan Inquiry
Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang telah berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di jenjang SD melalui berbagai upaya pemulihan pembelajaran. Salah satu upayanya adalah dengan memperkuat atau mengembangkan kompetensi guru melalui Komunitas Belajar (Kombel). Dalam komunitas belajar ini, guru-guru saling bertukar pengetahuan, pengalaman, dan strategi pembelajaran yang efektif.
Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang menerapkan tiga jenis Kombel untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di jenjang SD, yaitu:
Komunitas Belajar dalam Sekolah: Guru-guru di setiap sekolah membentuk komunitas belajar untuk saling berbagi pengetahuan, pengalaman, dan strategi pembelajaran yang efektif;
Komunitas Belajar Antar Sekolah: Guru-guru dari beberapa sekolah yang berada dalam satu gugus kecamatan (terdiri dari 10 sekolah) berkumpul di komunitas belajar antar sekolah untuk membahas permasalahan pembelajaran dan mencari solusi bersama;
Komunitas Belajar Daring di PMM: Setiap sekolah membuat SK pembentukan komunitas belajar dan melaksanakan kegiatan pengembangan kompetensi guru sesuai dengan ketentuan dari pemerintah pusat pada aplikasi PMM. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran yang efektif.
Dinas Pendidikan juga mendorong satuan pendidikan untuk membuat program terkait dengan penguatan literasi dan numerasi. Program-program ini menggunakan berbagai pendekatan pembelajaran, seperti teks multimodal dan lingkungan karya teks. Pendekatan teks multimodal memanfaatkan media seperti gambar, video, dan audio untuk membuat pembelajaran lebih menarik dan interaktif. Sedangkan pendekatan lingkungan karya teks menggunakan teks-teks yang terinspirasi dari lingkungan sekitar untuk meningkatkan literasi dan numerasi siswa.
Untuk menjaga mutu dari aktivitas pemulihan pembelajaran dalam rangka meningkatkan literasi dan numerasi pada satuan-satuan pendidikan, Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang mempergunakan empat siklus pendekatan iquiry yang terdiri dari:
Refleksi Awal: Pada tahap ini, setiap komunitas belajar menganalisis capaian rapor pendidikan untuk mengidentifikasi kekurangan dan kelemahan dalam pembelajaran;
Perencanaan: Berdasarkan analisis capaian rapor, komunitas belajar menyusun rencana pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah;
Implementasi: Rencana pembelajaran yang telah disusun diimplementasikan di kelas oleh guru-guru; dan Evaluasi: Pada tahap akhir, komunitas belajar melakukan evaluasi untuk mengetahui tingkat keberhasilan implementasi program dan menentukan langkah selanjutnya.
Program Inovatif untuk Meningkatkan Literasi dan Numerasi di Sumedang Selain memberdayakan Komunitas Belajar (Kombel), memanfaatkan pendekatan teks multimodal dan lingkungan kaya teks, Kabupaten Sumedang menunjukkan komitmennya dalam memulihkan pembelajaran dan meningkatkan literasi numerasi para siswanya melalui berbagai program inovatif lainnya yang memang dirancang secara komprehensif dan berkelanjutan. Program inovatif tersebut, seperti:
Territory Learning Community (TLC): Program ini merupakan komunitas belajar antar sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan kolaborasi dan berbagi praktik terbaik dalam pembelajaran literasi;
Pandai Berhitung dengan Metode Gasing: Program ini menggunakan permainan tradisional “gasing” untuk mengajarkan matematika kepada siswa dengan cara yang menyenangkan dan mudah dipahami;
Cantik Perkasa: Program ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai karakter mulia dan budaya Sunda kepada siswa melalui berbagai kegiatan, seperti menari, menyanyi, dan memainkan alat musik tradisional;
Paket Geulis: Program ini merupakan program pengembangan bakat dan minat siswa di bidang seni dan budaya;
E-Pelita Mobil: Program ini merupakan program perpustakaan digital yang menyediakan akses ke berbagai buku elektronik untuk siswa.
Kabupaten Sumedang telah menunjukkan komitmen yang kuat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di setiap jenjang satuan pendidikan melalui berbagai upaya inovatif dan kreatif. Upaya-upaya tersebut telah menunjukkan hasil yang positif, yaitu peningkatan nilai literasi dan numerasi siswa. Selain itu, program-program tersebut juga mendapat respon positif dari masyarakat. Kabupaten Sumedang merupakan contoh yang baik dalam hal upaya peningkatan literasi dan numerasi dalam pemulihan pembelajaran.
BANDUNG – Ratusan murid SD Negeri Soka Bandung diajak menanam pohon oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk menjaga lingkungan bersih dan sehat.
“Gerakan Sekolah Sehat (GSS) untuk untuk meningkatkan kesadaran siswa, guru, dan seluruh warga sekolah tentang pentingnya menjaga lingkungan,” ujar Kepala Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Jawa Barat Sri Wahyuningsih, Jumat (06/09/2024).
Sri mengatakan, salah satu fokus utama GSS adalah mendorong partisipasi aktif sekolah dalam upaya pengendalian perubahan iklim. “Sebagai bagian dari UPT Kemendikbudristek, BBPMP Jawa Barat menginisiasi gerakan menanam pohon dan menjaga kebersihan sekolah,” ujarnya.
Kegiatan ini mengajak seluruh warga sekolah untuk terlibat aktif dalam upaya pelestarian lingkungan. Dengan menanam pohon, sekolah tidak hanya berkontribusi dalam menyerap karbon dioksida, tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih hijau dan asri.
Menurut Sri, gerakan menanam pohon, tidak hanya memberikan dampak positif bagi lingkungan sekolah, tetapi juga memiliki manfaat yang lebih luas disntaranya meningkatkan kesadaran lingkungan, menciptakan lingkungan belajar yang nyaman. “Sekolah yang hijau dan bersih akan memberikan suasana belajar yang lebih nyaman dan menyenangkan bagi siswa,” ujarnya.
Sri mengatakan, meskipun antusiasme sekolah dalam mengikuti gerakan ini sangat tinggi, masih ada beberapa tantangan yang perlu diatasi.
Salah satunya adalah perbedaan tingkat partisipasi antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kebijakan daerah, dukungan dari kepala sekolah, dan ketersediaan sumber daya.
Namun, tantangan ini juga membuka peluang untuk perbaikan.
Dengan terus melakukan sosialisasi dan memberikan dukungan yang memadai, diharapkan semakin banyak sekolah yang terlibat aktif dalam gerakan ini.
“Selain itu, penting juga untuk melibatkan pemerintah daerah, masyarakat, dan pihak swasta dalam mendukung upaya pelestarian lingkungan di sekolah,” ujar Sri.
Sri Wahyuningsih, mengatakan, perubahan iklim telah menjadi isu global yang mendesak.
‘Kenaikan suhu bumi, cuaca ekstrem, dan naiknya permukaan air laut adalah beberapa dampak nyata dari perubahan iklim yang mengancam keberlangsungan hidup manusia dan ekosistem,” ujarnya.
Menurut Sri, di Indonesia, deforestasi menjadi salah satu penyebab utama perubahan iklim.
Hilangnya hutan tidak hanya mengurangi penyerapan karbon dioksida, tetapi juga memicu berbagai masalah lingkungan lainnya.
PPDB 2024 sudah usai. Setelah letih bergelut dengan hitungan jarak, zonasi, prestasi dan bertarung merebut bangku sekolah, orang tua siswa kini sudah boleh menghirup nafas lega sebab anak-anak mereka sudah mendapatkan bangku di sekolah yang mereka inginkan. Hari-hari ini sebagian sekolah sudah mulai mengenalkan lingkungan belajar bagi siswa baru, dan sebagian besar sekolah lainnya telah memulai proses pembelajaran.
PPDB tahun ini tampak jauh lebih adem. Meskipun masih ada peristiwa yang diindikasikan melanggar aturan, kasus-kasus siswa titipan, kongkalikong sekolah dan orang tua mengakali proses seleksi, akal-akalan memalsukan dokumen kependudukan, dan manipulasi data prestasi misalnya, jumlah dan intensitasnya tidak sebanyak dan seramai tahun-tahun sebelumnya.
Relatif sepinya PPDB 2024 dari kasus-kasus serupa itu mungkin pertanda baik. Jumlah orang tua yang terkena “sindrom favoritisme sekolah”, sindrom mau melakukan apapun meskipun harus melanggar aturan hanya agar anak-anak mereka bisa masuk sekolah favorit, barangkali mulai berkurang.
Wajah PPDB 2024 memang tampak lebih segar. Ada upaya keras dari pemerintah untuk mulai membangun objektivitas, transparansi dan akuntabilitas dalam proses seleksi siswa baru kali ini. Kita menyaksikan di banyak daerah muncul gerakan penegakan komitmen “PPDB Obyektif, Transparan, dan Akuntabel”. Gerakan ini diprakarsai unsur pimpinan daerah, melibatkan tidak hanya melibatkan dinas pendidikan, tetapi juga kepolisian, kejaksaan, bahkan organisasi masyarakat sipil.
Gerakan ini, selain sebagai otokritik terhadap praktik PPDB tahun sebelumnya, seolah-olah memberi peringatan. Kepada siapapun pelaku pendidikan di lapangan, baik orang tua calon siswa, guru, kepala sekolah, pengawas, dan dinas pendidikan jangan main-main dengan dengan PPDB. Tegakkan prinsip obyektivitas, transparansi, daan akuntabilitas dalam setiap tahapan proses seleksi. Relatif sepinya PPDB 2024 dari hiruk-pikuk kasus-kasus manipulasi dan siswa titipan, bisa jadi pertanda gerakan ini mulai membuahkan hasil.
Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi Jawa Barat juga tidak tinggal diam. Menyongsong PDB 2024, sejak Februari-Maret 2024, BBPMP Provinsi Jabar mengembangkan dua dasbor: Linimasa PPDB 2024 dan Daya Tampung Vs Lulusan 2024. Dasbor ini memonitor tahap-tahap pelaksanaan PPDB yang harus diikuti daerah, dan memprediksi kemungkinan membludaknya siswa baru akibat ketidakcukupan daya tampung sekolah. Dasbor ini menjadi semacam instrumen deteksi dini bagi daerah untuk bersiap secara prima dan mengantisipasi segala kemungkinan malpraktik PPDB 2024.
Tapi jika ditelisik lebih mendalam, wajah baru PPDB 2024 ternyata tidak mulus-mulus amat. Dibalik penyelenggaraan PPDB yang relatif lancar dan nir insiden, dan prinsip-prinsip obyektivitas, transparansi, daan akuntabilitas yang mulai ditegakkan, PPDB menyimpan masalah yang jika tidak ditangani secara serius bisa mencederai hak-hak warga mendapatkan pendidikan,
Masalah itu adalah adanya sejumlah siswa yang terancam menjadi siswa ilegal. Mereka dinyatakan lolos seleksi, sebagian besar telah mengikuti masa pengenalan lingkungan sekolah dan menjalani proses pembelajaran, tetapi nama mereka tidak tercantum dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Secara de facto mereka bersekolah, tetapi secara legal mereka tidak punya Nomor Induk Siswa Nasional (NISN).
Jumlah siswa yang terancam menjadi siswa ilegal ini tak main-main. Hingga tulisan ini disusun, Tim Dapodik Kemendikbudristek RI mengidentifikasi lebih dari 28 ribu siswa di lebih dari 1000 sekolah jenjang SMP dan SMA di Provinsi Jawa Barat berpotensi menjadi siswa ilegal.
Sebenarnya Permendikbudristek No. 47 Tahun 2023 tentang Standar Pengelolaan pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah telah mengatur jumlah daya tampung sekolah sebanyak 32 siswa per rombongan belajar untuk jenjang SMP dan 36 siswa per rombongan belajar untuk SMA. Daya tampung sebesar ini yang menjadi acuan PPDB 2024.
Untuk bisa memprediksi daya tampung, daerah wajib menganalisis potensi pendaftar SMP dan SMA, dan ketersediaan bangku dan ruang kelas setiap sekolah. Sesuai dengan Kepsesjen Permendikbudristek No 47/M/2023 tentang Pedoman Pelaksanaan Permendikbud No. 1 Tahun 2021 tentang PPDB PPDB pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, analisis dilakukan paling lambat bulan Desember sebelum tahun pelaksanaan PPDB. Daya tampung sekolah harus diumumkan dalam SK Kepala Dinas tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan PPDB.
Dalam praktik kebijakan analisis daya tampung ini tidak disosialisasikan secara memadai kepada pemerintah daerah. Kemendikbudristek cenderung memfokuskan sosialisasi agar daerah memenuhi persentase jalur afirmasi, zonasi, dan prestasi dalam PPDB. Aturan daya tampung kurang dikawal secara intensif dan tak mendapat cukup perhatian dari pemerintah daerah.
Akibatnya sudah bisa diduga. Pemerintah daerah tak data daya tampung sekolah negeri, masyarakat kehilangan panduan memilih sekolah mana yang paling memungkinkan sesuai jalur, dan sekolah kelabakan menerima tekanan animo masyarakat yang begitu tinggi. Jalan pintas yang kemudian banyak ditempuh oleh sekolah adalah menambah jumlah siswa melebihi syarat rombongan belajar.
Masalah bertambah kompleks ketika tidak berapa lama setelah PPDB berlangsung pemerintah pusat menutup pemutakhiran data siswa baru dalam Dapodik. Pemerintah pusat juga mengumumkan bahwa Dapodik hanya memfasilitasi pemutakhiran data siswa baru sesuai ketentuan jumlah siswa per rombongan belajar minimal sebanyak 32 siswa pada jenjang SMP dan 36 SMA.
Pintu Dapodik pun ditutup dan siswa-siswa yang diterima oleh sekolah melebihi jumlah minimal siswa per rombongan belajar segera terlempar keluar dari Dapodik. Seperti sudah disebutkan di awal tulisan, jumlah siswa yang terlempar sebanyak lebih dari 28 ribu siswa di lebih dari 1000 sekolah jenjang SMP dan SMA di Provinsi Jawa Barat.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Siswa-siswa “ilegal”yang terlempar dari Dapodik ini sudah diterima oleh sekolah, telah mengikuti masa pengenalan lingkungan sekolah, dan sebagian besar telah menjalani proses pembelajaran. Mengeluarkan mereka dari sekolah jelas tidak mungkin karena mereka telah menjalani proses PPDB, bisa meletupkan konflik terbuka antara sekolah dan masyarakat, dan yang paling utama melanggar prinsip pemenuhan hak-hak dasar warga negara atas pendidikan yang layak dan bermutu.
Meskipun Dapodik telah ditutup, pemerintah pusat masih membuka peluang untuk menyelamatkan siswa-siswa yang terlempar dari Dapodik hingga akhir Agustus 2024. Syaratnya pemerintah daerah harus mengirim surat permohonan dispensasi penambahan siswa baru disertai dengan analisis daya tampung sekolah, peneriman siswa baru di sekolah sekitar baik negeri maupun swasta, ketersediaan ruang kelas di sekolah, ketersediaan guru dan beban kerja guru, dan efektivitas kegiatan belajar mengajar dalam kelas. Pemda juga harus membuat surat keputusan tentang jumlah siswa per rombongan belajar sebagai kuota sebelum PPDB, dan surat keputusan penetapan siswa per rombel yang diterima setelah PPDB berdasarkan surat keputusan kepala sekolah.
BBPMP Provinsi Jabar kemudian melakukan dua upaya strategis, Pertama, mengembangkan analisis data spasial sebagai alat bantu bagi daerah ketika mengajukan permohonan dispensasi penambahan daya tampung kepada pemerintah pusat; kedua, melakukan pendampingan analisis daya tampung kepada dinas pendidikan. Karena ada tuntutan dari pemerintah pusat agar surat permohonan dispensasi ditulis lebih runtut dan persuasif, BBPMP Jabar juga membantu menyusun draft surat.
Analisis data spasial dilakukan melalui beberapa tahapan: mengumpulkan data daya tampung sekolah sebelum dan sesudah PPDB, melengkapi data koordinat sekolah yang kelebihan daya tampung dan sekolah sekitar seakurat mungkin, menghitung selisih daya tampung sebelum dan sesudah PPDB, menganalisis distribusi siswa berlebih ke sekolah sekitar.
Analisis ini berhasil menemukan disparitas mutu dan sebaran sekolah dengan relatif akurat. Dengan analisis ini bisa ditemukan alasan yang masuk akal mengapa sebuah sekolah “terpaksa” harus menerima siswa diluar daya tampung minimal yang disyaratkan.
Berikut adalah beberapa contoh analisis untuk beberapa sekolah di Kabupaten Purwakarta yang mengalami kelebihan daya tampung yaitu SMPN 2 Campaka, SMPN 2 Purwakarta, SMPN 3 Purwakarta. Dengan bantuan analisis data spasial diketahui bahwa SMPN 2 Cimalaka terpaksa menerima siswa diluar daya tampungnya karena “tidak ada sekolah negeri dan swasta lain pada radius satu kilometer, dan jarak terdekat dengan sekolah lain sejauh 6,5 kilometer”. SMPN 2 Purwakarta karena “dalam radius satu kilometer tidak ada sekolah negeri, terdapat empat sekolah swasta keagamaan dengan mutu sama baiknya tetapi biaya sekolah tidak terjangkau”. Sedangkan SMPN 3 Purwakarta karena “dalam radius satu kilometer tidak ada sekolah negeri, terdapat tiga sekolah swasta dengan mutu lebih rendah dan biaya sekolah tidak terjangkau”.
Argumen-argumen disparitas mutu pendidikan dan lokasi sekolah seperti itulah yang kemudian diajukan kepada pemerintah pusat sebagai dasar permohonan dispensasi. Argumen ini berhasil meyakinkan pemerintah pusat. Hingga tulisan ini disusun, pemerintah pusat telah mengabulkan permohonan dispensasi penambahan 31.041 siswa di 701 sekolah pada jenjang SMP di 26 daerah.
Tetapi pekerjaan rumah menyelamatkan siswa “ilegal” ini belum selesai. Pemerintah pusat masih menolak permohonan dispensasi 161 sekolah dan 9960 siswa. Saat ini Tim PPDB BBPMP Jabar sedang melakukan upaya “banding” kepada pemerintah pusat dengan melakukan analisis ulang dan mengajukan argumen tambahan.
Bandung- SDN Sukasirna Kota Sukabumi merupakan salah satu sekolah yang memiliki peserta didik berkebutuhan khusus. Venti, guru Olahraga di sekolah tersebut menceritakan pengalamannya ketika pertama kali mengenal salah satu anak berkebutuhan khusus sekitar 1 tahun yang lalu. Ketika itu, saat Venti sedang mendampingi latihan olahraga di lapangan sekolah, tiba-tiba seorang anak berusia sekitar 6 atau 7 tahun ikut serta ke dalam kelompok tersebut.
“Anak-anak pada bingung dan pada bertanya, siapa itu, siapa itu. Nah, saya juga tidak tahu siapa anak tersebut. Interkasinya itu mendorong orang, padahal ga kenal. Terus juga merebut bola anak-anak juga,” ungkapnya.
Baru beberapa saat kemudian Venti mengetahui anak tersebut adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang dibawa oleh orangtuanya ke SDN Sukasirna dalam rangka observasi. Orangtua anak tersebut mendapatkan informasi dari tetangganya, yang merupakan komite sekolah, bahwa ada beberapa anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di SDN Sukasirna. Setelah melakukan observasi ke beberapa sekolah, orangtua tersebut akhirnya memutuskan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut.
SDN Sukasirna sebenarnya tidak memiliki Guru Pembimbing Khusus (GPK), namun di tahun pelajaran 2023/2024 memiliki 4 orang siswa ABK. Guru Pembimbing Khusus adalah pendidikan profesional yang dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk menangani ABK pada satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan. Walaupun tidak memiliki GPK, kepala sekolah dan guru-guru di SDN Sukasirna tetap menerima setiap anak berkebutuhan khusus yang dipercayakan untuk didaftarkan di sekolah tersebut. “Kami paham bahwa dengan pembaharuan sekarang, kita tidak boleh menolak, tidak boleh membedakan, jadi harus menerima semua anak,” terang Indri, Wali Kelas Kelas 6. Titin Kartini, Kepala Sekolah, menegaskan bahwa kebijakan sekolah, “ingin memberikan Kelayakan pendidikan Bermutu bagi para ABK.”
Menepis Kekhawatiran Orang Tua ABK
Tertantang dengan kepercayaan orangtua yang menyekolahkan putra-putri berkebutuhan khususnya di sekolah tersebut, membuat Kepala Sekolah dan para guru mulai secara autodidak mempelajari bagaimana menangani anak-anak tersebut. Tatangan pertama yang muncul berasal dari orangtua siswa lainnya. Pada awalnya ada juga orangtua yang merasa khawatir jika anak mereka diganggu karena beberapa ABK di SDN Sukasirna memiliki kecenderungan “galak”. Namun, pihak sekolah berhasil memberikan pemahaman pada orangtua untuk tidak perlu khawatir karena ada para guru yang mendampingi di sekolah.
Selain khawatir diperlakukan galak oleh guru, apalagi kekhawatiran mereka yang lain? Dari siswa lain, dari sarana dan prasarana pembelajaran yg ada di sekolah, dari lingkungan belajar misalnya? Asyik kalau diuraikan satu per satu. Lalu apa saja yang dilakukan sekolah dan guru untuk menepis masing-masing kekhawatiran itu?
Pandangan Positif Guru: Setiap ABK Punya Kelebihan
Langkah pertama yang cukup penting yang diambil oleh para guru adalah menajamkan hati, pikiran, dan perasaan untuk mengenali karakteristik setiap ABK. Misalnya anak yang berada di kelas 1, Gevano, yang awalnya memiliki kecenderungan agresif dan galak serta tidak menyukai lingkungan yang berisik. Selain itu, dia belum bisa mengikuti pembelajaran lebih dari 5 menit dan belum juga bisa berdialog dengan baik dengan guru maupun teman-temannya.
Dibalik kekurangannya, menurut Nurma Rahmawati , wali kelas Kelas 1, Gevano memiliki kelebihan yang luar biasa untuk usia anak kelas 1 SD. Selain Bahasa Indonesia dan Basa Sunda, dia sudah bisa berbicara secara sederhana dengan menggunakan Bahasa Inggris. Sayangnya, kemampuan menggunakan berbagai bahasa tersebut justru dilakukan manakala dia berbicara sendiri atau berbicara dengan binatang yang ada di sekitar sekolah.
Kelebihan lainnya, dia sudah bisa menulis dengan rapi. “misal ketika dia tertarik kalkulator. Dia bisa menulis Casio dengan rapi dan logo yang persis dengan yang dilihat. Atau pernah sepulang jalan-jalan bersama ibunya, besoknya menulis City Mall. Pokoknya kalau yang membuatnya tertarik, dia dengan sendirinya mau menuliskan”, terang Nurma.
Hal-hal itu juga yang menjadi pertimbangan Nurma untuk melakukan pembelajaran bagi Gevano. Nurma mencermati benda-benda yang menarik perhatiannya dan menjadikan benda tersebut sebagai entry point mengajak dia belajar. Ketika pelajaran menulis, Nurma akan membagi papan tulis menjadi 2, salah satu bagian untuk Nurma menulis dan diikuti oleh anak-anak lainnya, satu bagian lain diperuntukkan bagi Gevano, yang gemar menulis di papan tulis.
Lain halnya yang ditemui oleh Andri Agustiawan, guru Kelas 2, yang juga mendampingi seorang anak berkebutuhan khusus, Faezya. Motivasi belajar siswa istimewa satu ini sangat dipengaruhi oleh mood. “Saya sering sedih, saya harus bagaiamana untuk masa depan anak ini”, ungkap Andri. Andri terus berusaha memahami naik turunnya emosi anak didiknya tersebut supaya sedikit demi sedikit bisa mengajaknya mengikuti pembelajaran.
Lain halnya dengan yang dilakukan Lilis Susanti, wali kelas Kelas 5. Lilis mendampingi anak ABK yang sangat pendiam di kelasnya, Andini. Andini sangat pendiam dan sangat jarang berkomunikasi dan bersosialisasi dengan orang lain. Jika ditanya, dia sangat jarang menjawab dan hanya tersenyum, kemudian mengangguk atau menggeleng. Namun Lilis mencermati bahwa dia menyimak apa yang didengarnya. Lilis sering mendapatinya melantunkan sholawat pada saat sedang berlangsung kultum.
Berangkat dari pengalaman para guru berinteraksi dengan anak-anak tersebut, diskusi di ruang guru sering terjadi. Para guru memahami pentingnya mengenali dan memahami kecenderungan mereka, apa yang disukai, dan tidak disukai. Dengan memahami hal ini, guru akan bisa menyediakan dukungan yang sesuai untuk mengoptimalkan perkembangan mereka.
Faktor lain yang berpengaruh positif dalam menyediakan dukungan bagi perkembangan ABK adalah peran aktif orangtua. Orangtua yang komunikatif dan kooperatif sangat membantu guru untuk memberikan penanganan yang tepat di sekolah. Kerjasama yang baik dengan orangtua/wali dirasakan betul oleh para guru. “Nenek Gevano setiap hari mengantar dan menjemput jadi kita pasti hampir selalu ngobrol setiap hari, “ terang Nurma. Hal ini dikuatkan oleh Lilis, “Ibunya Andini sering ngeWA menanyakan perkembangan anaknya. Jadi kita juga bisa saling mengetahui perkembangan di sekolah dan di rumah”.
Selain komunikasi, apalagi dukungan ortu? Apa ada ortu ortu yang “cuek”? Apa yang dilakukan sekolah untuk ortu2 jenis ini? Jika dukungan ortu penting, apakah ada rencana untuk “melembagakan” komunikasi lebih rutin misalnya?
Menyusun Standar Ketercapaian Belajar ABK
Tantangan lain yang ditemui oleh para guru adalah dalam melakukan evaluasi hasil belajar. Pada awalnya, para guru merasa kebingungan dalam menentukan ketercapaian hasil belajar mereka karena pengisian nilai rapor disamakan untuk semua anak. Akhirnya para guru bersepakat untuk menentukan standar khusus untuk anak-anak istimewa tersebut. Salah satunya adalah penghargaan atas keikutsertaan dalam pembelajaran. Venti memaparkan, “Jika dia mau ikut olahraga, saya memberikan penilaian melampaui KKM, jika tidak mau, saya berikan nilai KKM”.
Para guru bersepakat sepanjang terjadi perubahan perilaku dan peningkatan kemampuan dari sebelumnya, para anak istimewa tersebut dianggap sudah berhasil melalui proses pembelajaran. Hal ini dikuatkan oleh Titin, “menurut catatan hasil observasi bervariatif, karena anak-anak ABK di sekolah kami beragam jenis dan penanganannya juga berbeda. Yang Jelas Pendidikan bagi ABK banyak membawa manfaat bagi anak itu sendiri”.
Saat ini, dengan penerapan Kurikulum Merdeka, kebingungan dalam melakukan evaluasi hasil belajar menjadi berkurang. Dalam Kurikulum Merdeka, ketuntasan belajar siswa tidak lagi diukur dari angka mutlak seperti pada Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), melainkan lebih cenderung pada kriteria ketercapaian tujuan pembelajaran yang bersifat deskriptif. Hal ini mengurangi kebingunan para guru dalam melakukan evalusai ketercapaian pembelajaran anak-anak ABK.
Berdasarkan evaluasi para wali kelas dan guru lainnya, semua ABK yang bersekolah di SDN Sukasirna mengalami perkembangan. “Setelah gabung dengan kita, dengan teman-temannya, kebiasaan mendorong dan galaknya jauh berkurang, “ terang Venti menjelaskan perubahan positif Gevano.
“Alhamdulillah teman-temannya merangkul, memahami begitu temannya istilah punya kekurangan, tapi teman-temannya tidak menyudutkan, tidak membedakan”, terang Venti. Hal ini juga dikuatkan oleh Indri, “Anak-anak sepertinya merasa nyaman, dan anak lain pun tidak membully atau menjauhi”
Para guru mendapati beberapa kali terjadi “insiden” yang melibatkan anak-anak ABK baik sebagai pelaku maupun objek, namun masih dalam batas yang bisa dinasehati. Keberadaan anak-anak ABK tersebut berdampak pula pada anak-anak normal lainnya yang membiasakan diri untuk bergaul dan berinteraksi dengan baik dengan sesama yang memiliki keterbatasan. Bisa dikatakan bahwa keberadaan anak ABK di sekolah merupakani hidden curriculum bagi SDN Sukasirna.
Hidden curriculum merupakan bagian kurikulum yang tidak secara eksplisit diajarkan dalam kurikulum formal, namun diserap oleh siswa melalui interaksi sehari-hari dan budaya sekolah. Ini mencakup aspek seperti etika, sikap, keterampilan sosial, dan persepsi tentang identitas serta peran dalam masyarakat. Meskipun tidak tertulis, hidden curriculum berpengaruh besar terhadap perkembangan karakter dan pandangan dunia siswa, dan itu terjadi di SDN Sukasirna Kota Sukabumi.
Kunci keberhasilan dalam mendampingi ABK terletak pada dukungan positif semua pihak. Orangtua perlu terbuka, kooperatif, komunikatif, dan perhatian terhadap perkembangan anak-anaknya. Kepala sekolah sebagai pucuk pimpinan perlu juga mengelola sedemikain rupa sehingga para guru, lingkungan, suasana, dan aspek lainnya bisa mendukung perkembangan semua anak didik, baik yang normal maupun ABK dengan sumberdaya yang dimiliki sekolah. Pun dengan guru yang harus memiliki kesabaran serta mau meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya sehingga bisa mengelola pembelajaran yang inklusif bagi semua anak.
Sejauh ini, SDN Sukasirna telah mampu menjawab tantangan dengan keberadaan beberapa ABK dengan berbekal keikhlasan, kesabaran, dan kemampuan untuk belajar. Namun tentu saja tantangan ke depan akan selalu ada dan tidak tertutup kemungkinan dengan kesan baik yang dimiliki masyarakat terhadap SDN Sukasirna, di masa yang akan datang, orangtua dengan ABK akan terus mempercayakan anak-anaknya di SD tersebut.
Untuk mempersiapkan hal tersebut, Kepala Sekolah sudah berkonsultasi kepada Dinas Pendidikan Kota Sukabumi terkait perlunya SDN Sukasirna mendapatkan GPK. Dan langkah lain yang ditempuh oleh Kepala Sekolah adalah himbauan kepada para guru untuk meningkatkan kompetensi dengan mengikuti Pelatihan Mandiri Pendidikan Inklusif di Platform Merdeka Mengajar.