Sumedang-Kemendikbudristek telah menetapkan target yang menantang bagi BBPMP Jawa Barat untuk memastikan keberhasilan Kurikulum Merdeka. Salah satu targetnya adalah agar 75% sekolah yang menerapkan kurikulum baru memiliki komunitas belajar yang aktif. Komunitas ini diharapkan dapat menjadi wadah bagi guru untuk berbagi pengalaman dan inovasi dalam pembelajaran. Selain itu, Kemendikbudristek juga ingin memastikan bahwa setidaknya 75% dari seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah daerah hingga orang tua, memiliki pandangan positif terhadap Kurikulum Merdeka.
Tantangan Implementasi Kurikulum Merdeka: Apa Saja Kendalanya?
Peralihan ke Kurikulum Merdeka telah membuka babak baru dalam dunia pendidikan, namun juga menghadirkan tantangan signifikan bagi sekolah-sekolah, terutama yang baru memulai implementasinya. SDN Sukasirna I Sumedang, meski tidak tergabung dalam program Sekolah Penggerak, telah menunjukkan semangat yang patut diacungi jempol dengan aktif berpartisipasi dalam komunitas belajar Namun, sekolah ini, seperti banyak sekolah lainnya, menghadapi kendala yang kompleks. Salah satu tantangan terbesar adalah terbatasnya jumlah pengawas sekolah di Kabupaten Sumedang, yang berimbas pada minimnya pendampingan bagi sekolah-sekolah yang sedang beradaptasi dengan kurikulum baru.
Dalam upaya mengatasi tantangan implementasi Kurikulum Merdeka, komunitas belajar telah muncul sebagai salah satu solusi yang menjanjikan. Sekolah-sekolah seperti SDN Sukasirna I Sumedang, yang secara proaktif terlibat dalam komunitas belajar, telah menemukan wadah untuk berbagi pengalaman, berkolaborasi, dan mencari solusi bersama. Meskipun demikian, kendala seperti ketidakseimbangan jumlah pengawas dan tuntutan perubahan yang mendasar masih menghantui. Komunitas belajar, meski efektif, membutuhkan dukungan yang lebih kuat dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, untuk memastikan keberlanjutan dan keberhasilan implementasi Kurikulum Merdeka.
Kepemimpinan Inspiratif: Kepala Sekolah Jadi Penggerak Komunitas Belajar
Komunitas belajar (Kombel) diharapkan dapat menjadi solusi efektif untuk mengatasi tantangan implementasi Kurikulum Merdeka. Melalui komunitas belajar, guru dapat saling berbagi pengalaman, pengetahuan, dan solusi secara kolaboratif.
Komunitas belajar yang Bernama Berkah di SDN I Sukasirna telah menjadi jantung kegiatan pengembangan profesional guru. Dengan pertemuan rutin setiap minggu, baik secara tatap muka maupun daring, komunitas ini telah menciptakan ruang kolaboratif yang dinamis. Guru-guru dengan antusiasme berbagi praktik terbaik, berdiskusi mengenai tantangan dalam implementasi Kurikulum Merdeka, dan saling memberikan dukungan. Melalui kegiatan berbagi materi ajar, studi kasus, dan refleksi bersama, Kombel Berkah telah berhasil meningkatkan kompetensi guru dalam merancang pembelajaran yang inovatif dan menarik.
Dukungan penuh dari Kepala Sekolah SDN I Sukasirna telah menjadi salah satu kunci keberhasilan komunitas belajar Berkah. Kehadiran beliau dalam setiap pertemuan, baik secara langsung maupun virtual, menunjukkan komitmen yang kuat terhadap pengembangan profesional guru. Dengan arahan dan motivasi dari kepala sekolah, komunitas ini telah tumbuh menjadi sebuah kekuatan yang mendorong transformasi pembelajaran di sekolah. Selain itu, dukungan sarana dan prasarana yang diberikan oleh kepala sekolah juga sangat membantu kelancaran kegiatan komunitas.
Bersama Komunitas Belajar, Guru Percaya Diri Terapkan Kurikulum Merdeka
“Komunitas belajar di Kecamatan Sumedang Selatan telah menjadi angin segar bagi para guru,” ungkap Ibu Inggit Gantina, Kepala Sekolah SDN Sukasirna I Sumedang dengan penuh semangat. “Melalui diskusi yang mendalam dan berbagi pengalaman, mereka tidak hanya memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang Kurikulum Merdeka, tetapi juga merasakan semangat kolaborasi yang kuat. Dukungan dari rekan sejawat, baik dalam bentuk saran, masukan, maupun berbagi praktik baik, telah menjadi motivasi tersendiri bagi mereka untuk terus belajar dan mengembangkan diri. Kami merasa tidak sendirian dalam menghadapi tantangan implementasi Kurikulum Merdeka.”
“Sebelum bergabung dengan komunitas belajar, para guru merasa agak kesulitan dalam memahami dan menerapkan Kurikulum Merdeka,” aku Inggit. “Namun, setelah aktif berpartisipasi dalam komunitas, pemahaman mereka menjadi jauh lebih baik. Mereka merasa lebih percaya diri dalam merancang pembelajaran yang inovatif dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Komunitas belajar telah memberikan bekal yang sangat berharga untuk mewujudkan profil pelajar Pancasila.”
Selanjutnya, Nining Marianingsih Guru Kelas 5 juga mengungkapkan “Saya sangat bersyukur dengan adanya komunitas belajar ini,” tuturnya dengan penuh syukur. “Diskusi-diskusi yang kami lakukan tidak hanya membahas tentang Kurikulum Merdeka, tetapi juga tentang berbagai aspek pembelajaran lainnya. Saya merasa seperti memiliki keluarga kedua di komunitas ini. Dukungan dan semangat yang mereka berikan telah menjadi motivasi terbesar bagi saya untuk terus berkarya.”
“Dini Apriani, guru kelas 3 SDN Sukasirna I Sumedang juga menjelaskan “’Komunitas ini telah menjadi rumah bagi kami para guru untuk berkolaborasi, belajar, dan tumbuh bersama,’ ujarnya. ‘Melalui diskusi yang mendalam, kami tidak hanya memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang Kurikulum Merdeka, tetapi juga menemukan solusi atas berbagai tantangan yang dihadapi dalam implementasinya.”
Komunitas Belajar: Kunci Sukses Implementasi Kurikulum Merdeka
Berdasarkan testimoni dari Ibu Inggit Gantina, Bu Nining Marianingsih, dan Bu Dini Apriani, dapat disimpulkan bahwa komunitas belajar di Kecamatan Sumedang Selatan telah memberikan dampak yang sangat positif bagi para guru di SDN Sukasirna I Sumedang. Komunitas ini tidak hanya menjadi wadah untuk belajar, tetapi juga menjadi tempat para guru merasa terhubung dan termotivasi untuk terus berkarya. Melalui kolaborasi di Kombel Berkah dan dukungan yang kuat dari Kepala Sekolah, para guru semakin percaya diri dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka dan menciptakan pembelajaran yang berkualitas”
Komunitas belajar telah terbukti menjadi solusi yang efektif bagi sekolah-sekolah seperti SDN Sukasirna I. Melalui komunitas belajar, sekolah ini dapat berbagi pengalaman, pengetahuan, dan solusi dengan sekolah lain. Namun, keberhasilan komunitas belajar bergantung pada pemahaman yang sama di antara semua pihak terkait, termasuk dinas pendidikan, pengawas sekolah, kepala sekolah, dan guru. Meskipun SDN Sukasirna I telah menunjukkan semangat yang tinggi, perlu adanya upaya yang lebih efektif dalam mensosialisasikan pentingnya komunitas belajar dan cara menjalankannya agar manfaatnya dapat dirasakan oleh lebih banyak sekolah
Tim Penulis : Agus Ramdani, Enang Komala, Mohamad Diva – BBPMP Jabar
Hakikat pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Manusia adalah makhluk yang unik dan memiliki karakteristik masing-masing. Proses mendidik bukan hanya memerlukan kemampuan guru dalam pengetahuan substansi terkait materi yang akan diajarkan dan kemampuan cara mengajarkannya, tetapi lebih dari itu, memerlukan kepribadian (soft skill) guru yang baik. Mengapa? Karena yang dihadapi oleh guru adalah manusia, makhluk yang selain memiliki akal, juga memiliki perasaan, dan memiliki kecerdasan yang beragam.
Mendidik adalah sebuah aktivitas yang kompleks. Bukan hanya mengandalkan logika dan penguasaan materi pelajaran, tetapi membutuhkan sentuhan kasih sayang. Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara dalam pemikirannya telah mewanti-wanti untuk mengedepan kasih sayang dalam mendidik. Pemikirannya yang begitu terkenal antara lain, ”Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tut wuri handayani”. Di depan memberikan teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberikan dorongan.
Eleanor Rosevelt (1884-1962), seorang pendidik, dosen, penulis buku, penyiar, dan istri presiden Amerika Serikat F. D. Rosevelt (1933-1945) mengatakan bahwa memberikan kasih sayang kepada peserta didik adalah bagian dari pendidikan itu sendiri. Pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan menyampaikan bahwa semangat mendidik dengan penuh kasih sayang dan toleransi adalah “kartu identitas” komunitas Islam. Kemudian pendiri Nahdlatul Ulama (NU), K. H. Hasyim Ashari menyampaikan bahwa berdakwah dengan cara memusuhi ibarat orang membangun kota, tetapi merobohkan istananya. Oleh karena itu, berdakwah perlu dilakukan dengan kasih sayang. Tokoh NU K. H. Mustofa Bisri juga menyampaikan bahwa “asal kita mendahulukan kasih sayang, kita bukan hanya akan masuk surga, tetapi kita di surga itu sendiri.”
UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) pada buku The Heart of Education Learning to Live Together menyampaikan bahwa kerangka mendidik dengan hati merupakan integrasi dari 3 elemen, yaitu (1) kecerdasan emosional, (2) empati, dan (3) mendidik dengan kasih sayang. Mendidik dengan berbasis kasih sayang akan menyentuh hati peserta didik. Saat hati peserta didik tersentuh oleh sikap guru yang baik dan penuh dengan pancaran kasih sayang, maka mereka akan senang, nyaman, dan semangat selama mengikuti pembelajaran.
Saat mereka senang, nyaman, dan semangat belajar, maka proses belajar akan menjadi sebuah pengalaman yang bermakna bagi mereka. Belajar menjadi sebuah rekreasi akademik bagi mereka. Kondisi tersebut akan membantu peserta didik dalam memahami dan menguasai materi pelajaran.
Guru perlu melakukan tugas mendidik disertai hati dan passion (bergairah). Pembelajaran yang menyenangkan hanya bisa dilakukan oleh guru yang menyenangi profesinya, kondisi hati yang senang, dan lingkungan pekerjaan yang menyenangkan. Pada buku The Pedagogy of Love (UNESCO, 2014) dinyatakan bahwa seorang guru dapat bekerja dengan sepenuh hati jika dia mencintai dirinya sendiri, mencintai materi yang dia ajarkan, mencintai peserta didik, mencintai administrasi pembelajaran, mencintai (saling menghormati) sesama rekan sejawat, dan mencintai sekolah tempatnya bertugas.
Pendidikan yang berdasarkan welas asih ditopang oleh sejumlah nilai seperti kebaikan, empati, rela berkorban, suka memaafkan, kerelaan menerima dan menghargai terhadap kondisi yang berbeda, membangun berkolaborasi dalam komunitas, menjunjung tinggi etika, memiliki pola pikir berkembang (growth mindset), peduli, saling menghormati, kemerdekaan untuk mengemukakan pendapat dan beraktivitas, mengutamakan dialog dalam menyelesaikan masalah, adanya keterikatan secara emosional antara guru dan murid, dan keakraban dalam komunikasi guru dan murid.
Pendidikan yang berdasarkan welas asih akan mendukung terwujudnya Sekolah Ramah Anak (SRA). Sejalan dengan implementasi kurikulum merdeka, pembelajaran diharapkan berpihak atau berpusat kepada peserta didik (student center). Peserta didik menjadi fokus pencapaian target pembelajaran. Pencapaian visi dan misi sekolah pun tecermin dalam mutu anak didik atau lulusan. Adanya Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) pun bertujuan untuk membangun, menumbuhkan, menguatkan karakter peserta didik agar memiliki nilai-nilai Pancasila. Welas dan asih adalah salah satu cerminan manusia pancasilais.
SRA adalah gambaran sekolah yang ideal atau sekolah yang dicita-citakan. Sekolah yang inklusif. Sekolah yang membangun keseteraan dan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas. Nilai welas asih yang diimplementasikan dalam pembelajaran dapat membentuk karakter peserta didik untuk peduli, empati, menghargai dan menghormati orang lain, mau membantu orang lain tanpa melihat latar belakang suku, ras, kelompok, dan agama.
SRA bukan hanya dilihat dari konteks kepribadian guru dan proses pembelajarannya, tetapi juga bisa dilihat dari konteks visi, misi, lingkungan, dan sarana-prasarana penunjangnya. Apakah lingkungan sekolah aman dan nyaman untuk belajar? Apakah sekolah dilengkapi oleh sarana-prasarana yang diperlukan untuk menunjang pembelajaran? Apakah sarana-prasana mudah diakses untuk belajar? Dan sebagainya.
Mengapa saat ini banyak anak, remaja, dan bahkan orang dewasa yang mudah tersulut emosi, mudah melakukan perundungan (bullying), melakukan tindakan kekerasan, mudah menganiaya orang lain, bahkan sampai tega menghilangkan nyawa orang lain? Disamping ada masalah dengan latar belakang dan pribadinya sendiri, bisa saja karena lingkungan tempatnya belajar (rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat) tidak memunculkan pendidikan yang berbasis welas asih. Ditambah dampak negatif dari media sosial yang akrab di gawai mereka. Masalah ini menjadi hal yang kompleks dan solusinya harus melibatkan berbagai pihak terkait. Tidak hanya mengandalkan salah satu pihak saja.
Data-data dari lembaga terkait dan berita viral yang muncul di media terkait tindakan bullying dan tindakan kekerasan sungguh sangat mengerikan sekaligus membuat kita merinding dan prihatin. Kadang kita bertanya dalam hati, kok bisa ya anak yang masih di bawah umur melakukan tindakan kekerasan dan merudapaksa korban hingga meninggal? Sudah separah itukah kondisi moralitas bangsa? Sudah separah itukah dampak gawai dan media sosial dalam “mencuci otak” generasi muda? Apakah hal ini menjadi ciri kegagalan pendidikan? Lalu, bagaimana pendidikan yang di satu sisi menjadi “tertuduh” atas terjadinya krisis karakter bisa memberikan solusi atas masalah tersebut?
Pendidikan berdasarkan welas asih menjadi sebuah ikhtiar bersama untuk mewujudkan generasi muda yang disamping cerdas secara intelektual, terampil, juga beradab dan berakhlak mulia. Tantangan Gen-Z dan Gen Alpha saat ini sangat kompleks. Disamping
maraknya dampak negatif dari teknologi di era digital, banyak juga anak muda yang lebih suka atau lebih memilih ”dibimbing” dan ”diasuh” oleh gawai dibandingkan oleh orang tua dan guru. Mereka juga kebingungan mendapatkan figur yang bisa menjadi teladan bagi mereka. Di sinilah orang tua, guru, pemimpin, dan para tokoh diharapkan bisa menjadi agen-agen untuk menjadi (contoh) role model pendidikan berbasis welas asih tersebut sehingga anak didik bisa menjadi manusia yang berperikemanusiaan.
Bandung, 11 September 2024 – Dalam rangka mendorong peningkatan kualitas kesehatan di lingkungan pendidikan, BBPMP Provinsi Jawa Barat menggelar kegiatan “Refleksi dan Penyusunan Praktik Baik Implementasi Gerakan Sekolah Sehat (GSS) di Satuan Pendidikan Binaan”. Acara ini dilaksanakan di Hotel Harris, Kota Bandung, selama tiga hari, mulai dari Rabu hingga Jumat. Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan sekolah binaan tahun 2024 dari berbagai jenjang pendidikan, termasuk PAUD, SD, SMP, SMA, SLB, dan PKBM, dari 27 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
Kegiatan ini bertujuan mengevaluasi progres pelaksanaan GSS di satuan pendidikan binaan, sekaligus merumuskan praktik baik yang dapat diadopsi oleh sekolah-sekolah lain. Evaluasi dilakukan dengan memetakan kekuatan dan kelemahan program, serta menyusun Rencana Tindak Lanjut (RTL) dan dokumen Best Practice yang akan menjadi panduan untuk pengembangan program di masa depan.
Pelaksanaan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) yang sudah lama diterapkan untuk meningkatkan kesehatan peserta didik melalui pendidikan dan pelayanan kesehatan masih belum optimal. Banyak sekolah yang hanya fokus pada layanan darurat tanpa cukup memperhatikan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), serta keterlibatan keluarga dan masyarakat yang terbatas. Untuk mengatasi masalah ini, Kemendikbud Ristek meluncurkan Gerakan Sekolah Sehat (GSS) yang menitikberatkan pada lima aspek kesehatan: Bergizi, Fisik, Imunisasi, Jiwa, dan Lingkungan. GSS bertujuan meningkatkan kesehatan secara berkelanjutan di sekolah, sehingga peserta didik dapat berkembang dalam lingkungan yang mendukung proses belajar. Kegiatan refleksi ini bertujuan mengevaluasi progres implementasi GSS di sekolah binaan, memetakan kekuatan dan kelemahan, serta menyusun dokumen Rencana Tindak Lanjut (RTL) dan Best Practice untuk pengembangan program di masa depan.
Menurut Yanti Triana, ketua panitia, kegiatan ini merupakan lanjutan dari pertemuan daring sebelumnya. “Kami pernah mendampingi tes kebugaran di 27 kabupaten/kota di Jawa Barat, dan kali ini dapat bertatap muka dengan 114 sekolah binaan serta 8 sekolah non-binaan,” jelasnya. Yanti berharap laporan dari sekolah-sekolah disusun berdasarkan konsep 5W+1H dengan prinsip Situation, Task, Action, Result (STAR), agar evaluasi program lebih sistematis dan komprehensif.
Pada sesi pembukaan, sambutan pertama disampaikan oleh Minhajul Ngabidin, perwakilan dari PDM 11, Direktorat SMP Ditjen PAUD Dikdasmen. Beliau menekankan pentingnya pelaksanaan GSS dalam mendukung kualitas kesehatan di sekolah. “Gerakan Sekolah Sehat yang berfokus pada lima aspek kesehatan ini diharapkan dapat menjadi upskilling bagi sekolah-sekolah, bukan hanya sebagai program jangka pendek, tetapi juga menjadi bagian integral dari pengembangan sekolah,” ujar Minhajul.
Sambutan berikutnya disampaikan oleh Sri Wahyuningsih, Kepala BBPMP Provinsi Jawa Barat, yang menegaskan pentingnya keberlanjutan program ini. “Sebenarnya, jika berbicara tentang sekolah sehat, bukan hanya kita yang hadir di sini yang harus terlibat. Kami berharap GSS ini menjadi gerakan yang diterapkan di seluruh sekolah, baik yang binaan maupun non-binaan,” kata Sri. Beliau juga menambahkan, “Poin penting dari program ini adalah keberlanjutan. Kami ingin memastikan bahwa GSS tidak hanya berhenti pada program, tetapi menjadi gerakan yang terus berkembang dan berkesinambungan.” Selanjutnya, dengan resmi, Sri Wahyuningsih membuka acara yang dihadiri oleh ratusan peserta dari berbagai jenjang pendidikan di Jawa Barat.
Kegiatan ini menghadirkan sejumlah narasumber yang berkompeten di bidangnya, yakni PDM 11 Direktorat SMP Ditjen PDM. Minhajul Ngabidin membawakan materi mengenai arah kebijakan Program Gerakan Sekolah Sehat 2024, memberikan panduan strategis bagi sekolah-sekolah binaan untuk mengimplementasikan GSS dengan lebih baik. Selain itu, Nastiyawati, juga memberikan materi mengenai teknik penyusunan best practice, yang sangat penting dalam menyusun dokumentasi praktik baik yang dapat diadopsi oleh sekolah-sekolah lainnya. Salah satu sekolah yang juga berbagi pengalaman suksesnya dalam pelaksanaan GSS adalah SMPN 6 Tambun Bekasi, yang merupakan salah satu sekolah binaan GSS BBPMP pada tahun 2023. Praktisi dari sekolah tersebut memberikan wawasan tentang praktik baik yang telah mereka terapkan, mulai dari program kebersihan lingkungan hingga inisiatif kesehatan mental untuk peserta didik.
Pada akhir kegiatan, diharapkan tersusun Dokumen Rencana Tindak Lanjut (RTL) Program Kerja Implementasi GSS di satuan pendidikan binaan, serta Dokumen Best Practice yang dapat menjadi panduan bagi sekolah-sekolah lain dalam mengembangkan program GSS. Dokumen ini diharapkan tidak hanya mencakup evaluasi hasil, tetapi juga strategi perbaikan dan pengembangan jangka panjang, sehingga gerakan ini dapat menjadi lebih efektif dan berdampak luas.
Dengan terselenggaranya kegiatan ini, BBPMP Provinsi Jawa Barat berharap implementasi Gerakan Sekolah Sehat akan semakin optimal dan dapat menjadi model yang diadopsi oleh sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Gerakan ini diharapkan mampu menciptakan lingkungan pendidikan yang sehat, mendukung proses belajar, dan berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan secara keseluruhan. (UR)
KBRN, Bandung: Kabar gembira datang dari Kabupaten Sumedang! Hasil penilaian capaian literasi dan numerasi pada Rapor Pendidikan Tahun 2024 menunjukkan peningkatan yang signifikan di jenjang SD dan SMP. Hal ini menjadi bukti nyata keberhasilan upaya pemulihan pembelajaran yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang, Jumat (6/8/2024).
Prestasi gemilang ini juga diraih oleh siswa SMP Sumedang. Penilaian literasi menunjukkan kenaikan dari 70,10 di tahun 2023 menjadi 80,73 di tahun 2024, dengan peningkatan sebesar 15,17 persen. Sementara itu, nilai numerasi mengalami kenaikan dari 48,25 menjadi 76,26, atau setara dengan peningkatan sebesar 58,02 persen.
Kepala Bidang Sekolah Dasar Kabupaten Sumedang, Deni Setiawan, mengungkapkan rasa bangganya atas prestasi ini.
“Di tingkat SD, nilai literasi siswa melonjak dari 70,75 di tahun 2023 menjadi 84,60 di tahun 2024. Angka ini menunjukkan peningkatan yang luar biasa sebesar 13,85 persen. Peningkatan serupa juga terlihat pada penilaian numerasi, dengan nilai yang naik dari 53,61 menjadi 79,54, atau setara dengan peningkatan sebesar 48,38 persen” ujarnya.
Dengan nilai itu, artinya tingkat literasi dan numerasi siswa jenjang SD dan SMP di Sumedang sudah mencapai kategori Baik. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemulihan pembelajaran yang dilakukan telah membuahkan hasil yang positif
Pemberdayaan Kombel, Penggunaan Teks Multimodal, dan Pendekatan Inquiry
Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang telah berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di jenjang SD melalui berbagai upaya pemulihan pembelajaran. Salah satu upayanya adalah dengan memperkuat atau mengembangkan kompetensi guru melalui Komunitas Belajar (Kombel). Dalam komunitas belajar ini, guru-guru saling bertukar pengetahuan, pengalaman, dan strategi pembelajaran yang efektif.
Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang menerapkan tiga jenis Kombel untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di jenjang SD, yaitu:
Komunitas Belajar dalam Sekolah: Guru-guru di setiap sekolah membentuk komunitas belajar untuk saling berbagi pengetahuan, pengalaman, dan strategi pembelajaran yang efektif;
Komunitas Belajar Antar Sekolah: Guru-guru dari beberapa sekolah yang berada dalam satu gugus kecamatan (terdiri dari 10 sekolah) berkumpul di komunitas belajar antar sekolah untuk membahas permasalahan pembelajaran dan mencari solusi bersama;
Komunitas Belajar Daring di PMM: Setiap sekolah membuat SK pembentukan komunitas belajar dan melaksanakan kegiatan pengembangan kompetensi guru sesuai dengan ketentuan dari pemerintah pusat pada aplikasi PMM. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran yang efektif.
Dinas Pendidikan juga mendorong satuan pendidikan untuk membuat program terkait dengan penguatan literasi dan numerasi. Program-program ini menggunakan berbagai pendekatan pembelajaran, seperti teks multimodal dan lingkungan karya teks. Pendekatan teks multimodal memanfaatkan media seperti gambar, video, dan audio untuk membuat pembelajaran lebih menarik dan interaktif. Sedangkan pendekatan lingkungan karya teks menggunakan teks-teks yang terinspirasi dari lingkungan sekitar untuk meningkatkan literasi dan numerasi siswa.
Untuk menjaga mutu dari aktivitas pemulihan pembelajaran dalam rangka meningkatkan literasi dan numerasi pada satuan-satuan pendidikan, Dinas Pendidikan Kabupaten Sumedang mempergunakan empat siklus pendekatan iquiry yang terdiri dari:
Refleksi Awal: Pada tahap ini, setiap komunitas belajar menganalisis capaian rapor pendidikan untuk mengidentifikasi kekurangan dan kelemahan dalam pembelajaran;
Perencanaan: Berdasarkan analisis capaian rapor, komunitas belajar menyusun rencana pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah;
Implementasi: Rencana pembelajaran yang telah disusun diimplementasikan di kelas oleh guru-guru; dan Evaluasi: Pada tahap akhir, komunitas belajar melakukan evaluasi untuk mengetahui tingkat keberhasilan implementasi program dan menentukan langkah selanjutnya.
Program Inovatif untuk Meningkatkan Literasi dan Numerasi di Sumedang Selain memberdayakan Komunitas Belajar (Kombel), memanfaatkan pendekatan teks multimodal dan lingkungan kaya teks, Kabupaten Sumedang menunjukkan komitmennya dalam memulihkan pembelajaran dan meningkatkan literasi numerasi para siswanya melalui berbagai program inovatif lainnya yang memang dirancang secara komprehensif dan berkelanjutan. Program inovatif tersebut, seperti:
Territory Learning Community (TLC): Program ini merupakan komunitas belajar antar sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan kolaborasi dan berbagi praktik terbaik dalam pembelajaran literasi;
Pandai Berhitung dengan Metode Gasing: Program ini menggunakan permainan tradisional “gasing” untuk mengajarkan matematika kepada siswa dengan cara yang menyenangkan dan mudah dipahami;
Cantik Perkasa: Program ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai karakter mulia dan budaya Sunda kepada siswa melalui berbagai kegiatan, seperti menari, menyanyi, dan memainkan alat musik tradisional;
Paket Geulis: Program ini merupakan program pengembangan bakat dan minat siswa di bidang seni dan budaya;
E-Pelita Mobil: Program ini merupakan program perpustakaan digital yang menyediakan akses ke berbagai buku elektronik untuk siswa.
Kabupaten Sumedang telah menunjukkan komitmen yang kuat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di setiap jenjang satuan pendidikan melalui berbagai upaya inovatif dan kreatif. Upaya-upaya tersebut telah menunjukkan hasil yang positif, yaitu peningkatan nilai literasi dan numerasi siswa. Selain itu, program-program tersebut juga mendapat respon positif dari masyarakat. Kabupaten Sumedang merupakan contoh yang baik dalam hal upaya peningkatan literasi dan numerasi dalam pemulihan pembelajaran.
BANDUNG – Ratusan murid SD Negeri Soka Bandung diajak menanam pohon oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk menjaga lingkungan bersih dan sehat.
“Gerakan Sekolah Sehat (GSS) untuk untuk meningkatkan kesadaran siswa, guru, dan seluruh warga sekolah tentang pentingnya menjaga lingkungan,” ujar Kepala Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Jawa Barat Sri Wahyuningsih, Jumat (06/09/2024).
Sri mengatakan, salah satu fokus utama GSS adalah mendorong partisipasi aktif sekolah dalam upaya pengendalian perubahan iklim. “Sebagai bagian dari UPT Kemendikbudristek, BBPMP Jawa Barat menginisiasi gerakan menanam pohon dan menjaga kebersihan sekolah,” ujarnya.
Kegiatan ini mengajak seluruh warga sekolah untuk terlibat aktif dalam upaya pelestarian lingkungan. Dengan menanam pohon, sekolah tidak hanya berkontribusi dalam menyerap karbon dioksida, tetapi juga menciptakan lingkungan yang lebih hijau dan asri.
Menurut Sri, gerakan menanam pohon, tidak hanya memberikan dampak positif bagi lingkungan sekolah, tetapi juga memiliki manfaat yang lebih luas disntaranya meningkatkan kesadaran lingkungan, menciptakan lingkungan belajar yang nyaman. “Sekolah yang hijau dan bersih akan memberikan suasana belajar yang lebih nyaman dan menyenangkan bagi siswa,” ujarnya.
Sri mengatakan, meskipun antusiasme sekolah dalam mengikuti gerakan ini sangat tinggi, masih ada beberapa tantangan yang perlu diatasi.
Salah satunya adalah perbedaan tingkat partisipasi antara satu sekolah dengan sekolah lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kebijakan daerah, dukungan dari kepala sekolah, dan ketersediaan sumber daya.
Namun, tantangan ini juga membuka peluang untuk perbaikan.
Dengan terus melakukan sosialisasi dan memberikan dukungan yang memadai, diharapkan semakin banyak sekolah yang terlibat aktif dalam gerakan ini.
“Selain itu, penting juga untuk melibatkan pemerintah daerah, masyarakat, dan pihak swasta dalam mendukung upaya pelestarian lingkungan di sekolah,” ujar Sri.
Sri Wahyuningsih, mengatakan, perubahan iklim telah menjadi isu global yang mendesak.
‘Kenaikan suhu bumi, cuaca ekstrem, dan naiknya permukaan air laut adalah beberapa dampak nyata dari perubahan iklim yang mengancam keberlangsungan hidup manusia dan ekosistem,” ujarnya.
Menurut Sri, di Indonesia, deforestasi menjadi salah satu penyebab utama perubahan iklim.
Hilangnya hutan tidak hanya mengurangi penyerapan karbon dioksida, tetapi juga memicu berbagai masalah lingkungan lainnya.
PPDB 2024 sudah usai. Setelah letih bergelut dengan hitungan jarak, zonasi, prestasi dan bertarung merebut bangku sekolah, orang tua siswa kini sudah boleh menghirup nafas lega sebab anak-anak mereka sudah mendapatkan bangku di sekolah yang mereka inginkan. Hari-hari ini sebagian sekolah sudah mulai mengenalkan lingkungan belajar bagi siswa baru, dan sebagian besar sekolah lainnya telah memulai proses pembelajaran.
PPDB tahun ini tampak jauh lebih adem. Meskipun masih ada peristiwa yang diindikasikan melanggar aturan, kasus-kasus siswa titipan, kongkalikong sekolah dan orang tua mengakali proses seleksi, akal-akalan memalsukan dokumen kependudukan, dan manipulasi data prestasi misalnya, jumlah dan intensitasnya tidak sebanyak dan seramai tahun-tahun sebelumnya.
Relatif sepinya PPDB 2024 dari kasus-kasus serupa itu mungkin pertanda baik. Jumlah orang tua yang terkena “sindrom favoritisme sekolah”, sindrom mau melakukan apapun meskipun harus melanggar aturan hanya agar anak-anak mereka bisa masuk sekolah favorit, barangkali mulai berkurang.
Wajah PPDB 2024 memang tampak lebih segar. Ada upaya keras dari pemerintah untuk mulai membangun objektivitas, transparansi dan akuntabilitas dalam proses seleksi siswa baru kali ini. Kita menyaksikan di banyak daerah muncul gerakan penegakan komitmen “PPDB Obyektif, Transparan, dan Akuntabel”. Gerakan ini diprakarsai unsur pimpinan daerah, melibatkan tidak hanya melibatkan dinas pendidikan, tetapi juga kepolisian, kejaksaan, bahkan organisasi masyarakat sipil.
Gerakan ini, selain sebagai otokritik terhadap praktik PPDB tahun sebelumnya, seolah-olah memberi peringatan. Kepada siapapun pelaku pendidikan di lapangan, baik orang tua calon siswa, guru, kepala sekolah, pengawas, dan dinas pendidikan jangan main-main dengan dengan PPDB. Tegakkan prinsip obyektivitas, transparansi, daan akuntabilitas dalam setiap tahapan proses seleksi. Relatif sepinya PPDB 2024 dari hiruk-pikuk kasus-kasus manipulasi dan siswa titipan, bisa jadi pertanda gerakan ini mulai membuahkan hasil.
Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi Jawa Barat juga tidak tinggal diam. Menyongsong PDB 2024, sejak Februari-Maret 2024, BBPMP Provinsi Jabar mengembangkan dua dasbor: Linimasa PPDB 2024 dan Daya Tampung Vs Lulusan 2024. Dasbor ini memonitor tahap-tahap pelaksanaan PPDB yang harus diikuti daerah, dan memprediksi kemungkinan membludaknya siswa baru akibat ketidakcukupan daya tampung sekolah. Dasbor ini menjadi semacam instrumen deteksi dini bagi daerah untuk bersiap secara prima dan mengantisipasi segala kemungkinan malpraktik PPDB 2024.
Tapi jika ditelisik lebih mendalam, wajah baru PPDB 2024 ternyata tidak mulus-mulus amat. Dibalik penyelenggaraan PPDB yang relatif lancar dan nir insiden, dan prinsip-prinsip obyektivitas, transparansi, daan akuntabilitas yang mulai ditegakkan, PPDB menyimpan masalah yang jika tidak ditangani secara serius bisa mencederai hak-hak warga mendapatkan pendidikan,
Masalah itu adalah adanya sejumlah siswa yang terancam menjadi siswa ilegal. Mereka dinyatakan lolos seleksi, sebagian besar telah mengikuti masa pengenalan lingkungan sekolah dan menjalani proses pembelajaran, tetapi nama mereka tidak tercantum dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Secara de facto mereka bersekolah, tetapi secara legal mereka tidak punya Nomor Induk Siswa Nasional (NISN).
Jumlah siswa yang terancam menjadi siswa ilegal ini tak main-main. Hingga tulisan ini disusun, Tim Dapodik Kemendikbudristek RI mengidentifikasi lebih dari 28 ribu siswa di lebih dari 1000 sekolah jenjang SMP dan SMA di Provinsi Jawa Barat berpotensi menjadi siswa ilegal.
Sebenarnya Permendikbudristek No. 47 Tahun 2023 tentang Standar Pengelolaan pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah telah mengatur jumlah daya tampung sekolah sebanyak 32 siswa per rombongan belajar untuk jenjang SMP dan 36 siswa per rombongan belajar untuk SMA. Daya tampung sebesar ini yang menjadi acuan PPDB 2024.
Untuk bisa memprediksi daya tampung, daerah wajib menganalisis potensi pendaftar SMP dan SMA, dan ketersediaan bangku dan ruang kelas setiap sekolah. Sesuai dengan Kepsesjen Permendikbudristek No 47/M/2023 tentang Pedoman Pelaksanaan Permendikbud No. 1 Tahun 2021 tentang PPDB PPDB pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, analisis dilakukan paling lambat bulan Desember sebelum tahun pelaksanaan PPDB. Daya tampung sekolah harus diumumkan dalam SK Kepala Dinas tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan PPDB.
Dalam praktik kebijakan analisis daya tampung ini tidak disosialisasikan secara memadai kepada pemerintah daerah. Kemendikbudristek cenderung memfokuskan sosialisasi agar daerah memenuhi persentase jalur afirmasi, zonasi, dan prestasi dalam PPDB. Aturan daya tampung kurang dikawal secara intensif dan tak mendapat cukup perhatian dari pemerintah daerah.
Akibatnya sudah bisa diduga. Pemerintah daerah tak data daya tampung sekolah negeri, masyarakat kehilangan panduan memilih sekolah mana yang paling memungkinkan sesuai jalur, dan sekolah kelabakan menerima tekanan animo masyarakat yang begitu tinggi. Jalan pintas yang kemudian banyak ditempuh oleh sekolah adalah menambah jumlah siswa melebihi syarat rombongan belajar.
Masalah bertambah kompleks ketika tidak berapa lama setelah PPDB berlangsung pemerintah pusat menutup pemutakhiran data siswa baru dalam Dapodik. Pemerintah pusat juga mengumumkan bahwa Dapodik hanya memfasilitasi pemutakhiran data siswa baru sesuai ketentuan jumlah siswa per rombongan belajar minimal sebanyak 32 siswa pada jenjang SMP dan 36 SMA.
Pintu Dapodik pun ditutup dan siswa-siswa yang diterima oleh sekolah melebihi jumlah minimal siswa per rombongan belajar segera terlempar keluar dari Dapodik. Seperti sudah disebutkan di awal tulisan, jumlah siswa yang terlempar sebanyak lebih dari 28 ribu siswa di lebih dari 1000 sekolah jenjang SMP dan SMA di Provinsi Jawa Barat.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Siswa-siswa “ilegal”yang terlempar dari Dapodik ini sudah diterima oleh sekolah, telah mengikuti masa pengenalan lingkungan sekolah, dan sebagian besar telah menjalani proses pembelajaran. Mengeluarkan mereka dari sekolah jelas tidak mungkin karena mereka telah menjalani proses PPDB, bisa meletupkan konflik terbuka antara sekolah dan masyarakat, dan yang paling utama melanggar prinsip pemenuhan hak-hak dasar warga negara atas pendidikan yang layak dan bermutu.
Meskipun Dapodik telah ditutup, pemerintah pusat masih membuka peluang untuk menyelamatkan siswa-siswa yang terlempar dari Dapodik hingga akhir Agustus 2024. Syaratnya pemerintah daerah harus mengirim surat permohonan dispensasi penambahan siswa baru disertai dengan analisis daya tampung sekolah, peneriman siswa baru di sekolah sekitar baik negeri maupun swasta, ketersediaan ruang kelas di sekolah, ketersediaan guru dan beban kerja guru, dan efektivitas kegiatan belajar mengajar dalam kelas. Pemda juga harus membuat surat keputusan tentang jumlah siswa per rombongan belajar sebagai kuota sebelum PPDB, dan surat keputusan penetapan siswa per rombel yang diterima setelah PPDB berdasarkan surat keputusan kepala sekolah.
BBPMP Provinsi Jabar kemudian melakukan dua upaya strategis, Pertama, mengembangkan analisis data spasial sebagai alat bantu bagi daerah ketika mengajukan permohonan dispensasi penambahan daya tampung kepada pemerintah pusat; kedua, melakukan pendampingan analisis daya tampung kepada dinas pendidikan. Karena ada tuntutan dari pemerintah pusat agar surat permohonan dispensasi ditulis lebih runtut dan persuasif, BBPMP Jabar juga membantu menyusun draft surat.
Analisis data spasial dilakukan melalui beberapa tahapan: mengumpulkan data daya tampung sekolah sebelum dan sesudah PPDB, melengkapi data koordinat sekolah yang kelebihan daya tampung dan sekolah sekitar seakurat mungkin, menghitung selisih daya tampung sebelum dan sesudah PPDB, menganalisis distribusi siswa berlebih ke sekolah sekitar.
Analisis ini berhasil menemukan disparitas mutu dan sebaran sekolah dengan relatif akurat. Dengan analisis ini bisa ditemukan alasan yang masuk akal mengapa sebuah sekolah “terpaksa” harus menerima siswa diluar daya tampung minimal yang disyaratkan.
Berikut adalah beberapa contoh analisis untuk beberapa sekolah di Kabupaten Purwakarta yang mengalami kelebihan daya tampung yaitu SMPN 2 Campaka, SMPN 2 Purwakarta, SMPN 3 Purwakarta. Dengan bantuan analisis data spasial diketahui bahwa SMPN 2 Cimalaka terpaksa menerima siswa diluar daya tampungnya karena “tidak ada sekolah negeri dan swasta lain pada radius satu kilometer, dan jarak terdekat dengan sekolah lain sejauh 6,5 kilometer”. SMPN 2 Purwakarta karena “dalam radius satu kilometer tidak ada sekolah negeri, terdapat empat sekolah swasta keagamaan dengan mutu sama baiknya tetapi biaya sekolah tidak terjangkau”. Sedangkan SMPN 3 Purwakarta karena “dalam radius satu kilometer tidak ada sekolah negeri, terdapat tiga sekolah swasta dengan mutu lebih rendah dan biaya sekolah tidak terjangkau”.
Argumen-argumen disparitas mutu pendidikan dan lokasi sekolah seperti itulah yang kemudian diajukan kepada pemerintah pusat sebagai dasar permohonan dispensasi. Argumen ini berhasil meyakinkan pemerintah pusat. Hingga tulisan ini disusun, pemerintah pusat telah mengabulkan permohonan dispensasi penambahan 31.041 siswa di 701 sekolah pada jenjang SMP di 26 daerah.
Tetapi pekerjaan rumah menyelamatkan siswa “ilegal” ini belum selesai. Pemerintah pusat masih menolak permohonan dispensasi 161 sekolah dan 9960 siswa. Saat ini Tim PPDB BBPMP Jabar sedang melakukan upaya “banding” kepada pemerintah pusat dengan melakukan analisis ulang dan mengajukan argumen tambahan.