Guru dan murid harus sama-sama terlindungi dalam proses pembelajaran.
Sumber: https://id.pinterest.com/

Pencegahan dan perlindungan terhadap kekerasan di satuan pendidikan bukan hanya untuk murid saja, tetapi juga untuk kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan, serta orang tua. Ini adalah amanat Permendikbudristek Nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Oleh karena itu, dalam implementasinya harus proporsional. Semua warga sekolah harus dilindungi dan terlindungi. Bukan hanya terlalu fokus kepada salah satu pihak saja. Dengan kata lain, pendidikan yang memihak kepada murid bukan berarti mengabaikan keberpihakan kepada warga sekolah lainnya.

Selain regulasi di atas, perlindungan pendidik tenaga kependidikan juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru dan Permendikbud Nomor 10 Tahun 2017 tentang Perlindungan Bagi Pendidik Dan Tenaga Kependidikan. Regulasi sudah ada. Tinggal bagaimana efektivitas implementasinya di lapangan. Apakah sudah benar-benar dilaksanakan atau baru indah di atas kertas?

Tim atau Satgas Pencegahan dan Penanganan kekerasan di satuan pendidikan idealnya bukan hanya diwakili oleh pihak sekolah, lembaga perlindungan anak, dan orang tua saja, tetapi juga harus ada unsur dari organisasi profesi guru, karena jika ada tindakan kekerasan yang menimpa guru, harus ada yang membantu mengadvokasinya. Secara tupoksi, salah satu peran organisasi profesi guru adalah melindungi guru dari tindakan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi.

Kalau dalam Tim atau Satgas TPPKSP tidak ada unsur organisasi profesi guru, siapa yang akan total membela dan memperjuangkannya? Mungkin saja unsur non-guru berkomitmen membela guru, tetapi akan lebih utama, lebih relevan, dan jauh lebih militan jika yang memperjuangkannya adalah organisasi profesi guru.

Sangat baik juga jika di dalam satgas TPPKSP dilengkapi unsur dari aparat penegak hukum, konselor, dan psikolog. Tujuannya untuk melakukan pembinaan dan pendampingan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan. Walau demikian, jika terjadi kasus kekerasan, baik yang menimpa guru maupun murid, maka penyelesaian masalahnya sebaiknya lebih mengedepankan solusi di luar hukum (nonlitigasi) yang dikenal sebagai penyelesaian secara kekeluargaan.

Guru perlu tenang dan mendapatkan perlindungan saat melaksanakan tugas. Bagaimana guru bisa melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya jika mereka kurang terlindungi dan rawan menjadi objek kebijakan yang merugikan mereka? juga rawan mendapatkan tindakan kekerasan dan intimidasi. Bukan hanya dari oknum orang tua, tetapi juga siswanya sendiri, karena kondisi saat ini kadang guru menghadapi dilema saat mendisiplinkan murid. Takut terkena pasal UU perlindungan anak dan pasal pidana jika guru bertindak tagas.

Akibatnya, guru menjadi apatis. Kurang peduli terhadap kondisi murid. Prinsipnya, yang penting masuk kelas, mengajar, sampaikan materi, selesai. Terserah, apakah murid memperhatikannya atau tidak, apakah murid disiplin atau tidak. Yang penting tugas selesai. Guru sebenarnya menyadari hal tersebut tidak sejalan dengan tugasnya sebagai guru yang bukan hanya mengajar, tetapi juga mendidik, tetapi mereka memilih cari aman. Pemicunya adalah rasa takut melanggar UU perlindungan anak yang berkonsekuensi berurusan dengan hukum.

Disiplin positif, segi tiga restitusi, kesepakatan kelas, dan coaching digadang-gadang menjadi solusi untuk mendisiplinkan murid atau menangani anak yang bermasalah. Tetapi pada kenyataannya, bukan hal mudah. Bagi sebagian murid, hal itu mungkin saja berhasil, tetapi bagi murid lainnya, perlu penanganan yang lebih tegas karena kadar kenakalannya sudah tinggi dan dikhawatirkan berdampak negatif terhadap murid lainnya atau bahkan berdampak terhadap rasa aman guru saat mengajar.

Karena dinilai tidak (dapat) bertindak tegas, posisi guru dianggap lemah dan kurang berwibawa di hadapan murid. Dampaknya, rasa hormat murid terhadap guru semakin rendah. Pada beberapa  kasus yang pernah terjadi, guru dipersekusi, diintimidasi, dikriminalisasi, masuk ke ruang jeruji besi, bahkan meninggal dunia karena kurangnya perlindungan terhadap mereka saat melaksanakan tugas.

Perlu dicatat, tegas berbeda dengan keras. Guru wajib tegas terhadap murid agar tetap berwibawa. Patokannya adalah tata tertib, aturan, atau kesepakatan yang disusun bersama. Kalau keras, tendensinya kepada tindakan yang bersifat melukai atau membuat cedera fisik dan mental murid, serta tidak berdasarkan pedoman yang jelas dan akuntabel, sehingga sulit dipertanggugjawabkan saat ada pihak yang mempersoalkannya. Hal ini yang perlu dihindari oleh guru. Dan hal ini juga yang biasanya memancing atau memicu respon balik kekerasan baik dari murid maupun dari oknum orang tua murid.

Menguatkan Soft Skill Guru

Dibalik perlindungan dari tindakan kekerasan yang harus diberikan kepada guru saat melaksanakan tugasnya, seiring dengan tantangan yang semakin kompleks, guru selain harus meningkatkan kompetensinya, juga harus meningkatkan soft skill-nya, khususnya kesabaran dan daya lentingnya (resiliensi) dalam mendidik murid yang memiliki beragam latar belakang dan karakter.

Mendidik murid zaman sekarang tantangannya sangat luar biasa. Perlu kesabaran berlipat-lipat. Harus banyak menarik nafas panjang untuk menjaga agar tetap tenang, tidak emosi saat menemukan atau menghadapi muridnya yang nakal atau melanggar tata tertib sekolah. Anak yang lambat belajar dan anak yang kurang disiplin adalah dinamika dalam proses pembelajaran yang harus disikapi dengan bijak.

Saat seseorang memilih profesi sebagai guru, maka dia harus siap dengan segala konsekuensinya. Termasuk memiliki kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial yang matang. Dialog dan komunikasi yang humanis menjadi hal yang sangat penting untuk untuk mencari solusi yang dihadapi dalam pembelajaran.

Cara berkomunikasi guru harus disesuaikan dengan Gen Z dan Gen Alpha yang saat ini banyak menjadi pelajar di sekolah. Pada umumnya, mereka adalah generasi yang kritis, ingin lebih otonom, tidak mau banyak didikte oleh orang tua atau guru, mudah bosan, dan mentalnya kurang stabil serta mudah rapuh. Oleh karena itu, guru harus bisa menyesuaikan cara berkomunikasinya. Selain menjadi guru, seorang guru juga harus bisa menjadi orang tua, teman, dan  menjadi pendengar yang baik bagi murid-muridnya.

Komunikasi juga harus dilakukan oleh guru kepada berbagai pemangku kepentingan dalam mendidik anak-anak didiknya agar semua pihak ikut terlibat dan ikut memikirkan solusi saat ada masalah. Jika ada murid yang bermasalah, komunikasi dan penyampaian informasi kepada orang tua/ walinya harus jelas, dengan cara yang baik, dan disertai dengan data dan bukti pendukung. Pihak orang tua pun jangan mendengar sebelah pihak dari anaknya jika ada masalah. Sebaiknya konfirmasi dan klarifkasi ke pihak sekolah agar tidak menimbulkan miskomunikasi. Saat ada masalah, utamakan solusi, bukan emosi. Pembelajaran yang penuh harmoni akan terjadi saat guru dan murid sama-sama terlindungi. Wallaahu a’lam.

Penulis: Idris Apandi

Skip to content