Hakikat pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia. Manusia adalah makhluk yang unik dan memiliki karakteristik masing-masing. Proses mendidik bukan hanya memerlukan kemampuan guru dalam pengetahuan substansi terkait materi yang akan diajarkan dan kemampuan cara mengajarkannya, tetapi lebih dari itu, memerlukan kepribadian (soft skill) guru yang baik. Mengapa? Karena yang dihadapi oleh guru adalah manusia, makhluk yang selain memiliki akal, juga memiliki perasaan, dan memiliki kecerdasan yang beragam.
Mendidik adalah sebuah aktivitas yang kompleks. Bukan hanya mengandalkan logika dan penguasaan materi pelajaran, tetapi membutuhkan sentuhan kasih sayang. Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara dalam pemikirannya telah mewanti-wanti untuk mengedepan kasih sayang dalam mendidik. Pemikirannya yang begitu terkenal antara lain, ”Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, dan Tut wuri handayani”. Di depan memberikan teladan, di tengah membangun semangat, dan di belakang memberikan dorongan.
Eleanor Rosevelt (1884-1962), seorang pendidik, dosen, penulis buku, penyiar, dan istri presiden Amerika Serikat F. D. Rosevelt (1933-1945) mengatakan bahwa memberikan kasih sayang kepada peserta didik adalah bagian dari pendidikan itu sendiri. Pendiri Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan menyampaikan bahwa semangat mendidik dengan penuh kasih sayang dan toleransi adalah “kartu identitas” komunitas Islam. Kemudian pendiri Nahdlatul Ulama (NU), K. H. Hasyim Ashari menyampaikan bahwa berdakwah dengan cara memusuhi ibarat orang membangun kota, tetapi merobohkan istananya. Oleh karena itu, berdakwah perlu dilakukan dengan kasih sayang. Tokoh NU K. H. Mustofa Bisri juga menyampaikan bahwa “asal kita mendahulukan kasih sayang, kita bukan hanya akan masuk surga, tetapi kita di surga itu sendiri.”
UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) pada buku The Heart of Education Learning to Live Together menyampaikan bahwa kerangka mendidik dengan hati merupakan integrasi dari 3 elemen, yaitu (1) kecerdasan emosional, (2) empati, dan (3) mendidik dengan kasih sayang. Mendidik dengan berbasis kasih sayang akan menyentuh hati peserta didik. Saat hati peserta didik tersentuh oleh sikap guru yang baik dan penuh dengan pancaran kasih sayang, maka mereka akan senang, nyaman, dan semangat selama mengikuti pembelajaran.
Saat mereka senang, nyaman, dan semangat belajar, maka proses belajar akan menjadi sebuah pengalaman yang bermakna bagi mereka. Belajar menjadi sebuah rekreasi akademik bagi mereka. Kondisi tersebut akan membantu peserta didik dalam memahami dan menguasai materi pelajaran.
Guru perlu melakukan tugas mendidik disertai hati dan passion (bergairah). Pembelajaran yang menyenangkan hanya bisa dilakukan oleh guru yang menyenangi profesinya, kondisi hati yang senang, dan lingkungan pekerjaan yang menyenangkan. Pada buku The Pedagogy of Love (UNESCO, 2014) dinyatakan bahwa seorang guru dapat bekerja dengan sepenuh hati jika dia mencintai dirinya sendiri, mencintai materi yang dia ajarkan, mencintai peserta didik, mencintai administrasi pembelajaran, mencintai (saling menghormati) sesama rekan sejawat, dan mencintai sekolah tempatnya bertugas.
Pendidikan yang berdasarkan welas asih ditopang oleh sejumlah nilai seperti kebaikan, empati, rela berkorban, suka memaafkan, kerelaan menerima dan menghargai terhadap kondisi yang berbeda, membangun berkolaborasi dalam komunitas, menjunjung tinggi etika, memiliki pola pikir berkembang (growth mindset), peduli, saling menghormati, kemerdekaan untuk mengemukakan pendapat dan beraktivitas, mengutamakan dialog dalam menyelesaikan masalah, adanya keterikatan secara emosional antara guru dan murid, dan keakraban dalam komunikasi guru dan murid.
Pendidikan yang berdasarkan welas asih akan mendukung terwujudnya Sekolah Ramah Anak (SRA). Sejalan dengan implementasi kurikulum merdeka, pembelajaran diharapkan berpihak atau berpusat kepada peserta didik (student center). Peserta didik menjadi fokus pencapaian target pembelajaran. Pencapaian visi dan misi sekolah pun tecermin dalam mutu anak didik atau lulusan. Adanya Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) pun bertujuan untuk membangun, menumbuhkan, menguatkan karakter peserta didik agar memiliki nilai-nilai Pancasila. Welas dan asih adalah salah satu cerminan manusia pancasilais.
SRA adalah gambaran sekolah yang ideal atau sekolah yang dicita-citakan. Sekolah yang inklusif. Sekolah yang membangun keseteraan dan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas. Nilai welas asih yang diimplementasikan dalam pembelajaran dapat membentuk karakter peserta didik untuk peduli, empati, menghargai dan menghormati orang lain, mau membantu orang lain tanpa melihat latar belakang suku, ras, kelompok, dan agama.
SRA bukan hanya dilihat dari konteks kepribadian guru dan proses pembelajarannya, tetapi juga bisa dilihat dari konteks visi, misi, lingkungan, dan sarana-prasarana penunjangnya. Apakah lingkungan sekolah aman dan nyaman untuk belajar? Apakah sekolah dilengkapi oleh sarana-prasarana yang diperlukan untuk menunjang pembelajaran? Apakah sarana-prasana mudah diakses untuk belajar? Dan sebagainya.
Mengapa saat ini banyak anak, remaja, dan bahkan orang dewasa yang mudah tersulut emosi, mudah melakukan perundungan (bullying), melakukan tindakan kekerasan, mudah menganiaya orang lain, bahkan sampai tega menghilangkan nyawa orang lain? Disamping ada masalah dengan latar belakang dan pribadinya sendiri, bisa saja karena lingkungan tempatnya belajar (rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat) tidak memunculkan pendidikan yang berbasis welas asih. Ditambah dampak negatif dari media sosial yang akrab di gawai mereka. Masalah ini menjadi hal yang kompleks dan solusinya harus melibatkan berbagai pihak terkait. Tidak hanya mengandalkan salah satu pihak saja.
Data-data dari lembaga terkait dan berita viral yang muncul di media terkait tindakan bullying dan tindakan kekerasan sungguh sangat mengerikan sekaligus membuat kita merinding dan prihatin. Kadang kita bertanya dalam hati, kok bisa ya anak yang masih di bawah umur melakukan tindakan kekerasan dan merudapaksa korban hingga meninggal? Sudah separah itukah kondisi moralitas bangsa? Sudah separah itukah dampak gawai dan media sosial dalam “mencuci otak” generasi muda? Apakah hal ini menjadi ciri kegagalan pendidikan? Lalu, bagaimana pendidikan yang di satu sisi menjadi “tertuduh” atas terjadinya krisis karakter bisa memberikan solusi atas masalah tersebut?
Pendidikan berdasarkan welas asih menjadi sebuah ikhtiar bersama untuk mewujudkan generasi muda yang disamping cerdas secara intelektual, terampil, juga beradab dan berakhlak mulia. Tantangan Gen-Z dan Gen Alpha saat ini sangat kompleks. Disamping
maraknya dampak negatif dari teknologi di era digital, banyak juga anak muda yang lebih suka atau lebih memilih ”dibimbing” dan ”diasuh” oleh gawai dibandingkan oleh orang tua dan guru. Mereka juga kebingungan mendapatkan figur yang bisa menjadi teladan bagi mereka. Di sinilah orang tua, guru, pemimpin, dan para tokoh diharapkan bisa menjadi agen-agen untuk menjadi (contoh) role model pendidikan berbasis welas asih tersebut sehingga anak didik bisa menjadi manusia yang berperikemanusiaan.
Penulis: Idris Apandi