Bandung Barat – Upaya peningkatan mutu pendidikan di Jawa Barat terus digalakkan melalui berbagai strategi dan kolaborasi lintas sektor. Ke pala Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Provinsi Jawa Barat, Sri Wahyuningsih menyatakan bahwa pihaknya berfokus pada peningkatan SPM (Standar Pelayanan Minimal) pendidikan di kabupaten dan kota melalui refleksi berkala serta optimalisasi teknologi digital.
Dalam beberapa tahun terakhir, tren peningkatan indeks SPM terlihat jelas di hampir seluruh wilayah Jawa Barat, yang mencerminkan keseriusan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. “Melalui refleksi yang rutin dan sistematis, kita dapat mengevaluasi dan memperbaiki pelaksanaan kebijakan pendidikan agar tetap relevan dan efektif,” ujar Sri Wahyuningsih seperti dilaporkan kontributor “PR” Dewiyatini, Rabu (21/8/2024). Sri mengatakan sejumlah daerah mencatatkan kenaikan signifikan pada indeks SPM mereka. Kabupaten Kuningan dengan indeks 81,88 dan Kabupaten Sumedang dengan 81,45 menjadi contoh daerah dengan pencapaian terbaik pada tahun 2024. Namun, masih ada daerah seperti Kabupaten Indramayu (64,03) dan Kabupaten Cirebon (67,67) yang tertinggal. Meski tren peningkatan ini patut diapresiasi, tantangan dalam mencapai SPM paripurna masih cukup kompleks. “Terbatasnya anggaran pendidikan, kompetensi guru yang belum merata, hingga koordinasi yang belum optimal antara dinas pendidikan, sekolah, dan stakeholder menjadi kendala yang sering kali dihadapi,” katanya.
Sri mengapresiasi daerah-daerah yang telah memanfaatkan teknologi digital, baik melalui aplikasi maupun media sosial, untuk memperbaiki mutu pendidikan. Pihaknya juga memperkenalkan berbagai inovasi, seperti Dasbor Induk Program Prioritas yang dikembangkan sebagai instrumen monitoring capaian program prioritas. Dasbor ini mempermudah akses data bagi dinas pendidikan kabupaten/kota sehingga mereka dapat terus memantau perkembangan program. Dalam menjaga kesinambungan peningkatan indeks SPM, BBPMP Jawa Barat juga menginisiasi Komunitas Belajar Ramah dan Asyik (KOBRA) yang menghubungkan kepala dan sekretaris dinas pendidikan di seluruh kabupaten/kota. Forum ini menjadi wadah bagi dinas pendidikan untuk saling berbagi informasi dan praktik terbaik. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta Purwanto menyebutkan pihaknya berupaya untuk meningkatkan rata-rata lama sekolah, literasi, dan numerasi, dikoordinasikan dengan berbagai pihak. Ia mengakui disdik tidak bisa sendirian menjalankan tugasnya sehingga perlu terus memperluas akses, meningkatkan akses melalui melihat titik kritis yang terjadi di masyarakat.
Saat ini pihaknya masih menyelesaikan kendala berupa pola pikir yang ada di masyarakat, kepala sekolah, dan guru.Hal senada diungkapkan oleh Kadisdik Kabupaten Sumedang Dian Sukmara yang memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) diberi tugas untuk mengawal pelaksanaan 14 (empat belas) episode Kebijakan Merdeka Belajar, sehingga diperlukan kolaborasi dan sinergitas dengan kabupaten kota yang ada di wilayah Jawa Barat dalam pelaksanaannya. Demikian Kepala BBPMP Provinsi Jawa Barat, Sri Wahyuningsih, dalam pembukaan kegiatan Refleksi Implementasi Kebijakan Merdeka Belajar Semester 1 di Hotel Pesona Bamboe Lembang Kabupaten Bandung Barat Selasa, 20 Agustus 2024.
“Kewajiban BBPMP bersama Dinas Pendidikan sebagai pengampu Kebijakan Pendidikan di daerah adalah mendampingi satuan pendidikan untuk dapat bertransformasi, juga mengantarkan anak-anak didik dapat mempersiapkan diri menjadi Sumber Daya Manusia yang berkualitas,” urai Sri lagi.
Kegiatan ini diselenggarakan sesuai dengan temanya, yaitu merancang strategi percepatan transformasi pendidikan di Jawa Barat, melalui refleksi dan evaluasi capaian progress implementasi Kebijakan Merdeka Belajar.
Kegiatan yang rencananya dilaksanakan Selasa s.d. Jumat, 20 s.d 23 Agustus 2024, dan diikuti oleh Kepala Dinas Pendidikan dan jajarannya dari 27 Kabupaten Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, dan perwakilan BBPMP Provinsi Jawa Barat ini, diharapkan dapat melakukan identifikasi capaian progress implementasi Kebijakan Merdeka Belajar Semester 1, refleksi dan evaluasi implementasi Kebijakan Merdeka Belajar, dan merancang strategi percepatan transformasi pendidikan di 27 kabupaten kota wilayah provinsi Jawa Barat.
Sukabumi – SDN Sukasirna Kota Sukabumi merupakan salah satu sekolah yang memiliki peserta didik berkebutuhan khusus. Venti, guru Olahraga di sekolah tersebut menceritakan pengalamannya ketika pertama kali mengenal salah satu anak berkebutuhan khusus sekitar 1 tahun yang lalu. Ketika itu, saat Venti sedang mendampingi latihan olahraga di lapangan sekolah, tiba-tiba seorang anak berusia sekitar 6 atau 7 tahun ikut serta ke dalam kelompok tersebut.
“Anak-anak pada bingung dan pada bertanya, siapa itu, siapa itu. Nah, saya juga tidak tahu siapa anak tersebut. Interkasinya itu mendorong orang, padahal ga kenal. Terus juga merebut bola anak-anak juga”.
Baru beberapa saat kemudian Venti mengetahui anak tersebut adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang dibawa oleh orangtuanya ke SDN Sukasirna dalam rangka observasi. Orangtua anak tersebut mendapatkan informasi dari tetangganya, yang merupakan komite sekolah, bahwa ada beberapa anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di SDN Sukasirna. Setelah melakukan observasi ke beberapa sekolah, orangtua tersebut akhirnya memutuskan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut.
SDN Sukasirna sebenarnya tidak memiliki Guru Pembimbing Khusus (GPK), namun di tahun pelajaran 2023/2024 memiliki 4 orang siswa ABK. Guru Pembimbing Khusus adalah pendidik profesional yang dibekali pengetahuan dan keterampilan untuk menangani ABK pada satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan. Walaupun tidak memiliki GPK, kepala sekolah dan guru-guru di SDN Sukasirna tetap menerima setiap anak berkebutuhan khusus yang dipercayakan untuk didaftarkan di sekolah tersebut. “Kami paham bahwa dengan pembaharuan sekarang, kita tidak boleh menolak, tidak boleh membedakan, jadi harus menerima semua anak,” terang Indri, Wali Kelas Kelas 6. Titin Kartini, Kepala Sekolah, menegaskan bahwa kebijakan sekolah, “ingin memberikan Kelayakan pendidikan Bermutu bagi para ABK.”
Menepis Kekhawatiran Orang Tua ABK
Tertantang dengan kepercayaan orangtua yang menyekolahkan putra-putri berkebutuhan khususnya di sekolah tersebut, membuat Kepala Sekolah dan para guru mulai secara autodidak mempelajari bagaimana menangani anak-anak tersebut. Tatangan pertama yang muncul berasal dari orangtua siswa lainnya. Pada awalnya ada juga orangtua yang merasa khawatir jika anak mereka diganggu karena beberapa ABK di SDN Sukasirna memiliki kecenderungan “galak”. Namun, pihak sekolah berhasil memberikan pemahaman pada orangtua untuk tidak perlu khawatir karena ada para guru yang mendampingi di sekolah.
Selain khawatir diperlakukan galak oleh guru, apalagi kekhawatiran mereka yang lain? Dari siswa lain, dari sarana dan prasarana pembelajaran yg ada di sekolah, dari lingkungan belajar misalnya? Asyik kalau diuraikan satu per satu. Lalu apa saja yang dilakukan sekolah dan guru untuk menepis masing-masing kekhawatiran itu?
Pandangan Positif Guru: Setiap ABK Punya Kelebihan
Langkah pertama yang cukup penting yang diambil oleh para guru adalah menajamkan hati, pikiran, dan perasaan untuk mengenali karakteristik setiap ABK. Misalnya anak yang berada di kelas 1, Gevano, yang awalnya memiliki kecenderungan agresif dan galak serta tidak menyukai lingkungan yang berisik. Selain itu, dia belum bisa mengikuti pembelajaran lebih dari 5 menit dan belum juga bisa berdialog dengan baik dengan guru maupun teman-temannya.
Dibalik kekurangannya, menurut Nurma Rahmawati , wali kelas Kelas 1, Gevano memiliki kelebihan yang luar biasa untuk usia anak kelas 1 SD. Selain Bahasa Indonesia dan Basa Sunda, dia sudah bisa berbicara secara sederhana dengan menggunakan Bahasa Inggris. Sayangnya, kemampuan menggunakan berbagai bahasa tersebut justru dilakukan manakala dia berbicara sendiri atau berbicara dengan binatang yang ada di sekitar sekolah.
Kelebihan lainnya, dia sudah bisa menulis dengan rapi. “misal ketika dia tertarik kalkulator. Dia bisa menulis Casio dengan rapi dan logo yang persis dengan yang dilihat. Atau pernah sepulang jalan-jalan bersama ibunya, besoknya menulis City Mall. Pokoknya kalau yang membuatnya tertarik, dia dengan sendirinya mau menuliskan”, terang Nurma.
Hal-hal itu juga yang menjadi pertimbangan Nurma untuk melakukan pembelajaran bagi Gevano. Nurma mencermati benda-benda yang menarik perhatiannya dan menjadikan benda tersebut sebagai entry point mengajak dia belajar. Ketika pelajaran menulis, Nurma akan membagi papan tulis menjadi 2, salah satu bagian untuk Nurma menulis dan diikuti oleh anak-anak lainnya, satu bagian lain diperuntukkan bagi Gevano, yang gemar menulis di papan tulis.
Lain halnya yang ditemui oleh Andri Agustiawan, guru Kelas 2, yang juga mendampingi seorang anak berkebutuhan khusus, Faezya. Motivasi belajar siswa istimewa satu ini sangat dipengaruhi oleh mood. “Saya sering sedih, saya harus bagaiamana untuk masa depan anak ini”, ungkap Andri. Andri terus berusaha memahami naik turunnya emosi anak didiknya tersebut supaya sedikit demi sedikit bisa mengajaknya mengikuti pembelajaran.
Lain halnya dengan yang dilakukan Lilis Susanti, wali kelas Kelas 5. Lilis mendampingi anak ABK yang sangat pendiam di kelasnya, Andini. Andini sangat pendiam dan sangat jarang berkomunikasi dan bersosialisasi dengan orang lain. Jika ditanya, dia sangat jarang menjawab dan hanya tersenyum, kemudian mengangguk atau menggeleng. Namun Lilis mencermati bahwa dia menyimak apa yang didengarnya. Lilis sering mendapatinya melantunkan sholawat pada saat sedang berlangsung kultum.
Berangkat dari pengalaman para guru berinteraksi dengan anak-anak tersebut, diskusi di ruang guru sering terjadi. Para guru memahami pentingnya mengenali dan memahami kecenderungan mereka, apa yang disukai, dan tidak disukai. Dengan memahami hal ini, guru akan bisa menyediakan dukungan yang sesuai untuk mengoptimalkan perkembangan mereka.
Dukungan Orang Tua ABK
Faktor lain yang berpengaruh positif dalam menyediakan dukungan bagi perkembangan ABK adalah peran aktif orangtua. Orangtua yang komunikatif dan kooperatif sangat membantu guru untuk memberikan penanganan yang tepat di sekolah. Kerjasama yang baik dengan orangtua/wali dirasakan betul oleh para guru. “Nenek Gevano setiap hari mengantar dan menjemput jadi kita pasti hampir selalu ngobrol setiap hari, “ terang Nurma. Hal ini dikuatkan oleh Lilis, “Ibunya Andini sering ngeWA menanyakan perkembangan anaknya. Jadi kita juga bisa saling mengetahui perkembangan di sekolah dan di rumah”.
Selain komunikasi, apalagi dukungan ortu?
Apa ada ortu ortu yang “cuek”? Apa yang dilakukan sekolah untuk ortu2 jenis ini?
Jika dukungan ortu penting, apakah ada rencana untuk “melembagakan” komunikasi lebih rutin misalnya?
Menyusun Standar Ketercapaian Belajar ABK
Tantangan lain yang ditemui oleh para guru adalah dalam melakukan evaluasi hasil belajar. Pada awalnya, para guru merasa kebingungan dalam menentukan ketercapaian hasil belajar mereka karena pengisian nilai rapor disamakan untuk semua anak. Akhirnya para guru bersepakat untuk menentukan standar khusus untuk anak-anak istimewa tersebut. Salah satunya adalah penghargaan atas keikutsertaan dalam pembelajaran. Venti memaparkan, “Jika dia mau ikut olahraga, saya memberikan penilaian melampaui KKM, jika tidak mau, saya berikan nilai KKM”.
Para guru bersepakat sepanjang terjadi perubahan perilaku dan peningkatan kemampuan dari sebelumnya, para anak istimewa tersebut dianggap sudah berhasil melalui proses pembelajaran. Hal ini dikuatkan oleh Titin, “menurut catatan hasil observasi bervariatif, karena anak-anak ABK di sekolah kami beragam jenis dan penanganannya juga berbeda. Yang Jelas Pendidikan bagi ABK banyak membawa manfaat bagi anak itu sendiri”
Saat ini, dengan penerapan Kurikulum Merdeka, kebingungan dalam melakukan evaluasi hasil belajar menjadi berkurang. Dalam Kurikulum Merdeka, ketuntasan belajar siswa tidak lagi diukur dari angka mutlak seperti pada Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM), melainkan lebih cenderung pada kriteria ketercapaian tujuan pembelajaran yang bersifat deskriptif. Hal ini mengurangi kebingunan para guru dalam melakukan evalusai ketercapaian pembelajaran anak-anak ABK.
Berdasarkan evaluasi para wali kelas dan guru lainnya, semua ABK yang bersekolah di SDN Sukasirna mengalami perkembangan. “Setelah gabung dengan kita, dengan teman-temannya, kebiasaan mendorong dan galaknya jauh berkurang, “ terang Venti menjelaskan perubahan positif Gevano.
“Alhamdulillah teman-temannya merangkul, memahami begitu temannya istilah punya kekurangan, tapi teman-temannya tidak menyudutkan, tidak membedakan”, terang Venti. Hal ini juga dikuatkan oleh Indri, “Anak-anak sepertinya merasa nyaman, dan anak lain pun tidak membully atau menjauhi”
Para guru mendapati beberapa kali terjadi “insiden” yang melibatkan anak-anak ABK baik sebagai pelaku maupun objek, namun masih dalam batas yang bisa dinasehati. Keberadaan anak-anak ABK tersebut berdampak pula pada anak-anak normal lainnya yang membiasakan diri untuk bergaul dan berinteraksi dengan baik dengan sesama yang memiliki keterbatasan. Bisa dikatakan bahwa keberadaan anak ABK di sekolah merupakani hidden curriculum bagi SDN Sukasirna.
Hidden curriculum merupakan bagian kurikulum yang tidak secara eksplisit diajarkan dalam kurikulum formal, namun diserap oleh siswa melalui interaksi sehari-hari dan budaya sekolah. Ini mencakup aspek seperti etika, sikap, keterampilan sosial, dan persepsi tentang identitas serta peran dalam masyarakat. Meskipun tidak tertulis, hidden curriculum berpengaruh besar terhadap perkembangan karakter dan pandangan dunia siswa, dan itu terjadi di SDN Sukasirna Kota Sukabumi.
***
Kunci keberhasilan dalam mendampingi ABK terletak pada dukungan positif semua pihak. Orangtua perlu terbuka, kooperatif, komunikatif, dan perhatian terhadap perkembangan anak-anaknya. Kepala sekolah sebagai pucuk pimpinan perlu juga mengelola sedemikain rupa sehingga para guru, lingkungan, suasana, dan aspek lainnya bisa mendukung perkembangan semua anak didik, baik yang normal maupun ABK dengan sumberdaya yang dimiliki sekolah. Pun dengan guru yang harus memiliki kesabaran serta mau meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya sehingga bisa mengelola pembelajaran yang inklusif bagi semua anak.
Sejauh ini, SDN Sukasirna telah mampu menjawab tantangan dengan keberadaan beberapa ABK dengan berbekal keikhlasan, kesabaran, dan kemampuan untuk belajar. Namun tentu saja tantangan ke depan akan selalu ada dan tidak tertutup kemungkinan dengan kesan baik yang dimiliki masyarakat terhadap SDN Sukasirna, di masa yang akan datang, orangtua dengan ABK akan terus mempercayakan anak-anaknya di SD tersebut.
Untuk mempersiapkan hal tersebut, Kepala Sekolah sudah berkonsultasi kepada Dinas Pendidikan Kota Sukabumi terkait perlunya SDN Sukasirna mendapatkan GPK. Dan langkah lain yang ditempuh oleh Kepala Sekolah adalah himbauan kepada para guru untuk meningkatkan kompetensi dengan mengikuti Pelatihan Mandiri Pendidikan Inklusif di Platform Merdeka Mengajar.
Kabupaten Bandung- Sekolah Dasar Negeri (SDN) Citalaksana, yang terletak di kawasan pegunungan Kabupaten Bandung, tengah bertransformasi dengan mengadopsi Kurikulum Merdeka. Pada tanggal 10 Agustus 2024, sekolah ini mengadakan sosialisasi kepada Komite Kelas sebagai perwakilan orang tua siswa. Acara sosialisasi yang berlangsung antusias ini bertujuan memperkenalkan lebih dekat proyek-proyek pembelajaran inovatif, terutama Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Para orang tua tampak antusias mendengarkan pemaparan mengenai Kurikulum Merdeka dan bagaimana proyek-proyek ini akan membentuk karakter serta kompetensi siswa
Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5)
Salah satu fokus utama SDN Citalaksana dalam implementasi Kurikulum Merdeka adalah Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Pada tahun pelajaran 2024/2025, sekolah ini telah memilih dua tema besar untuk proyek P5, yaitu:
Semester Ganjil: Gaya Hidup Berkelanjutan Dengan tema ini, siswa diajak untuk memahami dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan dan mengembangkan kesadaran untuk hidup berkelanjutan. Salah satu proyek yang akan dilaksanakan adalah “Pemanfaatan Sampah Organik dan Anorganik Sekitar SDN Citalaksana”.
Semester Genap: Kearifan Lokal Melalui tema ini, siswa akan mengeksplorasi kekayaan budaya dan kearifan lokal Kampung Leuweung Datar. Proyek yang akan dilaksanakan adalah “Eksplorasi Seni Budaya Kampung Leuweung Datar”, di mana siswa akan mempelajari berbagai kesenian tradisional seperti Bajidoran, kerajinan gerabah, dan tari-tarian rakyat.
Harapan ke Depan
Melalui implementasi Kurikulum Merdeka, SDN Citalaksana berharap siswa dapat tumbuh menjadi generasi yang unggul. Untuk mencapai tujuan ini, peran aktif orang tua sangatlah penting. Di rumah, orang tua dapat mendukung pembelajaran anak dengan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, memberikan motivasi, serta menanamkan nilai-nilai karakter yang sesuai dengan tujuan Kurikulum Merdeka (RYO).
Beberapa waktu yang lalu viral di media sosial berita tentang puluhan murid SMP sebuah sekolah di Pangandaran Jawa Barat tidak bisa membaca. Bagi orang awam, tanggapan setelah menonton video tersebut, mungkin akan berkomentar, “what? Anak SMP gak bisa baca? guru SD-nya ngapain aja? masa belajar selama 6 tahun di SD, muridnya gak bisa baca? Kok bisa anak SD tidak bisa membaca diluluskan dari sekolah?” Tanggapan tersebut diakui atau tidak seolah menyalahkan sekaligus menyudutkan guru SD yang dianggap tidak mampu mengajari murid membaca.
Penurunan mutu pembelajaran (learning loss) selama Covid-19 yang terjadi tahun 2020-2021 disinyalir menjadi salah satu penyebab menurunnya kemampuan murid dalam membaca. Walau demikian, menurut saya, ada beberapa hal yang bisa menjadi menyebabkan seorang murid tidak bisa atau kesulitan membaca. 1) murid tersebut adalah anak berkebutuhan khusus (ABK) yang dipaksakan belajar di SD umum, sedangkan gurunya kurang memiliki kemampuan dalam menangani ABK.
Sesuai dengan semangat pendidikan inklusif, pihak SD memang tidak bisa menolak jika ada ABK yang mendaftar menjadi peserta didik baru. Kadang hal ini menjadi dilema. Di satu sisi hak anak untuk belajar harus dipenuhi, sedangkan di sisi lain, kompetensi guru dalam menangani ABK terbatas. Akhirnya guru memperlakukan ABK seperti anak pada umumnya. Kadang orang tua pun tidak memberikan informasi bahwa anaknya ABK. Mungkin karena orang tuanya juga tidak tahu bahwa anaknya ABK atau tahu anaknya ABK tapi malu memberi tahu sekolah bahwa anaknya ABK. Bisa juga orang tua tahu anaknya ABK, tapi tidak diperiksa ke psikolog karena terbatasnya biaya.
2) murid mengalami disleksia, yaitu gejala lambat bicara, lambat belajar kata-kata baru, dan lambat membaca. 3) metode yang digunakan guru mengajarkan membaca kepada muridnya tidak sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik murid. 4) terbatasnya sumber bacaan yang sesuai dengan minat, kebutuhan, dan usia murid. 5) rendahnya dukungan orang tua dalam mendampingi anaknya belajar membaca, dan 6) dampak dari penggunaan gawai dan game online. Anak lebih tertarik atau berminat menggunakan gawai untuk berselancar di media sosial dan bermain game daripada membaca.
Dengan demikian, adalah tidak bijak saat ada kasus murid SMP tidak bisa membaca, guru SD-nya yang sekonyong-konyong disudutkan atau disalahkan. Masalah ini perlu dilihat secara komprehensif. Di lapangan, pada saat kenaikan kelas, guru SD sering dihadapkan dilema saat mengambil keputusan menaikkan kelas atau memutuskan murid tinggal kelas. Secara normatif, panduan pembelajaran asesmen yang diterbitkan oleh Kemendikbudristek memang membolehkan guru memutuskan seorang murid tidak naik kelas. Tapi hal tersebut merupakan keputusan terakhir setelah mempertimbangkan berbagai hal. Jika ada murid yang tidak naik kelas, maka harus disertai dengan intervensi agar yang bersangkutan bisa mengejar ketertinggalannya dalam belajar, khususnya dalam kemampuan membaca, menulis, atau berhitung.
Walau demikian, ada semacam “kebijakan” bahwa murid tidak boleh naik kelas dengan alasan khawatir anak kena mental, mendapatkan stigma negatif, dibully oleh teman-temannya, orang tuanya tidak mau menerima kenyataan bahwa anaknya tidak naik kelas, bersangkutan berisiko drop out (DO) dari sekolah, dan khawatir berdampak terhadap menurunnya citra sekolah di mata masyarakat. Oleh karena itu, pada akhirnya, murid yang seharusnya tidak layak naik kelas pun, keputusannya dinaikkan. Ditambah harapan “siapa tahu?” atau “mudah-mudahan”, yaitu, siapa tahu atau mudah-mudahan di kelas yang lebih tinggi, murid yang tidak bisa membaca, menulis, atau berhitung, bisa ditangani atau ditingkatkan oleh guru pada kelas berikutnya.
Walau demikian, pada kenyataannya, ada murid yang sampai dengan kelas 6 belum bisa atau belum lancar membaca, menulis, dan berhitung sehingga ini jadi buah simalakama bagi sekolah. Pemaksaan kenaikan kelas atau meluluskan anak yang kemampuannya masih di bawah kemampuan minimal. Tujuannya mungkin baik, agar murid tidak kena mental atau tidak DO, padahal akan semakin menyulitkan yang bersangkutan karena materi yang dipelajari pada jenjang yang lebih tinggi lebih sulit, sehingga mengakibatkan anak tersebut semakin sulit mengikuti proses pembelajaran.
Pada buku Solusi Kontekstual untuk Mengurangi Mengulang Kelas dan Putus Sekolah di Sekolah Dasar yang diterbitkan oleh Puslitjak Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud (2020) dinyatakan bahwa mengulang kelas diketahui memberi dampak jangka panjang yang negatif terhadap kehidupan anak. Kebijakan dan tindakan untuk tidak menaikan kelas ataupun menaikan kelas sebenarnya bagai memakan buah simalakama bagi kepala sekolah maupun guru.
Di satu sisi, tindakan untuk tidak menaikan kelas berpeluang dapat menurunkan semangat/ motivasi belajar siswa dan bahkan mengakibatkan putus sekolah. Di lain sisi, tindakan untuk menaikan kelas bagi siswa yang kemampuannya belum mencukupi untuk belajar di tingkat berikutnya, juga akan berakibat membebani guru untuk membimbing siswa di tingkat berikutnya.
Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menetapkan, setiap warga negara yang berusia 7 s.d 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (SD/sederajat dan SMP/sederajat). Ketetapan dalam UU tersebut sering dikaitkan dengan Program Wajib Belajar Sembilan Tahun yang merupakan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun sebagai salah satu upaya pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan bagi generasi penerus bangsa. Dengan demikian, maka diartikan bahwa kebijakan mengulang kelas atau tinggal kelas dianggap bertentangan dengan aturan tersebut.
Wicaksono (2018) dalam hasil penelitiannya menyimpulkan diantaranya, bahwa anak yang pernah tinggal kelas memiliki kecenderungan tidak melanjutkan pendidikannya. Alih-alih kebijakan tinggal kelas bertujuan mempersiapkan siswa supaya lebih baik dan lebih siap saat mengenyam pembelajaran di kelas selanjutnya, faktanya tidak ada data yang dapat menunjukan hal tersebut. Efek tinggal kelas justru memiliki dampak jangka panjang yang negatif terhadap peluang melanjutkan sekolah. Dalam konteks pembiayaan pendidikan, kebijakan mengulang atau tinggal kelas dinilai sebagai sebuah pemborosan anggaran.
Kondisi keluarga berpengaruh terhadap mengulang kelas dan putus sekolah. Musfiron (2007) dalam hasil penelitiannya menyampaikan bahwa kondisi ekonomi keluarga yang tidak memadai membuat anak putus sekolah. Nurhidayat (2017) mengungkapkan beberapa hal yang memengaruhi mengulang kelas dan putus sekolah adalah (i) lemahnya motivasi orangtua, (ii) rendahnya pendidikan orangtua, iii) tingkat kemiskinan, (iv) rendahnya pelayanan keadilan bagi siswa, dan (v) lingkungan sekolah dan kelas yang tidak menyenangkan.
Berkaitan dengan masalah murid yang belum bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung), beberapa solusi bisa menjadi alternatif. Antara lain; 1) lakukan tes awal (formatif) / diagnostik terhadap murid kelas 1 (bukan jadi test syarat masuk SD). Tujuannya untuk mengetahui dan memetakan kemampuan awal calistung murid yang akan menjadi dasar bagi guru untuk menentukan strategi yang harus dilakukan dalam mengajarkan calistung kepada murid.
2) orang tua murid, khususnya yang anaknya ABK harus terbuka dan menyampaikan penjelasan kepada guru terkait kondisi anaknya. Orang tua tidak perlu merasa malu atau risih dengan kondisi tersebut. Informasi dari orang tua akan sangat berharga bagi guru dalam memberikan perlakuan yang tepat terhadap anak. 3) sekolah perlu bekerja sama dengan konselor, psikologi, atau ahli pendidikan untuk mengetahui kemampuan dan perkembangan setiap anak. 4) guru-guru perlu dibekali dengan kemampuan mengelola pembelajaran inklusif (untuk mengantisipasi ada ABK di kelas yang diampunya).
5) tingkatkan kemampuan guru dalam mengimplementasikan pembelajaran berdiferensiasi yang menguatkan literasi dan numerasi murid. 6) lengkapi sekolah dengan bahan bacaan yang bermutu dan mendukung penguatan literasi dan numerasi. 7) tingkatkan peran orang tua dalam membimbing anak belajar membaca di rumah, dan 8) perketat dan batasi penggunaan gawai terhadap anak.
Mengacu kepada kasus di atas, pendidikan di SD merupakan fondasi bagi peserta didik untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung. Peran guru tentunya sangat penting dan substansial, tetapi harus didukung dengan sistem dan infrastruktur pembelajaran yang baik agar guru SD tidak menjadi pihak tersangka yang dituding gagal dan berkinerja rendah saat ada murid SMP yang tidak bisa membaca, menulis, atau berhitung.
Walau demikian, sesuai dengan semangat pembelajaran yang berpusat pada murid, budaya reflektif juga perlu dikembangkan oleh guru. Pertanyaan yang bisa diajukan oleh guru SD, misalnya, apakah keberadaan saya di kelas diterima oleh murid? Apakah cara mengajar saya sesuai dengan karakteristik murid? Apakah metode yang digunakan dalam pembelajaran dapat dipahami oleh murid? Apakah saya telah melaksanakan pembelajaran yang menarik, menantang, dan menyenangkan bagi murid? Apakah asesmen pembelajaran sudah tepat dan efektif dalam mengukur kemampuan murid? Apakah cara saya dalam menangani anak yang lambat belajar sudah tepat? dll.
Alih-alih saling menyalahkan terkait penyebab murid tidak bisa membaca, sebaiknya masalah ini dibenahi secara holistik, empirik, dan sistemik dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan melalui pendekatan kolaboratif pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat.
Pasal 1 ayat 1 Permendikbudristek Nomor 38 Tahun 2023 menyebutkan bahwa “Akreditasi adalah kegiatan penilaian untuk menentukan kelayakan satuan dan/atau program pendidikan kesetaraan berdasarkan penilaian mutu layanan pendidikan.” Kemudian pada pasal 2 disebutkan bahwa “Akreditasi diiakukan untuk menentukan kelayakan satuan dan/ atau program pendidikan.”
Akreditasi adalah bentuk penjaminan mutu yang dilakukan oleh pihak eksternal dan bersifat independen. Penjaminan mutu dilakukan untuk memastikan masyarakat mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas dari satuan pendidikan. Berdasarkan hasil akreditasi, satuan pendidikan mendapatkan umpan balik dalam bentuk saran atau rekomendasi dari asesor yang berkunjung ke satuan pendidikan.
Dulu, akreditasi dikaitkan dengan gengsi dan “kasta” sekolah. Akreditasi identik dengan pemeriksaan tumpukan-tumpukan dokumen Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang sudah disiapkan oleh sekolah jauh-jauh hari. Kini, paradigmanya diubah. Orientasi akreditasi bukan kepada pemeriksaan dokumen (evident based), tetapi kepada kinerja (performance based).
Saat visitasi ke satuan pendidikan, asesor tidak lagi mengutamakan memeriksa tumpukan dokumen, tetapi mengumpulkan data dan informasi melalui wawancara, observasi, dan studi dokumentasi, serta “memotret” kejadian yang terjadi dalam proses pembelajaran atau di lingkungan satuan pendidikan. Dengan kata lain, asesor tak ubahnya seperti seorang peneliti dalam mencari data dan informasi berdasarkan indikator-indikator pada instrumen akreditasi. Asesor pun perlu mengonfimasi, cek kros data dan informasi yang ditemukan melalui triangulasi kepada narasumber atau pihak yang relevan.
Instrumen akreditasi saat ini mengacu kepada Kepmendikbudristek Nomor 246/O/2024 tentang Instrumen Akreditasi Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah). Instrumen disusun untuk memotret kinerja satuan pendidikan (performance-based). Instrumen akreditasi mencerminkan kepada 3 prinsip, yaitu; 1) bermakna, 2) inklusif, dan 3) kontekstual.
Merujuk pada Buku Panduan Akreditasi untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA, prinsip bermakna meliputi; 1) Iklim Lingkungan Belajar, 2) Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Pengelolaan Satuan Pendidikan, 3) Kinerja Pendidik dalam Proses Pembelajaran, dan 4) Hasil Pembelajaran Lulusan dan/atau Peserta Didik.
Penentuan keempat komponen ini merujuk pada konsep universal “what is a good school”. Artinya, area kinerja yang diukur di dalam akreditasi, merupakan area kinerja yang berdampak pada kualitas layanan yang diterima oleh anak. Proses ini dirasa penting dilakukan untuk memastikan instrumen akreditasi tidak sekadar terpaku pada pemenuhan kerangka kebijakan penjaminan mutu yang berlaku, melainkan berpijak pada
kerangka kualitas lingkungan belajar yang dipercaya dapat menghadirkan layanan pendidikan yang diperlukan oleh peserta didik.
Prinsip inklusif, maksudnya adalah Instrumen akreditasi untuk ragam jenis dan jenjang disusun dengan merujuk pada satu konstruk yang sama sehingga dapat ditemukan benang merah antar instrumen, serta tidak ada jenjang, jenis, atau kondisi lingkungan belajar yang merasa tidak terwakili dalam instrumen akreditasi ini. Tiap instrumen kemudian menyesuaikan konstruk tersebut dengan konteks dan kebutuhan belajar ragam jenis jenjang.
Kontekstual artinya merujuk pada proses akreditasi yang merekognisi keragaman cara/strategi yang dilakukan penyelenggara layanan pendidikan, sesuai konteks sosio-kultural dan kebutuhan belajar peserta didik, serta sumber daya penyelenggara layanan yang berbeda-beda.
Penentuan keterpenuhan dari area kinerja tidak terkunci oleh rumusan prasyarat tertentu yang preskriptif untuk melakukan kinerja, misalnya memaksakan adanya suatu dokumen/kegiatan spesifik atau tertentu. Pembuktian bisa diperoleh dari dokumen, dokumentasi, hasil wawancara dan hasil observasi. Asesor diberikan keleluasaan untuk menggunakan “lensanya” dalam menilai apakah satuan pendidikan telah menyediakan layanan berkualitas bagi peserta didiknya sesuai dengan area kinerja yang diukur. Instrumen ini juga menyediakan ruang bagi satuan pendidikan untuk menjelaskan cara dan strateginya dalam menyelenggarakan layanan.
Dengan adanya prinsip ini, maka pada proses akreditasi bisa terdapat ragam cara untuk menyusun kurikulum yang berbeda karena konteks satuan pendidikan berbeda-beda, ada ragam cara untuk menyusun Rencana Kerja Tahunan (RKT), ada ragam cara dalam menerapkan kemitraan, dan ada ragam cara bagi satuan pendidikan dalam upayanya meningkatkan kualitas layanan.
Proses akreditasi tidak lagi fokus melihat tampilan lingkungan sekolah dan sarana dan prasarana sekolah. Sarana penting tetapi bukan menjadi faktor utama efektivitas proses pembelajaran dan peningkatan hasil belajar peserta didik. Lingkungan sekolah yang tampak indah, rapi, dan bersih apakah menjamin sekolah itu bebas dari tindakan perundungan (bullying) dan mencerminkan iklim kerja yang baik? Apakah lingkungan kelas dan peralatan laboratorium yang lengkap menjamin guru dapat menciptakan proses pembelajaran yang menarik, menantang, menyenangkan, dan bermakna?
Apakah Kepala sekolah mampu memimpin dan mengelola sekolah secara efektif, bisa menjadi pemimpin yang transformatif, bisa membangun iklim kerja yang kondusif, dan menjadi inspirasi bagi guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik? Apakah guru mampu menjadi guru yang inspiratif dan berdampak terhadap transformasi pembelajaran?
Terkait hasil belajar dan prestasi lulusan, bukan hanya kaitannya dengan prestasi akademik, juara lomba, juara olimpiade, dan jumlah lulusan yang diterima di PTN, tetapi juga nonakademik seperti karakter, internalisasi nilai-nilai Pancasila, dan menghormati keberagaman, tetapi perlu ditelusuri dan dianalisis juga apakah prestasi yang dicapai adalah sepenuhnya merupakan hasil dari intervensi atau proses pembelajaran di sekolah? atau didukung oleh faktor lain seperti bakat murid, dukungan keluarga, atau pelatihan di tempat lain?
Pertanyaan-pertanyaan ini yang harus didapatkan jawabannya oleh asesor melalui beragam cara pengumpulan data dan informasi. Asesor harus ada pada posisi “ragu” dan skeptis hingga dia benar-benar mendapatkan data dan informasi yang valid sehingga mendapatkan temuan yang bermakna dan bernilai sehingga dapat memberikan umpan balik yang tepat.
Akreditasi yang bermakna lebih memokuskan kepada substansi daripada seremoni sehingga hasilnya mencerminkan sekolah yang dicita-citakan, yaitu; 1) pembelajaran yang berpusat pada murid, 2) iklim sekolah yang aman, inklusif, dan merayakan kebinekaan, 3) kepemimpinan untuk perbaikan layanan berkelanjutan, dan 4) pendidik reflektif gemar belajar, berbagi, dan berkolaborasi,
Acara-acara seremonial dan sambutan yang kadang menghabiskan waktu perlu semakin dikurangi. Bahkan saat tidak ada acara-acara tersebut pun, tidak akan berdampak terhadap nilai akreditasi sebuah satuan pendidikan. Hal ini perlu ditunjang oleh pola pikir dan kompetensi asesor yang profesional dan berintegritas.