Sukabumi, – Revolusi pengelolaan anggaran sekolah tengah berlangsung di Kota Sukabumi. Dengan semangat untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi, seluruh sekolah di Kota Sukabumi kini telah mengadopsi Aplikasi Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (ARKAS) versi 4.2.0. Pembaruan ini menandai langkah maju yang signifikan dalam upaya mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan akuntabel di Kota Sukabumi
“Semua sekolah di Kota Sukabumi telah memperbarui ARKAS ke versi 4.2.0 untuk optimalisasi dan efisiensi penggunaan,” tutur Rahmat pihak Dinas Pendidikan Kota Sukabumi, Bidang Pendidikan Dasar mengenai ARKAS.
Pembaruan ARKAS versi 4.2.0 dilakukan secara serentak dengan menggelar sosialisasi langsung dan online melalui grup WhatsApp. Tujuannya agar seluruh pengguna dapat mengoperasikan aplikasi dengan baik dan memanfaatkan seluruh fitur yang tersedia.
“Sosialisasi yang kami lakukan melalui tatap muka dan via WhatsApp Group agar informasinya lebih dapat menyebar lebih luas,” tambah Rahmat.
An An Hasanah, Operator SDN Surya Kencana CBM, Kota Sukabumi, adalah salah satu pengguna yang merasakan manfaat dari ARKAS 4.2.0. Menurutnya, ARKAS versi terbaru sangat membantu dalam menyusun rencana anggaran yang lebih detail dan akurat.
“ARKAS terbaru memudahkan kami dalam urusan pajak, karena muncul perhitungan pajak yang otomatis menyesuaikan dengan jenis pembelanjaan,” ucap An An.
An An menambahkan, “Sebelumnya, perhitungan pajak dilakukan secara manual dan membutuhkan banyak bukti. Namun, dengan ARKAS 4.2.0, proses pelaporan keuangan menjadi lebih cepat dan akurat berkat fitur otomatisnya.”
Pembaruan ARKAS 4.2.0 bukan hanya sekadar pemutakhiran aplikasi, melainkan sebuah komitmen bersama untuk membangun pendidikan yang lebih baik. Dengan pengelolaan anggaran yang lebih efektif dan transparan, diharapkan kualitas pendidikan di Kota Sukabumi akan terus meningkat.
Perundungan menjadi masalah serius yang dihadapi di lingkungan pendidikan dan masyarakat secara umum. Data hasil Asesmen Nasional tahun 2021 yang diselenggarakan Kemendikbudristek menunjukan bahwa 24,4% peserta didik berpotensi mengalami insiden perundungan di satuan pendidikan. Sementara Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyatakan terdapat 30 kasus bullying alias perundungan di sekolah sepanjang 2023. Angka itu meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 21 kasus. Sebanyak 80% kasus perundungan pada 2023 terjadi di sekolah yang dinaungi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), dan 20% di sekolah yang dinaungi Kementerian Agama. (Katadata, 20/02/2024).
Bentuk perundungan seperti perundungan verbal, perundungan fisik, penindasan emosional, pengucilan, dan kekerasan seksual. Perundungan bukan hanya terjadi di dunia nyata, tetapi juga terjadi di dunia maya (cyber bullying). Penggunaan media sosial secara tidak bertanggung jawab ditambah kondisi netizen yang sangat kejam saat mengomentari suatu kondisi atau masalah ikut meningkatkan kasus cyber bullying. Hal ini sudah banyak memakan korban. Dampaknya, korban merasa malu, terhina, depresi, sampai bunuh diri.
Kasus perundungan ibarat fenomena gunung es. Kasus yang muncul di permukaan hanya sebatas kasus yang terdata, padahal bisa saja jumlahnya jauh lebih banyak. Banyaknya kasus perundungan perlu mendapatkan perhatian berbagai pihak terkait karena pencegahan dan penanganannya harus holistik, empirik, dan terintegrasi. Pemerintah, lembaga pendidikan seperti keluarga, sekolah, dan masyarakat harus memiliki kepedulian dan bekerja sama dalam mencegah dan menanganinya.
Begitu pun media memiliki peran sangat penting. Tayangan media bisa mempengaruhi penonton baik ke arah positif maupun negatif. Selain media TV, saat ini media sosial sudah sangat familiar. Setiap kejadian bisa langsung diliput dan diviralkan, termasuk peristiwa tindakan kekerasan dan perundungan. Satu video peristiwa tertentu dalam hitungan detik bisa beredar dari satu grup WA ke grup WA lainnya.
Sebagai bentuk komitmen dan keseriusan mencegah dan menangani tindak perundungan, Mendikbudristek Nadiem Makarim menerbitkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan Permendikbud tersebut mengamanatkan dibentuknya Satgas Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di level daerah provinsi, kabupaten, kota, dan satuan pendidikan.
Lahirnya regulasi anti bullying menjadi payung hukum pada tataran implementasinya. Secara teknis, pemda dan satuan pendidikan diharapkan mengampanyekan antiperundungan melalui berbagai upaya. Dalam hal ini, Saya memiliki gagasan konsep “KANYAAH”. Kalau dari konteks kata, KANYAAH asal katanya NYAAH adalah bahasa Sunda yang artinya cinta, kasih sayang. Tetapi dalam konteks ini, KANYAAH adalah sebuah singkatan atau akronim. KANYAAH terdiri dari huruf atau gabungan huruf K, A, NY, A, A, dan H. K singkatan dari Komunikasi, A singkatan dari Atensi, NY singkatan dari NYakseni/menyaksikan/ mengawasi, A singkatan dari Aksi, A singkatan dari Antisipasi, dan H singkatan dari Humanis.
K (Kolaborasi) maksudnya adalah pencegahan perundungan harus dilakukan secara berkolaborasi antarpemangku kepentingan, mulai dari keluarga, sekolah, masyarakat, dinas/ lembaga yang menangani kekerasan, organisasi profesi, aparat penegak hukum, LSM, media, dan kelompok lainnya. Tujuannya sebagai bentuk kerjasama dan sinergitas. Melihat masalah ini sebagai masalah bersama dan perlu ditangani bersama-sama. Para pemangku kepentingan tersebut harus memiliki visi dan komitmen yang sama, tidak bergerak sendiri-sendiri. Kadang kala berbagai pihak tersebut merasa sudah bekerja tetapi sayangnya tidak ada harmoni. Akibatnya berbagai program yang dilakukan tersebut kurang efektif dan kurang berdampak.
A (Atensi) maksudnya semua pihak yang berkepentingan harus memiliki atensi atau perhatian yang sama. Lingkungan keluarga harus menjadi lembaga pertama yang mengampanyekan antiperundungan. Tidak ada ada perundungan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak, antarsesama anak, atau mungkin saja anggota keluarga lainnya. Lingkungan keluarga harus dibentuk menjadi lingkungan yang kondisif untuk menumbuhkembangkan nilai saling menghargai, saling menghormati, saling menyayangi, dan toleransi antaranggota keluarga sebagai miniatur sebuah masyarakat.
Begitu pun dengan lingkungan sekolah dan masyarakat. Kedua lembaga tersebut diharapkan menjadi cermin lingkungan yang bebas dari perundungan. Secara formal, di sekolah ada Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (TPPKSP) yang bertugas untuk melakukan sosialisasi dan kampanye antiperundungan serta penanganan jika terjadi kasus perundungan.
Di lingkungan masyarakat, lembaga kemasyarakatan seperti RT, RW, Karang Taruna, PKK, desa/kelurahan, majelis ulama, dan lain-lain diharapkan bisa menjadi bagian dari kampanye antiperundungan. Program anti perundungan bisa menjadi bagian dari program Pembangunan atau program kerja lembaga-lembaga tersebut. Masyarakat perlu diedukasi terkait bahaya perundungan, jenis-jenis perundungan, dampak perundungan, dan cara penanganan kasus perundungan.
NY (Nyakseni/Menyaksikan/Mengawasi) maksudnya adalah pelaksanaan program antiperundungan perlu dilihat/diamati oleh berbagai pihak terkait. Monitoring dan evaluasi juga perlu dilakukan untuk melihat efektivitas, hasil, dan dampaknya. Hal yang sudah baik dipertahankan dan ditingkatkan, sedangkan hal yang belum baik, maka harus diperbaiki. Nyakseni tidak selalu diartikan sebuah kegiatan formal yang menggunakan beragam instrumen. Kepedulian orang tua, tetangga, dan masyarakat terhadap pencegahan kasus perundungan juga merupakan bentuk aksi konkrit nyakseni. Selain itu, respon, pelaporan, dan penanganan yang cepat atas kasus perundungan bisa juga sebagai bentuk konkrit nyakseni.
A (Aksi) maksudnya adalah kampanye antiperundungan dilakukan melalui berbagai aksi, mulai hal atau konten yang sederhana sampai kepada hal yang sifatnya program besar, terstruktur, dan masif. Aksi-aksi tersebut tidak perlu dikaitkan atau identik dengan biaya atau anggaran. Sikap sopan, santun, saling menghargai, saling menghormati, mau menerima perbedaan, dan toleransi adalah aksi nyata antiperundungan. Sederhana tapi bermakna. Tidak perlu biaya.
A (Antisipasi) maksudnya adalah tindakan perundungan harus diantisipasi oleh semua pihak terkait. Orang tua saat melihat gelagat yang tidak biasa dari anaknya seperti mendadak murung, gelisah, tidak mau sekolah, tidak mau bergabung lagi dengan teman-temannya, atau saat ada tanda-tanda luka pada badannya perlu segera dicari penyebabnya. Siapapun, termasuk anak bisa menjadi bagian dari pelaku atau korban perundungan atau tindak kekerasan.
Begitu pun di satuan pendidikan. TPPKSP perlu menyiapkan berbagai upaya, program, dan strategi untuk mengantisipasi dan mengampanyekan antiperundungan. Di level pemerintah daerah pun sama. Perlu ada antisipasi terkait bahaya perundungan mengingat kasus perundungan bisa terjadi kapan saja, di mana saja, dan melibatkan siapa saja. Pemblokiran terhadap konten dan game online yang berbau kekerasan perlu dilakukan oleh pemerintah karena pada banyak kasus, hal tersebut banyak dicontoh pelaku tindak kekerasan dan perundungan.
Media pun memiliki peran penting dalam pencegahan perundungan. Diantaranya adalah dengan membatasi menampilkan tayangan-tayangan yang bertema kekerasan. Memang sudah ada peringatan agar penonton menonton sesuai dengan umurnya dan perlu bimbingan orang tua, tetapi sebelum hal itu dilakukan, media pun perlu mengantisipasinya dengan memberikan tayangan yang selain menghibur juga mendidik, juga menyensor bagian-bagian yang bertendensi mengandung kekerasan.
H (Humanis) maksudnya adalah program atau kampanye antiperundungan dalam menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan yang tidak boleh mendapatkan kekerasan, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi. Hal yang harus ditanamkan kepada setiap orang adalah bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang unik, memiliki latar belakang, ciri fisik, dan karakter yang berbeda. Hal ini yang harus diterima dan dihormati oleh setiap orang. Hidup harmoni dan kebinekaan dalam keberagaman adalah hal yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa Indonesia yang majemuk.
Kasus perundungan biasa terjadi karena adanya relasi kuasa kuat-lemah, berkuasa-tidak berkuasa, kaya-miskin, mayoritas-minoritas. Pihak korban menderita luka lahir dan batin, ketakutan, trauma, bahkan ada yang sampai cacat dan meninggal. Orang yang pendiam dan introvert cenderung menjadi korban perundungan.
Perundungan dan kekerasan adalah salah bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang harus dilawan. Sekecil apapun, perundungan tidak dapat ditolerir. Nilai kasih sayang, welas asih harus kita tanamkan kepada anak-anak kita sejak dini. Rumah tangga yang adem ayem, lingkungan keluarga yang damai dan harmonis, demokratis, dan komunikatif, bisa menjauhkan dari tindakan perundungan atau kekerasan. Keharmonisan dan kedamaian dalam keluarga adalah modal yang sangat berharga untuk mengembangkan hal tersebut di lingkungan satuan pendidikan dan masyarakat.
Konsep KANYAAH sebagai bentuk kampanye antiperundungan pada praktiknya bisa beragam. Walau demikian, pada intinya, KANYAAH yang kata dasarnya NYAAH, yang berarti rasa cinta adalah untuk menyebarkan nilai kasih sayang terhadap sesama manusia tanpa melihat perbedaan latar belakang ras, etnis, bahasa, dan agama. Cinta adalah nilai universal. Ketika seorang manusia sudah bisa hidup damai penuh rasa cinta, maka dia sudah menjadi sebenar-benarnya manusia. Wallaahu a’lam.
Kekerasan dan perundungan di satuan pendidikan dan kampus menjadi salah satu masalah yang harus ditangani secara serius oleh para pemangku kepentingan, khususnya di bidang pendidikan. Sudah cukup banyak korban luka, trauma, bahkan meninggal akibat dari kekerasan di lingkungan pendidikan dan kampus. Kasus terbaru, seorang taruna di sebuah sekolah kedinasan meninggal karena disiksa oleh seniornya. Motifnya senioritas dan arogansi. (Kompas, 04/05/2024).
Penyebab kekerasan yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa tidak bisa hanya dilihat dari yang muncul permukaannya saja, tetapi harus dilihat juga dari akarnya. Jika ada kekerasan, kadang solusi yang dilakukan adalah solusi jangka pendek, insidental, dan sporadis. Misalnya saat ada kasus kekerasan, lalu tangani, proses, selesai. Belum dibuat solusi yang lebih bersifat antisipatif untuk kepentingan jangka panjang. Oleh karena itu, suatu saat, kasus kekerasan bisa terjadi lagi dan terjadi lagi karena memang fondasi sikap antikekerasan belum benar-benar ditumbuhkan di kalangan pelajar dan mahasiswa. Tradisi dan budaya “warisan” kekerasan dari senior serta gengsi kelompok atau komunitas menjadi pemicu kasus perundungan dan kekerasan terus terjadi.
Selain itu, kadang upaya pencegahan dan penanganan perundungan dan kekerasan di satuan pendidikan belum melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Sekolah dinilai sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Atau mungkin saja para pemangku kepentingan tersebut sudah merasa melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan, tetapi melakukannya dengan cara masing-masing. Belum terintegrasi, terkoordinasi, sinergis, dan kolaborasi dengan pemangku kepentingan lainnya. Lingkungan keluarga, dinas pendidikan, dinas kominfo, dinas sosial, lembaga perlindungan anak, satuan pendidikan, masyarakat, aparat penegak hukum, media, lembaga swadaya masyarakat, dan pihak lainnya harus sama-sama bergerak secara sinergis dan kolaboratif.
Setiap pihak terkait diharapkan melaksanakan perannya masing-masing dalam mencegah terjadinya tindakan kekerasan di kalangan pelajar dan mahasiswa. Misalnya, Kemendikbudristek melakukan sosialisasi terkait pencegahan perundungan dan kekerasan di satuan pendidikan, maka lembaga lain seperti Kemenkominfo diharapkan menyaring atau memblokir game-game online yang bertema kekerasan, akun-akun yang menyebar konten yang bertema kekerasan, dan men-take down konten-konten yang bertema kekerasan di media sosial.
Ini bukan pekerjaan mudah, karena ibaratnya, hilang satu tumbuh seribu. Satu akun diblokir, lalu muncul akun-akun baru atau akun lama yang berubah nama. Walau demikian, negara tidak boleh kalah dengan hal-hal negatif yang merugikan masyarakat, khususnya generasi muda. Selain itu, perlu juga melakukan berbagai kampanye atau sosialisasi anti kekerasan dan perundungan melalui beragam bentuk dan beragam kanal media.
Karakter generasi muda sudah banyak terdegradasi oleh dampak buruk game online. Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwa game online dan konten yang bertema kekerasan berdampak negatif terhadap kepribadian anak dan remaja. Karakter mereka menjadi agresif, emosional, mudah marah, beringas, berpikir “sumbu pendek” dalam mengambil keputusan yang akhirnya merugikan mereka sendiri seperti terjerat masalah hukum. Mereka pun menjadi individual, kurang memiliki sikap empatik, dan kurang peka terhadap kondisi lingkungan sekitar. Fokus pikiran dan perhatiannya banyak dihabiskan dengan bermain game online. Video-video kekerasan dan perundungan yang viral dan tersebar di media sosial, justru menjadi “inspirasi” dan contoh bagi sebagian anak dan remaja untuk melakukan hal yang sama tanpa berpikir dampak buruk dari tindakan tersebut, seperti berurusan dengan hukum dan trauma terhadap korban.
Lahirnya Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) bisa dilihat sebuah inisiatif gerakan bersama mencegah perundungan dan kekerasan di satuan pendidikan. Permendikbudristek tersebut mengamanatkan agar pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota serta satuan pendidikan membentuk satgas PPKSP. Tentunya diharapkan bukan hanya berhenti di pembentukan satgas, karena satgas hanya sebuah instrumen formil. Kita berharap satgas ini bisa efektif dalam melakukan peran dan fungsinya sehingga kasus-kasus perundungan dan kekerasan bisa semakin dicegah dan diantisipasi.
Upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan tentunya diharapkan tidak hanya berhenti pada pembentukan satgas, tetapi perlu dilanjutkan kepada hal-hal yang lebih substantif dan lebih konkrit, seperti sosialisasi pemahaman terkait peran dan fungsi satgas, beragam upaya atau langkah pencegahan kekerasan dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dan langkah-langkah konkrit lainnya.
Kasus perundungan dan kekerasan yang muncul atau viral di media sosial bisa jadi hanya sebuah puncak gunung es. Kasus yang sebenarnya terjadi jauh lebih banyak dari yang muncul atau viral di media. Inilah yang harus benar-benar ditangani dengan serius. Aksi tawuran pelajar/mahasiswa, aksi perundungan baik guru kepada murid, antarsesama murid, murid terhadap guru, atau orang tua terhadap guru sudah cukup banyak terjadi. Cukup memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Jika tidak ditangani dengan serius, maka akan menjadi bom waktu untuk semakin runtuhnya dan lunturnya karakter. Warga sekolah (guru, tenaga kependidikan, peserta diidk, dan orang tua) bisa jadi pelaku atau korban perundungan dan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.
Peran pendidikan keluarga sangat penting dalam upaya pencegahan perundungan dan kekerasan. Sikap antiperundungan dan kekerasan ditumbuhkan dan dikampanyekan melalui keluarga yang harmonis, saling menghormati, dan saling menghargai. Sikap sopan, santun, ramah, menghormati perbedaan dikembangkan dalam pergaulan dan komunikasi di lingkungan keluarga. Begitu pun di lingkungan satuan pendidikan, kampus, lingkungan kerja, dan masyarakat. Hal yang sama harus dilakukan.
Satuan pendidikan mengampanyekan anti perundungan melalui amanat pembina saat upacara bendera, integrasi pada mata pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, proyek penguatan profil pelajar Pancasila, pameran, dan sebagainya. Selain mengoptimalkan peran guru dan tenaga kependidikan, satuan pendidikan juga dapat mengundang pihak lain seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, orang tua peserta didik, aparat pemerintah, TNI/Polri, LSM, dan pihak lainnya untuk menyosialisasikan pencegahan perundungan dan kekerasan.
Dinas Pendidikan, Polri, media, dan lembaga swadaya masyarakat diharapkan menyosialisasikan dan mengampanyekan pencegahan perundungan dan kekeresan. Perusahaan media diharapkan memiliki tanggung jawab moral dalam menyajikan tayangan-tayangannya. Bukan hanya berpikir keuntungan semata, tetapi juga berpikir dalam pembangunan karakter bangsa.
Saat terjadi kasus perundungan atau kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, penanganan dan penyelesaian masalahnya sebaiknya diutamakan melalui pendekatan musyawarah kekeluargaan atau non-hukum. Hal ini sejalan dengan misi pendidikan sebagai proses untuk memanusiakan manusia bukan untuk menghukum manusia.
Manusia terbaik bukanlah manusia yang hanya cerdas, karena cerdas saja belum cukup untuk memperoleh predikat terbaik, kecuali kecerdasan dan apa yang dimilikinya mampu memberikan manfaat bagi sesamanya kebermanfaatan yang didalamnya ada iman dan amal shaleh, kejujuran, keadilan dan karakter serta adab yang baik pendidikan di satuan pendidikan adalah sebagai sarana untuk melakukan proses. Tugas utama guru bukan sekedar mengajar dalam menyampaikan ilmu dan teori kepada peserta didik, tetapi membantu kesulitan mereka dalam melakukan proses pematangan pendewasaan peserta didiknya sesuai bakat, minat, dan kemampuannya.
Salah satu tantangan serius yang dihadapi dunia pendidikan saat ini adalah maraknya kasus perundungan, sehingga perlu adanya antisipasi di sekolah-sekolah yang harus dilakukan oleh seluruh pihak yang ada di satuan pendidikan untuk menekan dan meminimalisir terjadinya kasus perundungan atau ”bullying”.
Bullying adalah perilaku yang disengaja dan agresif yang terjadi berulang terhadap korban. Ada pula yang mendefinisikan sebagai perilaku yang ditujukan untuk menyakiti seseorang, baik secara fisik maupun mental. Penyebab bullying berdasarkan sebuah riset pelaku perundungan biasanya memiliki masalah keluarga, stress, atau trauma ada pula yang pernah jadi korban, mereka yang pernah diintimidasi lebih berpeluang menjadi pelaku bullying ketimbang orang yang tidak pernah diintimidasi.
Perundungan atau ”bullying” masih kerap terjadi di sekolah-sekolah. Upaya yang dilakukan adalah perlu dibangun lingkungan sekolah yang aman dengan tujuan agar mendorong sekolah bebas perundungan, karena idealnya kondisi pendidikan di Indonesia seyogyanya harus sesuai dengan harapan yaitu anak merupakan aset masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.
Seperti yang kita ketahui, banyak dampak bullying terhadap korban yang menerimanya. Diantaranya, rasa percaya diri menurun, kesedihan dan kemurungan, menjadi orang yang tertutup, prestasi dan minat belajar menurun, tindakan melukai diri sendiri atau bahkan orang lain, ada keinginan pindah sekolah, dan bila terus berlanjut akan mengakibatkan depresi.
Atas dasar hal tersebut, satuan pendidikan tentunya di sekolah kami pun di SDN 2 Ciburial Kecamatan Leles Kabupaten Garut harus lebih meminimalisir dan mengantisipasi supaya tidak terjadi adanya perundungan atau bullying di sekolah dan jikalau ada/terjadi harus lebih mendalam menggali apa penyebab, dampak, dan mencari solusi agar pelaku dan korban perundungan terlindungi dan tidak terjadi lagi. Dalam hal ini sangat diperlukan peran sekolah. Upaya untuk memperbaikinya dengan memberikan hak dan perlindungan kepada siswa agar memperoleh rasa aman dari kekerasan, diskriminasi dan perlakuan salah lainnya agar siswa dapat tumbuh dan berkembang sesuai harkat dan martabat kemanusiaan yang terlindungi.
Upaya yang dilakukan di sekolah kami yaitu SDN 2 Ciburial untuk mengantisipasi dan meminimalisir adanya perundungan atau “bullying” di sekolah kami diantaranya:
Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap aktivitas bullying yaitu dengan secara terjadwal memberikan penyuluhan terkait pengertian bullying, jenis dan dampak dari tindakan tersebut tidak hanya kepada seluruh siswa tetapi terhadap orang tua agar dapat terjalin komunikasi yang lebih mendalam antara pihak orang tua, siswa dan sekolah melakukan diskusi interaktif untuk merumuskan bersama peraturan-peraturan disekolah/kelas terkait bullying. Selanjutnya sekolah memfasilitasi peraturan yang dirumuskan bersama tim untuk dicatat kemudian disimpulkan untuk dibuat peraturan yang akan dilaksanakan atas persetujuan dan komitmen bersama.
Tidak hanya guru dan orang tua yang berperan penting dalam mewujudkan hal tersebut. Masyarakat juga sebagai kontrol eksternal perlu memberikan kontribusi dalam berbagai kegiatan yang di selenggarakan oleh pihak sekolah. Salah satunya adalah keterlibatan masyarakat untuk melaporkan apabila terjadi tindakan kekerasan atau bullying yang terjadi di luar sekolah untuk ditindaklanjuti nantinya oleh pihak sekolah.
Masyarakat yang peduli akan mempersempit ruang gerak perilaku bullying sehingga kasus-kasus yang mungkin terjadi bisa ditekan agar tidak kembali terulang. Integrasi dan kolaborasi antara pihak sekolah, orang tua, dan masyarakat dalam mewujudkan Sekolah Anti Bullying menjadi kunci berhasil atau tidaknya program tersebut yang diperlukan untuk mewujudkan kondisi aman, bersih, sehat, peduli, dan memenuhi hak dan perlindungan anak dari berbagai kekerasan dan bullying baik secara verbal maupun nonverbal. Faktor utama yang dapat mendukung diantaranya peran sekolah, kepedulian orang tua, dan kontrol eksternal dari masyarakat. Karena bullying dapat terjadi pada semua orang dan dapat dihentikan oleh semua orang.
Menciptakan suasana yang hangat, hubungan yang saling mendukung, iklim positif dan pelibatan semua siswa di sekolah sebagai kepala sekolah selain manajemen sekolah mengambil peran memfasilitasi peserta didik dengan motto “Sentuhlah dengan hati” melakukan kegiatan sederhana bercengkrama dengan siswa dimulai dengan menanyakan hal-hal disukai seperti pelajaran apa yang mereka sukai, kegiatan sehari-hari adakah perilaku/perbuatan teman atau kakak kelas yang kurang disukai, dan ada kegiatan di jam isitrahat siswa bersama-sama bergantian ke ruang kepala sekolah untuk menceritakan, membacakan, menampilkan atau memperlihatkan hal-hal baru yang mereka sudah capai, mereka amat senang besar kecil yang mereka capai diberikan perhatian penghargaan dan reward dan atas prestasi yang dicapai tidak selalu dengan materi untuk menumbuhkan rasa kepercayaan diri siswa-siswi di sekolah agar mereka merasa nyaman dan lebih senang di sekolah.
Di dalam kelas dan sekolah guru dapat mencegah dan meminimalisir dengan cara melibatkan siswa dalam bermain peran (role play) mengenai stuasi bullying dan cara mengatasinya. Memperhatikan anak-anak yang lebih rentan terhadap bullying termasuk anak yang baru atau pindahan, anak-anak yang secara fisik lebih lemah, anak-anak dengan disabilitas dan jika ada anak-anak yang mengeluh karena di-bully oleh temannya agar mereka lebih aktif membantu dan mengingatkan siswa sisiwa lainnya agar dapat membantu, menunjukkan rasa empati dan kasih sayang dengan membagikan perasaan anak yang menjadi korban bullying dan membantu menggali informasi terhadap pelaku bullying untuk memahami apa alasan dibalik perilaku bullying mereka (apakah mereka mempunyai masalah di rumah, kurangnya perhatian, pernah punya pengalaman jadi korban bullying, atau alasan yang lainnya).
Adanya peningkatan pelibatan kapasitas kelompok teman sebaya di sekolah dalam mencegah bulying dilingkungan sekolah diberikan pengetahuan lebih kepada kelompok teman sebaya akan bentuk, jenis dan dampak yang ditimbulkan dari bullying sehingga memiliki kesadaran untuk membantu tidak melakukan dan mencegah tindakan bullying terjadi disekolah. Hal tersebut untuk meningkatkan kontrol sosial yang ada dilingkungan sekolah agar teman sebaya dapat membantu apabila ada teman yang terindikasi baik sebagai pelaku ataupun korban. Karena adakalanya dengan teman sebayanya anak-anak lebih terbuka menceritakan masalahnya.
Dampak positifnya, jika ada perundungan atau ‘bullying’ di sekolah dapat cepat diatasi dan sekolah dapat mengambil tindakan untuk mengatasi bullying tersebut dan memberi bantuan dan perlindungan kepada siswa. Guru lebih cepat memberikan pendekatan kepada siswa baik yang menjadi pelaku perundungan maupun korban perundungan.
Kefektivan dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan di sekolah sejauh ini dapat meminimalisir adanya perundungan atau ”bullying” terjadi. Peserta didik mengikuti layanan dan peserta didik merasa puas dengan layanan yang diberikan. Hal ini dapat terlihat dari hasil rapor pendidikan sekolah kami. Seperti contohnya peserta didik semakin memahami mana candaan dan mana yang berindikasi bullying dan peserta didik berniat untuk melakukan perubahan dalam dirinya untuk lebih bisa menjaga ucapan dan
lebih baik menegur dari pada mem-bully.
Semua upaya yang dilakukan sekolah tersebut dilakukan dengan cara mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi. Guru yang baik, bukan sekedar pintar dan punya gelar, tetapi mereka yang dapat memintarkan dan membentuk martabat siswa untuk memiliki perilaku dan karakter yang lebih baik. Dengan demikian, guru yang baik tidak sekadar dilihat dari kemampuannya dalam meningkatkan jumlah lulusan, tetapi terletak pada kemampuan dalam mempersiapkan masa depan peserta didik yang lebih maju, bermutu, berkarakter baik, dan bermartabat. Guru tidak boleh takut bila ada siswanya tidak lulus, tapi takutlah bila melihat ada siswanya mem-bully temannya, tidak jujur, tidak disiplin, tidak punya kepercayaan diri, dan tidak punya semangat untuk maju. Guru boleh salah dalam melaksanakan proses pembelajaran, tapi tidak boleh kehilangan teladan.
Penulis: Windi Wulan Sari (Kepala SDN 02 Ciburial)
Sekolah negeri telah lama menjadi tempat berkumpulnya anak-anak dari berbagai latar belakang. Salah satu tantangan yang sering muncul adalah adanya aksi bullying, terutama terhadap anak-anak berkebutuhan khusus. Anak-anak ini sering kali menjadi sasaran karena perbedaan fisik atau mental mereka. Menyadari masalah ini, sebuah sekolah negeri memutuskan untuk mengambil langkah nyata dalam meniadakan bullying melalui program pelayanan kepada anak-anak berkebutuhan khusus.
Seperti halnya pengalaman yang terjadi di sekolah kami SDN Karya Mulya 2. Bullying/perundungan terjadi, saat ada seorang peserta didik laki-laki pindahan yang mengalami penolakan dari beberapa sekolah lain karena teridentifikasi sebagai peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK). Perilakunya yang mengganggu kondusivitas kelas karena kondisi kePDBKannya menimbulkan kemarahan dan penolakan dari teman-teman sekelas, orangtua, dan wali kelas. Sehingga teman-teman sekelasnya terpicu melakukan kekerasan verbal dan nonverbal kepada peserta didik tersebut. Begitupun sebaliknya.
Suasana kelas pun menjadi kurang kondusif. Kurang nyaman proses belajarnya. Sikap permusuhan dengan mengepalkan tangan kerap ditunjukkan teman-temannya kepada peserta didik pindahan. Fakta tersebut menjadi awal gambaran nyata belum diterimanya perbedaan dan keberagamaan latar belakang keadaan setiap peserta didik. Kesadaran lebih untuk menangani bullying secara serius melalui aksi pelayanan inklusi pun kami pilih sebagai hal urgen yang menjadi akar dari ragam perilaku bullying.
Tantangan
Teridentifikasinya lebih dari 10 % dari jumlah peserta didik keseluruhan sebagai PDBK, menimbulkan kesulitan lain baik dalam interaksi pergaulan maupun layanan belajar. Pada mulanya penerimaan PDBK lebih dipicu karena kondisi sekolah yang masih kekurangan siswa dari rombel yang tersedia. Semula belum dipikirkan lebih lanjut bagaimana pengelolaan semestinya PDBK dengan diagnosa yang cukup beragam. Salah satunya kesulitan belajar karena IQ di bawah 70. Sehingga dalam prosesnya menimbulkan efek perundungan/bullying baik dari teman-teman sekelas (kurang dianggap keberadaannya), dari pendidik (dicap beban kelas & faktor gagal keprofesionalan pendidik) dan anggapan orang tua peserta didik lainnya (sekolah dicap sebagai tempat siswa yang tidak diterima di sekolah lain). Gambaran tersebut adalah salah satu stereotif yang menjadi deskripsi sekolah sewaktu pertama kali bertugas di sekolah.
Tantangan lainnya yang harus dihadapi sekolah dalam mengimplementasikan program layanan inklusi pada peserta didik sebagai bagian menghilangkan praktik bullying ini; 1. Belum meratanya kesadaran dan pemahaman. Banyak siswa dan bahkan beberapa guru kurang memahami kebutuhan khusus/berbeda dan kondisi yang dihadapi oleh anak-anak berkebutuhan khusus. 2. Stigma dan prasangka negatif yang melekat pada anak-anak berkebutuhan khusus yang memperburuk situasi bullying. 3. Keterbatasan sumber daya. Sekolah sering kali menghadapi keterbatasan dalam hal sumber daya, baik dari segi tenaga pendidik yang terlatih maupun fasilitas pendukung. 4. Integrasi Sosial, yakni mengintegrasikan anak-anak berkebutuhan khusus dengan siswa lain tanpa membuat mereka merasa terisolasi adalah tantangan tersendiri.
Fakta tersebut semakin meyakini manajer sekolah untuk mendalami bagaimana pelayanan inklusi, sebagai bentuk implementasi diferensiasi proses pembelajaran sekaligus menghapuskan perundungan di sekolah.
Aksi
Untuk mengatasi tantangan tersebut, sekolah mengambil beberapa langkah nyata berupa menciptakan lingkungan belajar positif diantaranya; Pelatihan untuk kepala sekolah, pendidik, dan tenaga kependidikan. Sekolah mengadakan pelatihan khusus untuk guru dan staf mengenai layanan inklusif pada pembelajaran, cara mendeteksi, mencegah, dan menangani bullying. Pelatihan ini juga mencakup bagaimana memberikan dukungan kepada anak-anak berkebutuhan khusus.
Pelatihan dilakukan secara mandiri dan beragam topik bahasan, melalui berbagai sumber literatur seperti dari Platform Merdeka Mengajar (PMM), Studi tiru secara luring kepada sekolah negeri, swasta maupun nonformal yang sudah menerapkan pelayanan inklusif. Program Edukasi dan Sosialisasi/parenting. Diadakan program edukasi dan sosialisasi untuk semua siswa tentang pentingnya inklusi dan penghargaan terhadap perbedaan.
Siswa diajarkan tentang berbagai jenis kebutuhan khusus dan bagaimana mereka bisa menjadi teman yang baik untuk teman-temannya yang memiliki kondisi khusus/kesulitan tertentu. Seperti praktik circle time dari gerakan sekolah menyenangkan yang diterapkan untuk menumbuhkan empati sesama peserta didik. Edukasi kepada orangtua peserta didik agar secara sadar dan ikhlas menerima keadaan istimewa putra putrinya.
Kegiatan Bersama. Sekolah menyelenggarakan kegiatan yang melibatkan semua peserta didik, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus, dalam berbagai program sekolah, proyek pembelajaran dan permainan yang mempromosikan kerja sama dan pengertian. Kegiatan religi pun dikuatkan dengan muatan anti kekerasan terhadap sesama. Layanan Konseling sederhana. Sekolah menyediakan layanan konseling bagi peserta didik yang menjadi korban bullying serta bagi pelaku bullying untuk membantu mereka memahami dampak perbuatannya dan memperbaiki perilaku mereka.
Peningkatan Fasilitas. Sekolah meningkatkan fasilitas untuk mendukung kebutuhan khusus, seperti ruang terapi, alat bantu belajar, dan aksesibilitas fisik. Kerjasama & kolaborasi. Sekolah menjalin kerjasama dengan puskesmas, rumah sakit (untuk pemeriksaan/deteksi awal), psikolog, terhubung di grup praktisi inklusi dari berbagai instansi. Selain itu sekolah berkolaborasi dengan orangtua peserta didik agar memberikan dukungan melalui pengadaan guru pendamping khusus.
Perubahan
Setelah program ini berjalan selama beberapa waktu, terjadi perubahan signifikan di sekolah, diantaranya; Penurunan Kasus Bullying. Laporan tentang kasus bullying menurun drastis. Peserta didik lebih menguat kesadaran dirinya dan menghargai perbedaan di antara mereka. Peningkatan Empati dan Pengertian. Ada peningkatan dalam empati dan pengertian di antara peserta didik. Anak-anak lebih terbuka dan mendukung teman-teman mereka yang berkebutuhan khusus. Lingkungan Sekolah yang Lebih Inklusif. Sekolah menjadi lingkungan yang lebih inklusif dan ramah bagi semua siswa, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Kinerja Akademik yang Lebih Baik. Anak-anak berkebutuhan khusus menunjukkan peningkatan dalam kinerja akademik mereka karena mendapatkan dukungan yang memadai dan merasa lebih diterima. Hubungan yang Lebih Baik Antarsiswa. Kegiatan bersama dan program sosialisasi membantu membangun hubungan yang lebih baik dan solid antar siswa, mengurangi segregasi sosial.
Kesimpulan
Program pelayanan kepada anak-anak berkebutuhan khusus di SDN Karya Mulya 2 telah berhasil meniadakan/meminimalisir aksi bullying dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif. Dengan pelatihan, edukasi, dan dukungan yang tepat, sekolah dapat mengubah sikap dan perilaku siswa sehingga menghargai perbedaan dan saling mendukung satu sama lain. Ini adalah langkah penting menuju pendidikan yang adil dan merata bagi semua anak.
Sri menjelaskan, upaya transformasi pendidikan tidak akan berhasil manakala Kemendikbudristek berjalan sendirian. Terkait hal itu, pihaknya mengajak para pemangku kepentingan di daerah bersama-sama bergerak sesuai kewenangan yang diamanatkan undang-undang. Transformasi pendidikan, kata Sri, hanya bisa dilakukan manakala para pemangku kepentingan berkolaborasi dan berbagi peran. Kepala sekolah Sri meminta secara khusus kepada pimpinan daerah agar kepala sekolah di sekolah penggerak tidak diganti di tengah jalan. Jika kemudian terpaksa dilakukan pergantian, maka penggantinya harus berasal dari guru penggerak (GP). Pergantian kepala sekolah oleh guru penggerak dilakukan untuk menjamin kesinambungan PSP di satuan pendidikan bersangkutan. “Dari 1.847 tadi, diharapkan kepala sekolah tidak diganti di tengah jalan, tetapi promosi boleh. Diganti boleh, tetapi penggantinya dari GP,” kata dia. Sri mencatat, ada 52 kepala sekolah PSP di Jabar yang tidak diganti oleh GP. Akibatnya, pihaknya kesulitan dalam melakukan rekognisi. “Kita sedang berjuang melalui Permendikbud agar GP bisa diprioritaskan jadi kepala sekolah atau pengawas,” ujar Sri.
Seleksi Sementara, penanggung jawab kegiatan sekaligus Ketua Tim Kerja Inovasi dan Transformasi BBPMP Dini Irawati mengatakan, sekolah penggerak harus menjadi agen perubahan. Sekolah penggerak, kata dia, tidak dipilih dari sekolah-sekolah yang sebelumnya sudah menyandang predikat terbaik, melainkan diseleksi berdasarkan visi kepala sekolah dalam memajukan satuan pendidikan.
Di sisi lain, pemerintah daerah juga harus peduli dengan masalah yang ada di sekolah. “Bagaimana pendidikan dan sekolah bertransformasi bisa dilihat dari rapor pendidikan. Mana yang kurang, mana yang harus diperbaiki,” katanya. Labelling Dia berharap seluruh sekolah bisa bertransformasi menjadi sekolah penggerak, meski tanpa harus di SK-kan. Hal ini supaya tidak ada lagi dikotomi/labelling antara sekolah unggulan dengan nonunggulan, sekolah penggerak dan bukan penggerak. Di sisi lain, Dini juga menyadari ada keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah daerah sehingga tidak semua sekolah bisa diintervensi. Oleh karena itu, satu sekolah penggerak harus menularian praktik baik ke minimal lima sekolah yang ada di sekitarnya. Meski, dia juga meyakini, perubahan atau transformasi tidak bisa terwujud dalam waktu singkat. Pada pertemuan ini, BBPMP Jabar mengajak sekolah penggerak untuk melakukan refleksi dan berbagi praktik baik, review capaian progres transformasi satuan pendidikan, dan penyusunan rencana aksi percepatan transformasi satuan pendidikan melalui PSP sebagai penggerak komunitas belajar.